Dahan-dahan menusuknya tepat sebelum rubah itu menerjang rumah Gill. Aku refleks mundur ketika ia memberontak, menatapku tajam dengan mata birunya.
Tubuhku disambut Arsene. Ia pegang bahuku sambil menatap rubah yang berjuang membebaskan diri. Sudah jelas ia bingung, bagaimana bisa musuhnya dikalahkan dengan dahan seperti itu? Padahal Arsene pernah mencoba menjerat rubah itu dengan sihirnya.
Kami mendekat ke jendela. Rubah itu terus memberontak dan meraung. Saat dahan lain patah, dahan lain menggantikan. Makhluk itu kewalahan, terus berjuang membebaskan diri. Kulirik sosok yang sedang mengamatinya di bawah.
Evergreen.
Kami bergegas turun disusul Gill dan Dokter Youfeather. Dengan takjub menyaksikannya terjerat hingga nyaris tenggelam dalam pelukan dahan dan sulur tadi.
Evergreen menyeringai. Ia dengan santai membiarkan musuhnya perlahan terkurung dalam penjara ciptaannya.
"Minggir!" seru Evergreen.
Tubuhnya perlahan membesar, keluar sisik-sisik ungu dan cakar memanjang di kukunya. Taring mencuat dari mulut, perlahan menjelma menjadi seekor naga ungu tanpa sayap. Mata hijau dan merah, bersinar di bawah sinar bulan, tampak janggal lagi menyeramkan.
Naga itu maju dan menerjang. Saling cakar dan gigit. Rubah itu memang garang, namun kulitnya lebih lembut dibandingkan naga. Ketika cakar Evergreen menembus bulu putih itu, darahnya mengotori tanah. Rubah itu meraung, berusaha melawan. Dengan mudahnya ditahan si naga.
Naga ungu itu, meski tidak bersayap laksana ular, mampu terbang sambil menggigit leher rubah itu. Melesat di udara, membiarkan darah musuhnya mengalir dan barangkali, sambil mengisapnya.
Evergreen dalam wujud naga, melepas gigitan dan membiarkan musuhnya terjun bebas ke tanah.
"Awas!" Gill menarikku menjauh tepat sebelum dentuman besar menghantam tanah Ezilis.
DUM!
Kami terjatuh sambil berpegangan, tubuh dipenuhi debu. Aku nyaris terseret dan mencengkeram erat tangan Gill.
Kulirik sekeliling. Dokter berlutut, menjaga keseimbangan meski harus terkena debu. Arsene melindungi wajahnya dengan jubah.
Tangan Gill memelukku gemetar. Evergreen kini kembali dalam wujud manusianya, berpaling dan tersenyum menawan. Berdiri di depan mayat rubah yang pecah laksana kaca.
"Kamu membunuhnya!" seru Gill.
"Kenapa?" Evergreen tersenyum. "Aku telah melindungi kalian. Sesuai janji para Guardian untuk saling melindungi."
"Aku tidak merasakan aura Guardian darimu," balas Arsene. "Mana buktinya?"
Evergreen menatapku. "Pangeran, serahkan kalungmu!"
Aku mendekat dengan gemetar. Anehnya, masih bercahaya kendati Arsene dan Gill kini bagai titik dari kejauhan. Berarti ...
"Kalung ini telah memilihku." Evergreen menatap Arsene dan Gill. "Akulah Guardian! Tugasku melindungi Pangeran!"
Kulirik mayat rubah tadi. Perlahan menjelma kembali menjadi sosok gadis berambut biru pucat. Dia tampak sedikit lebih tua dariku. Aku mendekat, penasaran sekaligus prihatin. Selama Guardian lain sibuk berdebat dengan Evergreen, aku sempat mendengar kata-kata terakhir gadis ini.
"Pelindung Kikiro ... Telah tiada," bisiknya terputus-putus. "Aku ... Kabur demi ... Bertahan."
Berarti, monster di negerinya telah merajarela semenjak kepergian pelindung itu. Tapi, siapa yang dimaksud?
"Pelindung?" tanyaku.
"Ia ... Tiada ..." lanjut gadis itu. "Kikiro ... Pernuh ... Iblis."
"Remi."
Arsene muncul tepat di sampingku. Ia pegang bahuku sambil menatap sinis Evergreen, laksana seekor singa melindungi anaknya.
"Siapa kamu?" tanya Arsene. "Kamu tampak seperti penduduk Ezilis, tapi tidak pernah kulihat sebelumnya."
Evergreen tersenyum lagi. "Aku dilahirkan atas dua perkara ; hidup dan mati. Jiwaku masih hidup walau terpisah dengan raga."
"Apa maksudmu?" Arsene memicingkan mata.
Ia terkekeh, tawanya terdengar laksana lonceng malam. Membuat bulu kuduk merinding. "Aku diciptakan untuk tujuan buruk, namun bertindak berdasarkan hukum. Tiada perkara yang sulit bagiku untuk menilai siapa yang berhak hidup di atas bumi selama pengawasanku."
Kulirik gadis tadi. Matanya kini terpejam. Ketika kudekati, aku tahu dia sudah tidak bernapas.
Siapa dia? Kenapa berpesan padaku?
"Remi, sini!" Arsene mendekat. "Apa yang kaulakukan?"
"Gadis itu, dia bilang sesuatu soal Kikiro," jawabku.
"Kikiro?" beo Arsene.
Aku mengiakan. "Katanya pelindung di sana sudah tiada."
