"Kumohon, jangan sakiti kami!"
Mereka saling tatap. Pria tambun itu–yang tadi memegang kapak–mendekat. Ia mengerutkan kening melihat kondisi kami, apalagi hutan yang sebagian kini menjadi abu dan menyatu dengan angin.
Arsene terbaring di tanah, tidak sadarkan diri.
Aku berlutut dan mengelus dahinya, panas sekali. Karena cemas, aku lantas berdiri dan menatap pria tambun tadi.
Pria itu tampak mengenal Arsene, dia langsung berpaling dan menyuruh pria lain untuk melanjutkan jalan. Sementara di mendekat lalu membopong Arsene.
Aku berjalan di samping kiri sementara pria itu menyusul kawanannya. Sesekali kulirik ke belakang, berharap rubah itu tidak kembali.
"Siapa kamu, Nak?" tanyanya. "Aku baru tahu jika Monsieur Perrier punya putra."
Terpaksa, aku berbohong. Namun, entah kenapa, seakan mengucapkan yang sebenarnya. "Aku Remi, putra Monsieur Perrier."
"Kamu tahu kondisi ayahmu seperti ini?" tanyanya. "Usiamu masih sangat belia, kalau kuperhatikan."
"Aku sepuluh tahun," balasku. "Aku ... Baru tahu itu."
Hening lama.
Pria itu terus membopong Arsene yang belum siuman. Dia kemudian menceritakan apa yang terjadi.
Namanya Monsieur Abelard, kepala Desa Arey, desa yang letaknya lumayan jauh dari kota dan sedikit dekat dari tempat kami berpijak. Desanya sudah lama diteror seekor rubah pemakan jantung dari Kikiro. Mereka tidak tahu bagaimana bisa makhluk itu sampai ke Ezilis. Padahal jarak dari Kikiro ke sini memerlukan waktu hampir setahun dengan kereta. Meski sempat sekalipun, tidak ada motif lain mengapa mereka memilih tempat ini. Ia berpendapat, barangkali rubah itu sudah menyerang tempat lain lalu seiring berjalannya waktu, masuk ke Ezilis. Arsene diutus untuk membunuh makhluk itu.
Kami tiba di sebuah desa yang sunyi karena hari sudah larut. Aku terus menatap Arsene yang dibopong. Wajah pucatnya jadi semakin pucat. Aku kian cemas.
Monsieur Abelard menuntun kami ke rumahnya. Jelas paling besar dan kokoh dibandingkan yang lain. Ia masuk lalu menyuruhku menemani Arsene di kamar yang sudah disediakan selagi ia menghubungi seseorang, kuharap yang dimaksud itu dokter atau tabib.
Arsene diselimuti sementara keningnya dikompres. Aku duduk di sisi ranjang sambil mencengkeram jubahnya yang masih melingkar di bahuku. Terasa begitu hangat hingga aku terbuai.
***
Elusan lembut itu membangunkanku. Aku rupanya dibaringkan di samping Arsene. Ternyata seorang gadis yang mengelus keningku.
"Monsieur Abelard mencarimu, tuh!" Dia langsung menarikku keluar.
Aku yang kebingungan sekaligus heran terpaksa menurut. Setibanya di ruang tengah, Monsieur Abelard tengah menikmati hidangan besar. Ketika kulirik jendela, hari masih dini.
"Makanlah."
Aku duduk, meski harus sedikit berjuang saking tingginya kursi. Apa aku serendah itu? Atau kursinya yang kebesaran? Terakhir kuingat, aku meninggi. Aku tadi hanya setinggi bahu gadis itu. Berarti, barangkali kursi ini yang terlalu tinggi.
Akhirnya aku berhasil duduk dan mengamati makanan yang ditata. Tidak banyak yang bisa dibahas, hanya sejumlah kue dan teh hangat. Sepertinya, ini lebih disebut sebagai ngemil alih-alih makan.
Aku mengunyah satu kue kering.
"Jadi, kamu putra Monsieur Perrier, 'kan?" tanya Monsieur Abelard. "Yah, kalian tidak terlalu mirip. Hanya warna kulit, barangkali. Matanya emas sementara matamu cokelat kehitaman, belum lagi rambut yang jauh berbeda, antara kelabu dengan cokelat tua."
Aku diam saja, terus mengunyah.
"Siapa ibumu?"
Aku mendongak. "Aku ..."
Duh, harus jujur atau tidak? Aku belum siap menjawab.
" ... Diadopsi."
Kuharap, itu sudah cukup.
"Begitu, ya?" Monsieur Abelard memandang jendela. "Hari sudah dini. Kalian mau kuantar ke kota?"
"Tanya saja ke Monsieur Perrier," balasku, tentu saja sepelan mungkin seolah berbisik. Aku tidak tahu harus berbuat apa.
