Kami terlempar begitu rumah dilahap api. Tubuhku terempas seakan jatuh dari langit sementara api biru dan merah menghiasi pandangan. Begitu tiba di luar, kudengar jeritan warga memekakan telinga.
Aku berpegangan erat dengan Darren selagi api biru dikendalikannya. Aneh, aku bahkan tidak merasakan panas sama sekali. Padahal api biru jelas lebih mengerikan dibandingkan yang merah.
Darren membawaku ke tempat yang tidak tersentuh api meski hanya beberapa meter saja. "Jaga diri."
Setelah mengucapkan itu, dia kembali menghadang Ascella yang tidak jelas rupanya sekarang di balik kobaran api.
Tubuh Darren menjelma menjadi raksasa dalam wujud api biru. Mengaum selagi melepas kekuatannya. Rerumahan terbakar, beberapa jeritan perlahan lenyap, ditambah dentuman keras datang dari setiap langkah kaki mereka. Itulah Gigantropy. Raksasa dalam wujud elemen. Melawan Ascella yang mengendalikan api.
"Tolong! Tolong!"
Jeritan itu terus tergiang hingga saat ini. Membuatku kembali terbayang di hari pertama Mariam datang ke rumahku. Hari di mana semua berawal.
Api merah menguasai pandangan, bahkan hanya itu yang bisa kulihat di antara rerumahan yang terbakar. Selagi warga berjuang menyelamatkan diri, sebagian terlahap menyisakan jeritan pilu. Mereka tidak berdaya.
Beberapa orang bermunculan. Mereka menyerukan sesuatu yang tidak kudengar jelas akibat membuyar di antara suara jeritan. Api merah memadam, tapi berpindah ke rumah sebelahnya ketika tersentuh air yang keluar dari kumpulan penyihir pemadam kebakaran.
Aku terpana selagi menyaksikan langit dihiasi potongan hitam bekas pembakaran. Menyisakan segala kenangan yang telah mereka tinggalkan selama ini, pupus sudah. Jeritan memenuhi telinga selagi mereka berebutan hendak menyelamatkan diri. Mengabaikan harta benda bahkan orang lain.
"Api! Api!"
"Gigantropy!"
"Sihir! Sihir!"
Brak! Seseorang menabrakku.
Aku mencoba menghindari potensi tabrakan lain.
Ditabrak lagi.
Mencoba menjauh sedikit, disengol.
Berjuang bertahan selagi di kerumunan warga yang panik tentu melelahkan. Ditambah dengan mereka yang tidak memedulikan hal lain melainkan diri sendiri.
"Padamkan api! Cari korban!" Seruan para penyihir tadi kembali terdengar. Bukannya menenangkan, malah membuat kerumunan semakin kalut.
Aku akhirnya berhasil bangkit dan mendorong sebagian yang nyaris menjatuhkanku lagi.
"Oi! Bocah!"
Aku menoleh selagi melawan arus.
Di antara kerumunan yang saling menyengol, terlihat Safir berjuang melawan arus juga, menuju ke arahku.
Aku pun berlari ke arahnya meski harus berputar balik yang mana kembali berhadapan dengan lautan makhluk.
Bruk!
Aku terjatuh. "Aduh!"
Seseorang sepertinya tidak sengaja menendang tanganku, untung tidak kena perut maupun kepala. Kedua tangan ini kumanfaatkan untuk melindungi kepala sementara kaki ditekuk agar perut aman.
"Oi!" Safir serta merta menyeretku dengan menarik kasar kerah baju. Aku yang terkejut hanya bisa patuh selagi diseret.
"Minggir, woi! Minggir!" Safir dengan kasar mendorong warga yang panik hingga beberapa terjatuh bahkan terinjak.
Aku meringis membayangkan mereka. Tapi di situasi seperti ini, aku harus lebih mementingkan diri. Semua orang dalam bahaya, termasuk kami.
Safir, dengan segala kekasarannya, berhasil melewati kerumunan hingga tiba di dekat luar perumahan yang mulai renggang.
Sekitaran kami sudah dipenuhi api. Mataku tertuju pada wujud Darren sebagai Gigantropy Api, melawan ... Penyihir api lainnya. Berhadapan, saling adu tinju karena api melawan api malah justru tidak berefek pada mereka.
Api biru. Api yang kulihat di taman waktu itu. Kenapa Darren menakuti beberapa orang? Apa karena mereka mata-mata? Aku bahkan tidak sempat bertanya.
