webnovel

Guardian dan Sihir Hitam – 6

Ketika membuka mata kembali, hari sudah malam dan aku mendengar bunyi ketukan pintu. Bayangan hitam tadi langsung kulupakan. Aku justru fokus membuka pintu untuk tamu baru kali ini.

"Pangeran!" sambut Gill. "Aku datang membawa dokter Youngfeather."

Pria di sisinya kemudian melanjutkan. "Kudengar kemarin Monsieur Perrier sakit kembali. Aku Henry Youfeather, dokter pribadinya."

Dokter Youngfeather adalah pria berambut putih dan hitam berkacamata. Ia sedikit lebih tinggi dibandingkan Arsene dan kulitnya malah tidak sepucat rakyat Ezilis lain. Meski bilang kalau ia dokter, pakaiannya terlalu santai sehingga membuatku skeptis. Pria itu datang bersama Gill.

Dari tatapan Gill, aku malah semakin bingung. Ia menunjuk-nunjuk dokter tadi dengan mata. Mulut Gill juga membentuk isyarat, seakan berkata "masuk." Kurasa orang ini bisa diizinkan masuk.

Aku mundur dan memberikan ruang masuk untuk mereka.

"Pangeran sudah makan?" tanya Gill.

"Sudah." Aku melirik pria yang menyertainya. "Siapa dia? Ada apa?"

Gill tersenyum canggung. "Kemarin itu aku sedikit tidak nyaman. Penyakit Arsy kemarin kambuh dan takutnya semakin parah. Jadi, kupanggil dia." Ia menunjuk yang dimaksud dengan dua buah telunjuk.

Dokter itu jelas tahu persis letak kamar Arsene karena ia langsung ke dalam tanpa bertanya terlebih dahulu. Pria yang dicari masih terlelap di kasur, tidak tahu jika ada kunjungan.

Aku berdiri di depan pintu bersama Gill. Dengan polos menyaksikan dokter itu memeriksa Arsene yang terlelap. Saking nyenyaknya, tidak menyadari tangan sang dokter terus memeriksa nadinya.

Dokter itu mengeluarkan jarum suntik. Perlahan, menusukkannya ke lengan Arsene.

Arsene mengerutkan kening, sontak terbangun. Ia hendak memberontak, namun suntik itu sudah ditarik perlahan dari tubuhnya. Dokter tadi bertatapan dengannya tanpa ekspresi, seolah ini sering terjadi.

Arsene melirik Gill dan mendesis. "Apa-apaan?"

"Kamu kumat beberapa hari lalu," jelas sang dokter dengan tenang. "Kenapa tidak bilang?"

"Tahu dari mana?" balas Arsene. Dia menatapku dan Gill bersamaan.

Kulirik Gill, pemuda itu tidak bereaksi. Hanya memasang wajah polos. Aku jelas penasaran dari mana tahunya kalau dia tidak di sana waktu itu. Tapi kemudian aku yakin itu bisa jadi karena obrolan mereka kemarin perihal rubah putih itu.

"Darahku bisa dengan cepat kembali," ujar Arsene. "Dan berhenti memasukkan cairan itu! Kamu seolah hendak membunuhku secara perlahan."

"Arsy, kamu nyaris mati," balas Gill.

"Aku masih hidup," balas Arsene. Namun, ia tetap membiarkan dokter itu memeriksanya.

Suasana hening kembali. Tidak nyaman, aku pun bercerita soal beberapa jam lalu, di siang itu.

"Siang tadi aku melihat seseorang, kalungku juga bercahaya. Ada gadis bersamanya, dia juga punya kalung sepertiku."

Hanya dokter yang tidak menatapku. Ia masih sibuk dengan pekerjaannya.

Gill menggigit bibir, antara gelisah maupun gugup, atau bisa jadi bibirnya yang kering.

"Guardian lain?" tebak Gill. "Sayangnya, aku tidak tahu siapa lagi selain Arsy atau yang di Shan. Mereka jelas punya nama lain."

"Kalian, para Guardian, tidak saling kenal?" heranku.

"Kami ingat beberapa kejadian di Shan," jelas Arsene. "Ada beberapa rekan yang masih kami ingat jelas wajahnya. Ada yang ingat namanya dulu, ada pula yang sekilas."

"Apa yang kauingat dulu?" tanyaku.

"Nama dan peranku," jawab Arsene. "Juga beberapa rekan."

"Aku hanya ingat nama dan kegiatan bersama mitraku," balas Gill, jawaban yang sama.

"Kalau tidak salah, ada beberapa dari kami yang bertahan hingga sekarang," kata Arsene. "Barangkali ia bisa mengingatkan."

"Yang kamu maksud itu siapa?" tanya Gill. "Aku lupa."

"Aku juga. Hanya kalung Pangeran yang membedakan," ujar Arsene. "Kuharap di antara kita tidak ada yang rusak."

"Rusak?" beoku.

"Lihat aku, malah terlahir sebagai Penyihir Hitam," kata Arsene. "Kita tidak tahu nasib Guardian lain berikutnya."

"Tapi, pasti ada satu teman kita yang selamat, bukan?" Gill menelengkan kepala.

"Aku tidak tahu pasti," balas temannya. "Tapi, aku yakin siapa, meski tidak jelas kabarnya sekarang."

"Jangan bilang pria itu." Gill menyilangkan tangan.

"Siapa?" Aku bertanya.