"Oh, bagaimana kondisinya?" tanyanya.
Aku yang tidak sempat menengok, menggeleng. "Aku tidak lihat tadi. Gadis itu langsung menyeretku."
Monsieur Abelard, entah kenapa, menelengkan kepala.
Seseorang menyentuh bahuku.
Aku refleks menoleh. Panjang umur, baru saja dibahas sudah muncul.
"Rubahnya kabur," kata Arsene. Ia masih pucat dan tidak ada perubahan ekspresi dari wajahnya, seolah tidak terjadi apa-apa.
Monsieur Abelard mengerutkan kening. "Anda baik-baik saja?"
Ia malah mengalihkan topik. "Aku berhasil membuatnya terluka. Ia akan berburu lagi, jika lapar."
Jelas Monsieur Abelard sama bingungnya denganku. Tapi, tingkah Arsene yang biasa saja membuat suasana semakin canggung.
"Baru kali ini, aku tahu kamu punya putra." Monsieur Abelard terkekeh. "Kamu perlu mencari pekerjaan baru, biar lebih aman. Serahkan saja pada mitramu yang lain."
"Ini tanggung jawabku, juga anak ini," balas Arsene.
Monsieur Abelard tampak mengalah. Ia lalu menyerahkan sebuah kantong kecil. "Ini imbalanmu, aku hargai usahamu. Terima kasih, Monsieur Perrier."
Arsene mengangguk.
Kulirik kembali jubahnya. Semalaman sudah aku pakai. Arsene tidak tampak keberatan.
Arsene lalu mengelus rambutku. "Monsieur, kami pamit."
"Anda yakin?" Monsieur Abelard jelas ragu. "Anda belum makan."
"Nanti beli."
Monsieur Abelard lalu mendoakan keselamatan kami sebelum melepas kepergian.
"Aku tinggal di kota," kata Arsene padaku. "Sedikit lebih jauh. Mungkin kamu butuh tidur."
Aku mengangguk. Mencengkeram erat jubahnya yang kukenakan. Meski terlalu panjang hingga nyaris menutupi kaki, benda itu tampak hanya menutupi paha Arsene ketika ia mengenakannya. Terasa hangat namun tidak berat seperti yang kubayangkan sebelumnya.
Arsene kini berdiri di depan dengan pakaian sederhana berwarna putih disertai celana panjang. Dia tampak biasa saja, padahal hawa dingin saat itu begitu menusuk.
Dia tawarkan punggungnya lagi. Meski kutolak dia tidak berkutik, memberi kesan seolah memaksaku naik. Terpaksa aku duduk di punggungnya lagi. Arsene melesat, bahkan lebih cepat dari sebelumnya, meninggalkan Desa Arey.
***
Sepanjang jalan, tidak sekalipun Arsene memelankan langkah apalagi bicara. Aku mulai kehabisan bahan obrolan. Kucoba menoleh, takut jika sesuatu mengintai.
Arsene hentikan langkah, tampak memasang telinga.
Aku merinding, napasku tertahan. Kucoba untuk menoleh ke sana sini. Entah mengapa, aku seolah melihat bayangan melesat melompati semak-semak.
"Jangan melihat ke belakang," bisik Arsene.
Aku menatap rambut kelabunya, di samping itu kulihat bayangan tadi melesat melewati pepohonan. Aku menelan ludah, bulu kuduk meremang, kugenggam erat bahu Arsene.
Arsene malah mempercepat langkah, bahkan lebih cepat dibandingkan bayangan tadi. Kulingkarkan tangan ke lehernya, berjuang agar tidak jatuh.
"Apa itu?" bisikku.
Arsene tidak membalas.
***
Perlahan pepohonan mulai terkikis, berganti bangunan sederhana, seperti rumah di pedesaan namun bahannya tampak terbuat dari sesuatu yang lain. Aku tidak tahu apa itu. Hanya lampu jalanan remang yang membantu penglihatan. Sekeliling kami begitu sunyi dan hanya terdengar langkah kaki Arsene yang melambat.
"Di Ezilis, ada banyak Sihir Hitam," kata Arsene, mengulangi ucapannya kemarin. "Tugasku tidak lain hanya melindungi negeri ini dari mereka."
"Ada berapa banyak?" tanyaku.
"Selaksa." Balasannya membuat bulu kudukku merinding. Bahkan dia sendiri tidak tahu pasti jumlah mereka.
"Aku dengar kamu punya mitra selain Monsieur Abelard," ujarku. "Siapa?"
"Nanti kukenalkan," balasnya. "Untuk saat ini, kamu butuh perlindungan."