Berbeda dengan makhluk raksasa, Gigantropy bertarung tanpa suara dari mulut melainkan dentuman efek langkah kaki mereka. Mereka memang mengaum, tapi fungsinya hanya untuk mengintimidasi.
"Sini, woi!" Safir jelas panik hingga tidak mampu menjaga mulut. Tapi, di situasi ini persetan dengan sopan santun.
"Darren." Aku menunjuk pelindungku yang kini dalam wujud Gigantropy. "Kita tidak bisa ..."
"Ayo, cepat!" Safir menarikku keluar dari perumahan hingga wujud Gigantropy yang bertarung mulai mengecil.
Darren berhasil memukul mundur Ascella. Dia meninju wajah lawannya tiada henti. Menciptakan getaran hebat di tanah. Aku harus berbuat sesuatu. Tidak mungkin kubiarkan keduanya terus membakar.
Para penyihir yang berupaya memadamkan api mulai kewalahan, ditambah mereka datang dengan jumlah yang kalah dengan kekuatan kedua raksasa. Api meliar, sementara para pemadam kebakaran mulai tampak kewalahan.
"Hei!" Safir menarikku kembali. Kerumunan mulai menipis sementara aku tetap fokus menatap api yang mulai membakar habis perumahan ini.
Di situlah kami berpisah.
***
"Di mana Ezekiel?" tanyaku selagi kami berkumpul di tempat pengungsian.
Tidak banyak orang di sini karena aku dan Safir sudah memilih tempat yang cukup jauh dari banyak orang, namun masih bisa mendengar beberapa suara dari luar. Lebih tepatnya, kami berada di rubanah yang tampaknya dibuat untuk tempat interogasi karena hanya ada satu meja dan kursi. Tidak ada bekas apa pun di sini sehingga tampak aneh jika hanya ada dua benda ini. Kami berdua duduk di tanah yang berlapis batu. Diam selama beberapa saat sambil sesekali menyimak obrolan orang di atas sana.
"Pengguna api saling menyerang, meresahkan!"
"Lho, bukannya itu api biru yang kemarin?"
"Bukan kemarin itu namanya."
"Ya, pokoknya sebelum hari ini, dulu intinya."
"Kenapa yang biru?"
"Dia membunuh meresahkan warga, untung enggak ada yang mati. Sayangnya, polisi diam aja."
"Sudah kubilang, Dash bisa jadi memihak kita, bukan seperti yang merah, selalu saja main api."
Rupanya, Darren cukup dikenal juga di sini, meski berbeda nama.
"Tapi, keduanya sama saja berbahaya. Bagaimana ini? Masa aku mati jadi orang panggang?"
"Hei, jangan berprasangka dulu. Siapa tahu kau mati terinjak kerumunan tadi."
"Argh! Mana pengurus tempat ini?"
Safir berdecak. "Berisik." Dia terdengar tidak ada niat menyeru apalagi membentak orang-orang di atas. Barangkali suaranya habis setelah menjerit di kerumunan sebelumnya.
"Safir, katakan yang sebenarnya," pintaku. "Darren ... kenapa menyerang taman waktu itu?"
"Kau bicara seakan tidak kenal musuh saja," balas Safir. "Dia mencegah mereka membuntutimu karena Zibaq kurang percaya dengan Ascella."
"Ilusi?" tebakku. Sejak dari dulu kami bermasalah dengan ini.
"Ilusi," ulang Safir. "Mereka berasal dari warga Shan yang tewas namun raganya diracuni."
"Oleh siapa?" tanyaku.
Bukannya menjawab, Safir terus bercerita. "Mereka menjadi makhluk setengah jadi yang dilahirkan demi membenci kami. Sudah mati dengan mudah, bikin malu lagi."
Aku bertanya lagi. "Di mana Ezekiel? Kita bisa langsung mencari Darren lalu pergi ke tempat lain, di mana Guardian lain berada."
"Justru itu yang kutunggu," kata Safir. "Di luar sana, Mirah menungguku."
Sejak dari dulu Safir merindukan kakaknya, tapi aku belum juga menanyakan detail lain.
"Lanchester Bersaudara berjanji akan membawaku kembali padanya," ujar Safir. "Tapi, sekarang belum juga tercapai."
"Mereka tidak memberitahu di mana Mirah berada?" tanyaku.
"Mirah ada di Teli," jawb Safir. "Tapi, aku tidak punya cukup uang."
Aku diam saja, tidak tahu harus menanggapi apa. Suara-suara dari luar semakin nyaring selagi pikiranku melebur bersamanya.
"Halo? Ada orang?"