"Menghilang?" Ezekiel membeo.
"Ya, terakhir kudengar, mereka mencarimu," kata Ascella. "Kamu ada klien lain?"
Aneh, padahal malam kemarin tampak baik-baik saja. Pelindungku mungkin sedang berburu Gigantropy, tapi tidak pernah membahas kliennya lagi. Apa aku harus bicara? Tidak, aku tidak ingin keceplosan. Barangkali bisa dijawab oleh pelindungku lain waktu.
"Terakhir kabarnya sedang bikin kontrak," ujar Ezekiel. "Malam itu, dia memberi uang muka lalu pergi."
"Dia pergi ke mana?" tanya Ascella.
"Itu privasinya," balas Ezekiel. "Kalau mau mencarinya, mending lapor ke polisi saja."
"Aku tahu dia menemuimu karena tahu sesuatu," kata Ascella. "Dia tahu tentangmu."
"Semua orang di kota ini tahu siapa," balas Ezekiel. "Gue populer, lho."
"Bukan begitu!" sanggah Ascella. "Dia tahu identitasmu."
"Ya, gue Pemburu Sihir."
Saat itulah, aku terkejut melihatnya langsung mengubah gaya bicara seperti sedia kala.
Ascella tampaknya tidak merisaukan itu. "Iya, Pemburu Sihir. Tapi, soal hal yang lebih personal."
"Kalau dia tahu, kenapa memangnya?" tanya Ezekiel. "Lo kepo?"
Ascella menatapnya, tampak berusaha tenang meski berhadapan dengan pria yang jauh lebih tinggi dan besar.
"Aku hanya ingin tahu nasib temanku," ujar Ascella.
"Mau kami temani ke kantor polisi?" tawar Ezekiel. "Tugas mereka yang mencari orang hilang. Tugas gue cuma berburu makhluk yang meresahkan."
Ascella kembali menatapku ketika Ezekiel memilih bersandar. "Aku kira kalian tahu."
"Tidak," balasku dan Ezekiel bersamaan.
"Gue berburu kemarin, tapi enggak ada apa-apa," kata Ezekiel. "Tanya saja anak jalanan sana, kami sempat mengobrol soal kehidupan."
Ascella masih saja menatapku. "Lalu, bagaimana denganmu, Thalia?"
"Eh?" Aku seketika bingung.
Ezekiel kembali duduk, menghalangi pandangan Ascella. "Dia enggak ada kaitannya dengan ini. Sudahlah, jangan ditatap terus."
Kalimat itu tentu niatnya menyerang Ascella, tapi aku hargai kesabaran lelaki itu menghadapi Ezekiel.
"Baiklah, terima kasih sudah mau bicara." Ascella lantas berdiri. "Akan kuhubungi kalian kalau ada perkembangan."
"Lo cukup sebut nama gue ke anak jalanan mana saja," kata Ezekiel. "Mereka bakal kirim pesan lo ke rumah gue."
Ascella mengiakan, dia kemudian menatapku. "Terima kasih juga, Thalia."
Aku heran kenapa dia berterima kasih padaku. Tapi, kubiarkan saja dia menjauh.
Aku lirik Ezekiel. Dia langsung menarik kembali tangannya yang sedari tadi menjadi bantal bagiku.
"Dia kayaknya mau sama lo," ujar Ezekiel. "Gue jelas enggak suka."
Aku maklum, Ezekiel seperti pelindung lain ketika aku didekati lelaki. Maksudku, mereka tidak mau aku terjerumus dengan tipu daya, bukan?
"Dia sepertinya tahu," ucapku pelan, memastikan hanya kami yang mendengar. "Kamu tahu mereka kenapa?"
Aku bahkan tidak tahu pasti kabar orang menghilang jika Ascella tidak angkat bicara.
"Gue enggak tahu." Ezekiel masih menatap kepergian Ascella. "Melihat bocah ini, gue tahu dia siapa."
"Siapa memangnya?"
Ezekiel menatapku. Seketika aku teringat obrolan singkat kami sebelum keluar rumah.
"Hah?!" Aku terngangga. "Bagaimana bisa? Cepat sekali kamu tahu!"
"Hush! Jangan terlalu keras!" tegur Ezekiel sambil berbisik. "Dan perihal orang hilang tadi, dia juga."
Aku terdiam. Pantas saja dia tahu statusku dengan Ezekiel. Duh, ketahuan!
"Lalu, apa yang ingin kamu lakukan?" tanyaku. "River bagaimana?"
Ascella ... River ... Aku tidak tahu lagi.
"Tidak perlu risau, Putri." Ezekiel tersenyum. "Gue bakal selalu melindungi lo."
***
Seusai obrolan sederhana siang itu, aku kembali berjalan seorang diri. Lebih tepatnya seakan sendirian.
Kembali ke titik awal, aku menyusuri jalanan tempatku berjumpa dengan Ascella yang telah merusak rencana kami.
"Bukan," sanggah Ezekiel ketika aku menyampaikan pendapatku tadi. "Justru sebaliknya."