Kami tiba di sebuah rumah yang sama tingginya dengan sekitar, hanya terdiri dari satu tingkat dari luar. Rumah itu dibangun dari benda asing tadi yang tampak lebih keras dibandingkan kayu. Pintunya di tengah dan atap melandai dengan cerobong asap. Sekeliling pagar dipenuhi duri dan kayu berujung runcing nan tinggi melampaui kami berdua. Terdapat beberapa potongan kaca ditancapkan di atas tembok pembatas sebelah kiri, sama seperti rumah lainnya. Meski tampak bagai benteng nan muram, setidaknya cukup aman bagi kami berdua. Kini, aku paham kondisi kota ini.
Arsene menurunkanku lalu masuk menggunakan kunci.
Dari dalam, ada ruang bawah tanah yang sengaja dirancang guna menyimpan beragam barang, membuat rumah ini menjadi dua tingkat dari bawah tanah. Penggalan ingatan malah muncul dalam bentuk rasa, seolah aku pernah ke sini sebelumnya.
Arsene menuntunku ke kamarnya. Ada dua kasur berjauhan, tidak ada jendela terbuka, hanya kaca kecil berbentuk persegi yang mungkin untuk memantulkan sinar matahari.
"Kamu tinggal dengan siapa?" tanyaku. Ia tidak mungkin menduga kedatanganku, bukan?
"Rumah ini warisan," ujarnya. "Dulu kamar orangtuaku. Kamu tidur di sebelah mana?"
Kedua kasur itu tampak identik, bedanya di sebelah kiri jelas bekas Arsene biasa tidur. Aku memilih yang kanan. Setiap kasur sudah disediakan satu bantal dan selimut. Meski tidak seempuk yang kubayangkan, aku tetap bersyukur atas kebaikannya.
Buk!
Tidak kusangka, pria itu terkapar di kasur dan terlelap dengan tenang seperti bayi. Melihatnya, jelas membuatku iba. Barulah aku ingat ia habis bertarung. Mengingatnya muntah membuatku ngeri, namun ia tampak terbiasa.
"Arsene?"
Arsene menyahut.
"Um, jubahmu." Aku melepaskan benda itu.
"Gantung saja di kursi."
Aku ikuti perintahnya. Kursi itu terletak di antara kasur, menjadi pembatas. Terdapat banyak tumpukan kertas disertai tulisan yang tampak seperti coretan alih-alih tulisan biasa. Aku bahkan tidak bisa membacanya.
Aku lalu memanggil namanya. Arsene tidak merespons.
Aku mendekat lalu menyentuh keningnya. Panas sekali. Terbesit dalam benak untuk mengompresnya. Namun, rumah ini tampak asing dan aku takut tersesat apalagi sebagian lampu sudah dimatikan.
Arsene membuka mata. "Apa yang kaulakukan?"
"Hendak mengompresmu," balasku. "Kamu demam."
Arsene membalas. "Itu sudah biasa. Kamu tidur saja!" Ia mengibas tangan, mengusir.
Dengan keberatan, aku berbaring di kasur lalu dengan pelan mengucapkan selamat tidur kepadanya sekaligus berterima kasih.
"Selamat tidur."
Aku tidak tahu apakah ini kebiasaan atu hal baru. Kendati demikian, aku hanya senang melakukannya.
Tak disangka, ia membalasku. "Selamat tidur, Remi."
***
Aku bangun beberapa jam kemudian, hari sudah pagi. Aku beranjak dari kasur lalu menghampirinya.
Arsene masih meringkuk di kasur. Kusentuh keningnya, suhunya kembali normal. Cepat juga penyembuhannya.
Aku diam-diam keluar berniat membuat sarapan dengan makanan yang ada. Dapur terletak di dekat pintu menuju ruang bawah tanah. Perabotannya lengkap dan bersih, jauh berbeda dari bayanganku dengan sosok seperti Arsene. Tampak jelas dia sangat menjaga kebersihan rumahnya, melebihi aku.
Kenapa aku berpikir begitu? Karena seingatku, aku malas bersih-bersih. Aku yakin ibuku bakal marah, kalau punya.
Tuk! Tuk! Tuk! Tuk!
Dari pintu, terdengar ketukan agak keras dan berulang. Aku bergegas membuka pintu.
Aku melihat sosok pria asing sekaligus familier di saat yang sama. Maksudku, tidak ada sepenggal ingatan atau rasa familiar darinya, tapi di sisi lain aku juga merasa pernah mengenalnya, seperti Arsene yang seolah kukenal sebelumnya.
Pria itu mengenakan jaket jingga malam, tampak manis hingga membuatnya terlihat polos. Lebih rendah dibandingkan Arsene, tapi lebih tinggi dariku. Rambutnya biru tua serta mata hijau zamrud. Menebar aura janggal di sekitar rumah, dia tampak seperti pribadi yang ramah.
Anehnya, kalungku juga bercahaya.
Dia rupanya melihat pantulan cahaya kalungku. "Oh, halo, Pangeran!"