Kedua malah tampak sama-sama diam. Mereka saling tatap, menunggu siapa yang bicara terlebih dahulu. Sesuai dugaan, Arsene yang bicara.

"Kami tidak begitu ingat, ia seorang penyihir, kami punya banyak rekan penyihir sebagai Guardian," jelas Arsene. "Salah satunya pernah memberiku surat, ia seorang raja dari Aibarab yang ikut menjadi Guardian hingga saat ini."

"Dengan bantuan mereka, cukup bagi kita untuk berkumpul kembali," balas Gill. "Bila perlu, bikin Shan baru."

Aku jelas heran. "Shan bisa dibangun kembali? Ada apa?"

Arsene lalu menceritakan tentang tragedi hancurnya sebuah negeri di atas awan akibat sihir. Juga beberapa dugaan seperti Hiwaga sebagai dalang.

"Kalau kuingat-ingat, pelakunya bernama Hiwaga," ujar Arsene. "Tapi, aku yakin dia sudah tiada."

Gill melirikku, ia tampak ragu. "Dari kejadian kemarin, sudah jelas alasan kami melawan Sihir Hitam. Demi bertahan hidup dan melindungi yang lain. Tapi, ada yang aneh, ada yang melihat Shan beberapa hari la-"

Arsene beranjak dari kasur lalu membuka pintu luar. Kami semua menyusul. Mata menyusuri langit luas penuh harap.

Awan apa itu? Bentuknya lumayan unik.

"Shan, bukankah letaknya di bagian Timur bumi?" ujar Gill, yang seketika dibalas dengan desahan kesal Arsene.

"Kamu melihatnya di mana?" Arsene menatapnya sinis.

"Kata temanku-" Gill refleks menutup wajah ketika Arsene mengepalkan tinju.

Entah kenapa, mendengar Shan membuatku justru teringat hari-hari sebelum tiba di Ezilis. Samar-samar tampak gambaran sebuah gurun pasir disertai kota kecil, beberapa makhluk di sana mengenakan pakaian panjang guna melindungi kulit dari sinar matahari yang membakar serta gadis berambut hitam.

"Kalau mendengar kabar baru," ujar Arsene, terdengar menahan emosi. "Tolong, usahakan. Beritahu aku."

"Kamu sendiri yang sok sibuk," balas Gill. "Aku tahu, itu terjadi dua bulan lalu. Tapi, saat itu ..."

"Aibarab sudah hilang?" sambung Dokter Youngfeather. "Ya, negeri itu musnah dalam satu malam, begitu katanya."

"Musnah?" beoku.

Dokter mengiakan. "Negeri itu dulu diperintah oleh Raja Safar al-Khidir, seorang penyihir–aku tahu dia termasuk bagian dari kalian–ia seseorang yang lumayan kuat untuk membantu. Jasad Raja Khidir tidak ditemukan saat Aibarab runtuh, juga putrinya."

"Alasan Aibarab raib dalam satu malam belum jelas," timpal Gill. "Fakta kalau dia bisa menaklukkan hati ratu jin dan mengadopsi anaknya, membuatku kagum sekaligus takut di saat yang sama."

"Aku tahu Aibarab sudah terkenal dekat dengan para jin dan iblis, itu lumrah," balas Arsene. "Barangkali, maksud raja itu hanya untuk memperbaiki keadaan. Aku tahu ia termasuk Guardian karena ia memberiku surat sebelum kejadian."

Khidir? Kenapa nama itu terdengar tidak asing?

Gill mengerutkan kening. "Yah, kalau meninggal, sayang sekali."

"Jasadnya belum ditemukan," ulang dokter. "Barangkali ia bersembunyi."

"Tidak aneh bagi seorang penyihir, apalagi Guardian," ujar Arsene.

Aku malah teringat dengan pria pucat itu. "Nemesis."

Seluruh tatapan tertuju padaku.

"Nemesis-Musuh bebuyutan?" Gill mengangkat sebelah alis. "Itu nama orang?"

Aku mengangkat bahu. "Siang itu, aku melihatnya. Ia bersama gadis yang juga mengenakan kalung yang sama. Kalungku juga bercahaya. Namanya Nemesis."

Arsene tampak mengingat-ingat. "Namanya diambil dari nama-nama Ezilis Selatan, negara tetangga."

"Sangat jarang Orang Sebelah bersedia ke sini," ujar Gill. "Soal itu, namaku juga diambil dari sana. Tapi, aku dibesarkan di sini."

"Di musim seperti ini, seharusnya Ezilis Selatan mengurung diri," ujar dokter Youngfeather. "Bukankah di sana banyak vampir?"

"Jangan bilang ia yang membawa vampir ke sini," balas Gill. "Tapi, dari laporan Pangeran, ia jelas Guardian. Tidak mungkin seperti itu."

"Dan fakta jika Putri di sana, niatnya tidak samar, bukan?" Bahkan Arsene sendiri tampak ragu mengucapkannya.

Tidak ada yang berani berucap selama beberapa saat. Aku yang kelamaan berdiri perlahan kesemutan dan menggerakkan kaki. Menunggu mereka berpikir jelas memakan waktu lama.

Arsene menanyaiku. "Bagaimana rupanya?"

"Tinggi, mata merah, rambut hitam dan ... Pucat."

Mendengar kata itu, suasana seketika hening. Ada apa? Bukankah 'pucat' itu merupakan ciri khas Ezilis?

Gill membuka mulut. "Va-"

Terdengar jeritan dari kejauhan.