Seusai kepergiannya, kami kembali duduk di lapangan. Kali ini, aku turut masuk ke dalam lingkaran kakak-kakakku yang tidak lama lagi akan keluar tahun depan.
"Kudengar di luar sana penuh bahaya," kata saudariku.
"Dari buku-buku, sih, jelas banyak bahayanya di sana." Abangku tampak setuju.
Lalu ditimpali oleh saudaraku. "Makanya Mama menyuruh kita bersiap-siap tahun ini. Kita akan keluar bersama-sama, 'kan?"
Dalam beberapa kasus, memang ada di antara kami yang keluar bersamaan. Namun, tentu saja dibatasi menjadi lima orang saja setiap tahun. Sementara yang datang pun juga terus bertambah, tapi juga setahun sekali.
"Hei, Rama, katanya mau menjelajah di dunia luar, 'kan?" Saudariku menatap tajam, jelas sama antusiasnya denganku maupun anak-anak lain.
Aku mengangguk. Tentu saja penasaran. Apa yang ada di luar sudah pasti bakal lebih keren dibandingkan dunia sebatas panti ini.
"Aku akan mengirim surat padamu kalau sudah waktunya." Saudariku berjanji. "Kamu tidak akan percaya nanti!"
"Hush! Jangan bikin dia penasaran terus, kasihan, lho!" tegur pemuda di sampingnya.
Saudariku hanya terkekeh. Mereka ini terus saja membuatku kian penasaran sekaligus cemas.
Dikelilingi orang yang lebih tua, ucapan mereka kadang membuatku bingung. Bersama yang lebih muda pun tidak kalah susahnya. Tapi, begitulah yang terjadi setiap saat, bukan?
Tak lama lagi, aku akan menyusul mereka.
***
Katanya, dunia luar itu penuh misteri dan bahaya.
Tapi, kami juga harus mengenali bahaya itu agar bisa bertahan hidup.
Hanya saja, aku cuma bisa belajar lewat perantara seperti buku atau surat-surat dari pendahuluku.
"Rama tidak perlu memusingkannya," kata Mama ketika aku menyampaikan rasa penasaran ini. "Belum waktunya, jadi bersabarlah."
Tentu saja aku tidak bisa menahannya cukup lama. Apalagi dengan godaan kakak-kakakku ini. Kenapa tidak ajak aku juga? Aku tidak akan menganggu.
"Mama?" Aku mengetuk pintu kamarnya.
"Masuk."
Seharusnya aku di kamar dan barangkali bermain di kamar saudaraku sekarang. Tapi, ada hal yang ingin aku tanyakan pada Mama.
Karena sudah waktunya, Mama menyuruh kami masuk dan permainan pun berakhir. Karena jika masih bermain di luar panti, ada konsekuensinya.
Bukan, Mama tidak pernah menghukum kami.
Melainkan alam sendiri yang memberi kami batasan.
"Kamu sedang baca apa?" tanyaku.
Kulihat Mama sedang duduk di kursi ditemani lampu kecil sembari memegang selembar kertas.
"Membaca surat kakakmu, Niji."
Ah, dia yang keluar dua tahun lalu. Kalau tidak salah, Niji juga yang pernah memberitahuku kalau daging di luar jauh lebih enak dibandingkan di panti. Tentu aku tahu karena Mama biasanya memberikan daging istimewa sebelum kami akhirnya keluar dari panti dan memulai hidup baru.
"Mama, apa itu?" Aku menunjuk benda aneh di sisinya. Bentuknya seperti tongkat tapi begitu pendek.
"Ini pedang milik musuh kita."
"Maksud Mama?"
Pedang musuh? Kami punya musuh?
Mama mengiakan. "Dan Niji berhasil melawan orang jahat."
"Mereka siapa? Kenapa jahat?" tanyaku.
Mama mengiakan. "Merekalah alasan kalian harus waspada ketika berjalan ke dunia luar."
Aku terdiam, berusaha mencerna apa yang barusan aku dengar.
Bukan hal aneh jika ada tantangan di setiap jalan, namun aku tidak menyangka musuh kami diketahui semudah itu.
"Kenapa mereka jahat?" tanyaku lagi, tidak puas dengan jawaban Mama.
"Mereka menyakiti kita," jawab Mama. "Beberapa saudaramu tewas karena mereka."
"Kenapa?" tanyaku. Saudaraku? Kenapa tega?
"Karena mereka jahat."
Karena masih saja bingung, aku memilih diam meski harus menahan rasa penasaran ini. Tidak mau berdebat lebih lama.
"Nanti setelah Rama dewasa, hati-hati ke dunia luar, ya," ujar Mama. "Jangan terburu-buru, karena kamu harus diperiksa dulu apakah cukup kuat melawan orang jahat di luar sana."
"Iya, Ma." Aku mematuhi.
Mama melirik arlojinya. "Wah, sebentar lagi larut, nih. Rama tidur, ya, tidak bagus anak gadis begadang."
"Mau anak apapun tetap tidak boleh begadang?" tanyaku. Kalau anak lelaki boleh, maka aku akan mencoba menjadi lelaki juga.
Mama tersenyum. "Bahkan orang dewasa pun tidak bagus begadang."
"Tapi, Mama begadang juga, tuh," sahutku.
Mama melesat ke arahku ...
"Mama!"
Tidak kusangka Mama mencubit kedua pipiku.
"Mama, cukup!" jeritku. Ini sungguh memalukan! Harga diriku hancur!
Mama mengakhirinya dengan kecupan di pipi. "Tidur sana!"
Dengan gemas, aku menjauh sambil mengelus pipi. Aduh, malunya!
***
Aku mengamati beberapa surat berian saudara-saudaraku. Salah satunya pemuda yang beberapa hari lalu pergi keluar untuk kali pertama.
Mama sedang sibuk mengurus keributan di luar. Adik-adikku bertengkar karena tidak mau bersembunyi saat bermain petak umpet, tapi giliran disuruh lomba lari malah saling menjatuhkan.
Di antara surat itu, aku menemukan beberapa hal aneh, terutama dari Niji kemarin.
Mama,
Aku sudah sampai ke sarang musuh malam kemarin dan berhasil membunuh salah seorang dari mereka. Kaum lemah menyedihkan itu ternyata tidak seseram yang aku bayangkan. Aku juga berhasil mengubah salah satu dari mereka menjadi seperti kita kembali.
Kini aku sedang di tempat tersembunyi. Tapi, aku ingin doa darimu, Mama. Semoga aku selalu dilindungi.
Niji
Lalu, aku coba buka surat dari pemuda yang kukenal waktu itu.
Mama,
Kukira dunia luar bakal lebih suram dibandingkan kisah-kisah yang kudengar, ternyata tidak juga, justru aku bahagia dengan kuliner baru di sana. Hampir semuanya aku suka!
Kemarin, aku berhasil makan daging terenak yang pernah kumakan. Akan kukirimkan padamu nanti, tentunya yang masih segar dan yang paling enak.
Yami
Ternyata, ini namanya.
Aku pun kembali membuka surat, tapi perhatianku tertuju pada bungkus bertuliskan "Kepada Mama, dari Yasha" dengan gambar kucing kecil yang lucu.
Ketika kubuka, aku menemukan sesuatu yang menarik.