Evergreen menyahut. "Ah, sangat disayangkan."
Arsene menatapnya dingin. Tangan sebelahnya melingkari bahu, laksana perisai.
"Kamu Pemburu Sihir?" Gill muncul di samping kiriku. "Dari ucapanmu, sepertinya kamu tahu betul soal Guardian."
"Aku tidak tewas kala Shan runtuh. Aku masih di bumi bertarung bersama para jin dan hendak membangun kerajaan jin dan manusia sebagai bentuk perdamaian. Sayang, musuhku malah merusak rencana mulia ini." Ia menghela napas. Menatap jasad gadis itu. "Aku pernah membunuh neneknya. Beliau perusak negeri."
"Musuh?" beoku. "Maksudku, siapa yang merusak rencanamu?"
Evergreen menjawab. "Ia disebut sebagai 'Penjara Berjalan,' meski gelar itu untuk ularnya yang sudah mati di tanganku. Akulah dalangnya, yang membantu memusnahkan Sihir Hitam dari bumi."
"Auramu ... " Gill seolah tercekat hingga tidak mampu melanjutkan kalimatnya.
"Kalian boleh percaya atau tidak," balas Evergreen. "Tugasku hanya mengabdi pada Pangeran dan Putri."
"Kamu sudah bertemu dengan Putri?" tanya Arsene.
Evergreen mengiakan. "Sayang, aku kehilangannya. Tapi, aku yakin dia masih hidup dan diam di sini."
Jangan-jangan ... "Itu ... Michelle?"
Evergreen melirikku. "Siapa?"
Aku lalu menceritakan perkara Michelle dan Nemesis yang kutemui di pasar beberapa waktu yang lalu. Evergreen menyimak dengan wajah serius. Memandang mata uniknya membuatku terpana sekaligus curiga akan sesuatu tersimpan di baliknya.
"Aku juga ada di sana, Pangeran," ujar Evergreen. "Sebenarnya, ada empat vampir mengincar kalian. Sudah kubunuh dua, satu nyaris menyerang Pangeran dan satunya lolos."
"Vampir satunya?" sela Gill.
"Jangan bilang itu pria yang sempat memelas padaku," ujar Arsene.
Evergreen menggeleng. "Pria malang itu memang baru saja diserang vampir lain, ia baru saja berubah dua hari lalu. Monsieur Perrier, kamu membunuh saudarinya. Ia sebentar lagi akan hidup sebagai vampir di keluarga barunya. Menjadi budak."
"Jadi, vampir yang kubunuh itu adalah saudarinya," kata Arsene. "Kenapa dia tidak bilang?"
"Ia yang merubahnya menjadi vampir secara tidak sengaja," jelas Evergreen. "Ia lepas kendali, sama halnya dengan saudarinya waktu itu."
Arsene termenung, barangkali memikirkan nasib korban berikutnya. Aku paham alasannya tidak mau membunuh vampir itu. Ia tidak tampak berbahaya seperti saudarinya tadi.
"Ia memintaku berjaga diri." Arsene sengaja tidak menyebutkan perkara Evergreen. "Aku akan mencarinya."
"Kenapa?" Evergreen menyeringai. "Biar kubunuh untukmu."
"Aku tidak mau membunuhnya dulu," balas Arsene. "Akan kucari ia di tempat yang sama. Aku yakin ia masih menungguku."
***
Arsene menggandengku kembali ke pusat perbelanjaan. Evergreen meninggalkan kami tepat setelah berjanji akan bertemu denganya besok di sana. Evergreen tampak keberatan namun kehabisan kata untuk menyanggah. Gill masih di rumah sementara Dokter sudah pulang.
Sambil menggenggam tangannya, kulirik wajah Arsene yang kaku. Ia tidak bicara sepanjang jalan selain menyuruhku untuk tidak jauh-jauh darinya.
Pusat perbelanjaan masih ramai meski kemarin baru saja terjadi pembunuhan vampir. Semua orang tampak melupakan perkara tadi. Mereka bahkan mengabaikan kami yang tengah berjuang melawan lautan makhluk saling dorong melewati jalanan.
"Mereka sudah terbiasa?" bisikku kala kami terbebas dari gelombang manusia dan beragam makhluk serupa.
Arsene mengiakan. "Ini sudah terjadi jauh sebelum aku dilahirkan kembali."
Ia barangkali sudah bertemu dan melawan makhluk yang sama berkali-kali. Aku jadi penasaran dengan seluk-beluknya, sama halnya dengan Gill juga Evergreen yang masih jadi misteri.
"Kamu lapar?" tanya Arsene.
Aku menggeleng karena tahu akan dijamu Gill setelahnya.
Kuamati beberapa benda yang dijaja sementara Arsene menuntunku semakin dalam ke pusat perbelanjaan. Entah kenapa, aku malas membeli barang di sini, padahal kemarin banyak sekali yang ingin kubeli, terkendala karena Nemesis.
"Remi!"
Terdengar suara Evergreen dari kejauhan.
Kulirik Arsene, ia tatap Evergreen yang sedang duduk di sebuah kedai. Menikmati minumannya, entah apa itu.
Aku paham maksudnya, barangkali ia hendak menjaga kami atau itu termasuk kebiasaan.
"Tolong ...!"
Terdengar suara gaduh dari kejauhan. Aku refleks berpaling. Kulihat seorang wanita, bahunya digigit oleh wanita pucat. Ia menjerit sementara kami hanya terbalak dan terpaku.
Saat itulah, ia muncul.