« Ascella »
Hangat.
Itu yang kurasakan setelah semburan badai es membekukan ragaku. Sesak awalnya, hingga seseorang atau barangkali sesuatu menyelamatkanku.
Itu dia. Yang kini memberiku selimut serta aura hangat menyelubungi diri.
Aku mengatur napas. Hidung tersumbat akibat udara membeku yang masuk. Kini mencair hingga napasku kembali normal.
Sangat janggal jika aku masih percaya dengan makhluk ini. Dia yang merenggut jiwa kakakku, menguasai raganya dan berlagak seakan dia pengganti yang layak. Namun, yang kulakukan justru mematuhinya.
Karena jika aku menolak ...
"Jika kamu ingin dia selamat, patuhi perintahku."
Andai aku menolak, mungkin aku maupun Kakak tidak akan bertahan hingga hari ini.
Tapi, aku tidak pernah sekali pun merasa diuntungkan dalam perjanjian ini. Menyesal tiada gunanya sekarang. Makhluk itu telah mengendalikan Kakak dan aku harus menyelamatkannya.
"Kamu terluka?" Tidak sewajarnya dia bertanya seperti ini. Terlebih dengan suara kakakku. Seakan Kakak bicara langsung padaku.
Seharusnya kubantu Thalia. Aku tahu dia bisa menyelamatkan Kakak. Walau ada seseorang yang kerap membuatku resah. Kekasihnya, atau mungkin pria yang mengklaim dirinya begitu. Aku bahkan tidak percaya jika mereka memang benar-benar pasangan.
"Ascella, bicaralah." Suara Kakak terdengar. Tapi aku tahu itu bukan dia seutuhnya.
Aku memilih diam. Aku ingin Kakak kembali, bukan dirinya.
Kudengar dia menarik napas kemudian duduk di sisiku.
"Kakakmu orang yang baik. Aku sangat berterima kasih karena dia mau membantuku selama ini." Dia berkata seakan kami tengah berduka atas kematiannya.
"Aku ingin Kakak kembali," ucapku pelan, setengah berharap agar dia tidak mendengar walau tentu saja dia bisa mendengarnya.
"Dia akan kembali, segera setelah semua ini berakhir." Makhluk itu kemudian berdiri.
"Kamu tidak akan melepaskan Kakak," ujarku. "Kamu tidak mungkin mematuhi janjimu setelah sekian lama ini."
Tidak kusangka, dia berpaling kemudian membalas ucapanku dengan lembut. "Aku akan mengembalikannya segera setelah semua ini," ulangnya. "Tapi, ini belum berakhir."
"Bacot!" bentakku. "Mau sampai kiamat pun Kakak tidak akan dikembalikan!"
Makhluk itu mendekat. "Ayo, ikut aku."
Tanpa persetujuan dariku, dia tarik aku menuju sebuah ruangan dalam rubanah.
Meski rumah keluargaku telah hancur lebur akibat kedua Gigantropy itu, kami masih memiliki ruang bawah tanah sebagai tempat berlindung ketika bencana nanti. Dan di sinilah makhluk itu bersemayam.
Jin ini, Zibaq, mengaku telah menyimpan sesuatu di dalam. Sesuatu yang penting katanya.
"Mereka memiliki beragam senjata berbahaya, Ascella," ujarnya. "Salah satunya adalah kotak perhiasan yang kusegel."
"Apa isinya?" Aku tentu mempertanyakan.
"Kotak yang berisi jin seperti aku, dia aset penting para Guardian." Zibaq kemudian membuka kunci ruang bawah tanah dan membiarkanku masuk terlebih dahulu.
Tempat ini hanya terdiri dari ruang kosong dan sejumlah kayu penyangga yang berfungsi untuk meletakkan barang. Aku telusuri tempat yang tidak begitu luas ini.
"Mana kotaknya?" heranku.
Aku sedikit menyesali ucapanku tadi.
Krang!
Kukira Zibaq yang merantaiku. Namun, mendengar rintihannya di belakang membuatku tersentak.
Terdengar suara wanita dari balik bayangan rubanah. "Tahan dia, Khidir!"
Kulihat pria dan wanita, mereka mengikat kami dalam rantai emas yang kuat. Bahkan Zibaq pun tidak sanggup berkutik, terlebih mulutnya yang terkunci, dia hanya bisa menatap tajam keduanya.
"Hah! Akhirnya!" Wanita berambut hitam panjang itu mengangkat kedua tangan, tanda betapa lama dia menunggu waktu ini. "Tidak sia-sia aku tunggu berjam-jam lamanya. Aku nyaris mati bosan."