Meski tidak sepenuhnya paham, aku mencoba patuh. Dulu sering bertanya pada para pelindungku, terlebih Mariam, soal ini dan itu. Ketika dunia begitu membingungkan dan takdir begitu samar, aku mencoba beradaptasi meski harus bertanya terus.
"Apa ini?"
"Kenapa begitu?"
"Bagaimana bisa?"
"Benarkah?"
Begitulah yang sering kuucapkan. Aku bahkan ingat betul kejadiannya dan reaksi yang ditanya. Kini, aku merasa sedikit malu bertanya. Tapi, berkat itu pula jadi semakin tahu.
Ascella hanya salah satu bagian darinya dan aku tentu harus waspada. Kalimat awal saja sudah meresahkan, apalagi tindakan berikutnya.
Maka dari itu, aku akan dan selamanya percaya kepada para Guardian. Karena mereka pelindungku.
***
"Kulihat dia begitu protektif padamu." Dia berkata.
Saat itu, kami sedang menikmati pemandangan sore di bawah naungan pohon. Dari jauh, bisa melihat pemandangan warga tengah bersantai di taman dan sebagian juga berlarian.
Aku bertemu lagi dengan Ascella petangnya, setelah sedikit berjalan-jalan di kota Adrus sambil diawasi. Sekarang, aku diizinkan berkeliling sendiri sementara Ezekiel kembali mengurus pekejaannya sebagai Pemburu Sihir.
"Maklum, aku yakin dia hanya ingin melindungiku," jawabku. "Habis, kamu tiba-tiba datang dan bertingkah seakan hendak menculikku." Aku bergurau pada bagian itu.
Ascella tersenyum. "Dia manis tapi di sisi lain seram juga kalau dipikir-pikir. Kamu tidak keberatan hidup bersama pria seperti itu?"
"Tidak masalah," jawabku spontan.
"Sudah berapa lama kalian bersama?" tanya Ascella.
Aku berpikir, mungkin bisa dihitung berdasarkan tahunku hidup berdampingan dengan para Guardian, tapi aku saja lupa apa yang terjadi di sana.
"Sangat lama," jawabku. Tidak mau terkesan terbuka maupun misterius.
Padahal hanya beberapa hari saja aku dan Ezekiel saling kenal. Tapi, aku percaya padanya bagaimanapun juga.
"Thalia," panggil Ascella.
Aku menatapnya.
"Jika aku jujur padamu, kamu akan percaya?"
Pertanyaan klasik yang menjebak. Aku tidak bisa menentukan apakah dia benar-benar jujur atau kalimatnya berdasarkan fakta tapi dibelokkan ke arah yang dia inginkan.
"Katakan saja," balasku, setengah menyuruh. "Aku mendengarkan."
Ascella lalu mengubah posisi duduknya hingga persis berada di depan mataku. Matanya memantulkan wajahku yang tampak bingung.
"Aku ingin melindungimu," katanya. "Maka, percayalah padaku."
Aku berpikir sejenak. "Apa maksudmu?"
"Aku ingin kamu selamat kali ini," ujarnya lirih. "Kamu ingat?"
"Aku tidak mengerti," balasku. "Kamu bicara apa?"
Ascella menatap ke bawah, aku langsung salah tingkah dan menutup rok meski tidak ada yang terbuka.
"Apa, sih?" Aku mulai risi.
"Eh, maaf!" Ascella langsung menjauh, wajahnya memerah.
Malu, aku langsung berdiri dan menatap lelaki itu dengan tajam. "Dengar, kalau mau terus terang, jangan menunda apalagi membelokan obrolan sana-sini. Basi tahu!"
Aku hampir saja membentak. Bukan karena membenci atau bersikap kurang ajar, aku hanya takut kalau dia mengetahui sesuatu dan hendak memanfaatkan kebaikanku.
"Bukan begitu!" Ascella berdiri dan mencoba meraih tanganku, tapi aku menolak. "Aku tidak yakin kamu mau mendengar sekarang, tapi ..."
Aku diam, mendengarkan.
"Thalia, kamu dalam bahaya."
Hidupku memang selalu dalam bahaya. Maksudku, bukan hal aneh lagi semua kejadian ini. Sejak awal aku mempertanyakan kalungku, bahaya sudah mengintai dan sering nyaris merengut nyawaku. Tapi, mereka senantiasa menjagaku. Memastikan aku dan adikku aman. Hendak dibalas begitu padanya, tapi aku tentu tidak mau ketahuan.
"Thalia."
Aduh, suka sekali bocah ini menyebut nama itu. Tapi, semakin canggung lagi jika dia memanggilku dengan nama lahir. Jangan bilang dia juga menyamar.
Tapi, kenapa hening?
Kutatap Ascella. Dia terpaku, seakan melihat sesuatu yang menakutkan.
Kulihat dari pantulan matanya. Kobaran api biru mengarah ke sini.
Terdengar suara dari mereka yang masih ada di taman. Meski tertutup dengan jeritan memekakkan telinga.
"Gigantropy!"