"Sudah kubilang, seharusnya kita menjelajahi rubanah ini dulu," balas pria berambut hijau yang kuduga bernama Khidir tadi.
"Tapi, kita juga tidak tahu kapan mereka datang," sahut wanita berambut hitam. "Hei, bocah ini yang mencoba mendekati anakmu."
Pria berambut hijau itu ayahnya Thalia? Bagaimana bisa?
"Lihat, mukanya!" Wanita berambut hitam itu terkikik. "Malu pasti!"
Pria menatapku, senyuman ramah menghias wajahnya, entah kenapa ketika melihat itu aku seakan merasa direndahkan.
"Dia tidak semudah itu dirayu," ujar si pria.
"Dan anak seperti bocah ini tidak juga menarik," sahut si wanita.
Si pria lalu bicara pada temannya. "Nah, sekarang tugasmu menyegel kedua makhluk ini sekali lagi."
"Tunggu, jangan!" seruku spontan. "Lindungi aku! Aku yang berusaha membantu kalian! Tanya saja pada Sylvester Bill itu! Dia tahu!"
"Bukannya kamu yang diutus untuk menangkap Gigantropy, he?" balas wanita berambut hitam. "Jelas-jelas Sylvester itu targetmu dan dia tahu itu. Mana mungkin dia mau orang sepertimu mendekat."
"Aku tidak ingin jin ini terus menerus mengambil alih raga kakakku!" Aku menatap Zibaq yang masih dirantai. "Aku ingin Kakak kembali, tapi terpaksa harus mematuhinya!"
"Alah!" decak wanita berambut hitam.
"Dia jujur."
Aku terkejut ketika si pria ternyata percaya padaku.
"Benarkah?" Wanita berambut hitam itu menatapnya heran, wajar jika dia tidak percaya.
"Zibaq selalu memeras inang dan orang sekitarnya. Anak ini dipaksa untuk patuh. Bukan begitu, Zibaq?"
Zibaq tidak membalas. Namun, aku dapat membacanya dari tatapan tajam dia pada Khidir dan aku. Jin itu mencoba memberontak lagi, tapi gagal.
"Kau tahu, Zibaq. Hidup kami dipenuhi oleh sihir hitam dan kami tahu betul cara mencegahmu," ujar wanita berambut hitam.
"Zibaq tidak mengira kita bakal ke sini," ujar Khidir. "Nah, kurasa sudah saatnya kita bereskan semua kekacauan ini."
Lalu keduanya berbincang, aku amati obrolan mereka dengan saksama. Mereka bisa jadi menemukan celah baru. Tunggu, aku bisa membantu mereka jika saja keduanya mau mendengar. Tapi, sebaiknya tunggu saja sampai mereka memutuskan.
"Bagaimana kabar kedua adikmu?" tanya Khidir.
"Mereka sudah kujemput, terima kasih sudah memberitahu ruangnya," jawab temannya.
Hening sesaat.
"Kita serahkan dulu mereka pada yang lain atau kunjungi Reem dulu?" tanya wanita berambut hitam. "Siapa tahu gadis itu bisa membantu."
Siapa Reem?
"Dia lebih baik aman bersama keluargamu," sahut Khidir. "Setelahnya cukup mengurung jin ini di sekitar sini."
"Kuharap mereka tidak kabur kali ini," balas wanita berambut hitam. "Begitu pula dengan para Guardian. Mereka pasti masih berada di sekitar sini dengan aman."
"Kita perlu waspada." Khidir menatap Zibaq sesaat sebelum kembali pada temannya. "Karena para Guardian saja tidak sanggup melawannya sendirian bahkan dalam kelompok kecil, apalagi kita yang hanya berdua."
"Mereka selalu diglorifikasi, kamu dan lainnya, sampai lupa bahwa kalian tetaplah makhluk sihir biasa."
Khidir membalasnya dengan senyuman tipis. "Jangan berlagak, adikmu saja kalah di tangan temanku yang tanpa sihir itu."
Ucapan Khidir tampak sukses membungkam mulut wanita berambut hitam itu. Namun, aku tidak menyangka ucapan tadi tidak menimbulkan risiko bagi Khidir. Tanda bahwa pertemanan mereka mungkin terjalin tidak hanya sebatas kerja sama saat ini saja.
"Baiklah." Wanita berambut hitam itu menyerah. "Apa rencanamu?"
Khidir kemudian menatapnya. Dia bisikkan sesuatu pada temannya.
Aku penasaran apa yang mereka ucapkan. Tapi, aku sadar diri bahwa aku tidak diundang sejak awal. Meski begitu, harusnya mereka lekas memberi keputusan apakah diri ini layak disebut kawan atau lawan.
Tanpa kusadari, kobaran api menyembur ke arah kami.