webnovel

Akhir Hayatnya – 4

Kedatangan dan kepergiannya yang begitu cepat menyisakan banyak tanda tanya dalam pikiranku. Setiap kali Tirta muncul, masalah lebih cepat selesai. Namun, dia hanya muncul di saat seperti itu saja sementara di lain waktu menghilang seakan ditelan bumi. Antara ada dan tiada, begitulah kira-kira yang kurasakan tentang Tirta. Namun, aku juga belum melihat kisahnya. Barangkali dia ada urusan lain di luar sana.

"Kyara?" Kudengar suara Khidir memanggil. Dia entah kenapa terlihat diam saja ketika menghadapi Tirta.

"Kenapa kalian takut?" Langsung saja aku bertanya. "Ada apa?"

"Enggak takut, sih. Lebih ke segan," jawab Ezekiel. Dia mungkin tampak lebih tenang ketika bicara dengan Tirta, tapi aku menyadari dari nada bicaranya yang seketika sedikit terjeda membuatku yakin dia juga memiliki reaksi sama dengan Khidir.

Mereka segan, aku maklum. Padahal beberapa bulan lalu, ketika aku pertama kali berjumpa dengan Tirta, para Guardian tampak biasa saja malah terlihat akrab. Kenapa saat ini terasa berbeda?

"Perasaan gue harusnya tidur, 'kan?" Ezekiel bertanya.

"Harusnya," sahut Khidir. "Urusan Zibaq tampaknya selesai."

"Beneran selesai?" Ezekiel terdengar bersemangat. "Artinya cuma gue nih yang bisa taklukan jin?" Ezekiel tersenyum bangga, keluar sudah penyakitnya.

Sebaiknya aku tidak perlu menganggap serius obrolan mereka saat ini.

Khidir tidak membalasnya, malah kembali menatapku. "Kyara, bagaimana menurutmu?"

"Menurutku yang mana?" tanyaku balik.

"Hidup bersama orang ini." Khidir menunjuk Ezekiel dengan seluruh jari, ditambah dengan ekspresi memilah seakan pria itu layak dicurigai.

Aku mengingat kembali, waktu ketika pertama kali berjumpa dengan Ezekiel. Kesan awal ketika dia memujiku, aku tersanjung tentunya. Namun, itu semua diselingi tingkahnya yang menurutku aneh. Seperti Guardian lain, dia menyimpan benda sihir di rumah, tapi belum pernah kudengar Guardian mencuri barang berharga yang bahkan nilainya bisa jauh lebih tinggi dibandingkan harta seorang raja. Ah, benda itu sekarang mendekam di rumahnya dan aku tidak tahu harus bertanya seperti apa nanti.

"Kamu tampak berpikir dengan keras." Ucapan Khidir sontak membuatku sadar. Dia kini sudah duduk kembali di kasur yang bersebelahan dengan punyaku.

"Sebenarnya dia menyimpan benda yang sangat aneh, apa tadi namanya?" Aku mencoba mengingat.

Kudengar Ezekiel seakan menyadari sesuatu, dia pun tertawa. "Astaga, Putri. Gitu doang dipikirin. Orang sekarang udah ada lho yang bikin. Walau yah, masih percobaan."

"Dan kau mencuri barang yang belum jadi?" Khidir mengangkat sebelah alisnya, sama sepertiku dia juga heran.

Ezekiel mengangkat bahu. "Gue rasa benda itu enggak penting amat, kecuali lo enggak ada kerjaan. Isinya sama aja kaya perpustakaan di Shan dulu."

"Benarkah?" Khidir menyahut. Menurutku wajar dia meragukannya.

"Gue sudah baca beberapa," balas Ezekiel. "Sebentar lagi mau gue jual deh sama pedagang, biar nanti dia kembangkan lalu bilang kalau benda tadi murni ciptaannya."

"Orang-orang akan percaya?" Khidir kini lebih terdengar cemas ketimbang meremehkan.

"Coba aja." Ezekiel tersenyum, menyimpan seribu makna di balik itu. Namun, setelahnya dia langsung mengalihkan pembicaraan. "Daripada bahas benda enggak berguna itu, mending bahas soal kekuatan masing-masing."

"Kalian saja." Aku langsung berniat mundur. "Aku tidak tertarik."

"Lho, jangan gitu!" bujuk Ezekiel. "Kami, para pelindungmu ini, makin keren, nih. Harusnya banding dong sama versi dulu."

"Kenapa tidak bahas yang lain saja?" Khidir tampaknya sepihak denganku.

Ezekiel menyentuh dagu, tampak berpikir. "Soal jin itu gimana?" Dia kini terlihat lebih semangat.

"Kamu tahu sesuatu?" tanya Khidir.

"Gue lebih yakin kalian yang tahu sesuatu." Ezekiel menekankan bagian 'kalian' seakan tengah menyelidik. "Gue dengar Zadoc kesurupan. Ya, 'kan?" Dia terdengar seperti membongkar kedok alih-alih penasaran.

Aku langsung bertanya. "Tahu dari mana?"

"Kakek yang kasih kabar." Dia tersenyum. "Siapa yang enggak dikasih tahu?"

Aku refleks membalas. "Tirta tahu di mana Guardian lain berada? Kenapa aku tidak tahu? Maksudku, bukannya aku punya hak untuk tahu?"

Ezekiel menatap Khidir, seakan meminta penjelasan. Dia jelas tahu kalau aku hidup lebih lama bersama Khidir, rasanya aneh kalau sampai aku tidak tahu sesuatu.

"Kyara dan Remi belum diberi tahu," kata Khidir.

Ezekiel menatapku. "Kok gitu?"

Harusnya aku yang bilang begitu.

"Kamu tahu sendiri, dia tidak menganggap Zibaq sebagai ancaman selain semut kecil dalam sebuah kue." Khidir kemudian mengelus rambutku. "Kyara pun juga seharusnya tidak terlalu mencemaskan jin itu. Sekarang tinggal tunggu kabar dari Kakek."

"Bukan ancaman? Apa aku tidak salah dengar? Bukannya kalian ketakutan waktu itu? Kalian sendiri juga menyuruh selalu waspada!" protesku.

"Seluruh dunia berbahaya, Kyara," Teguran Khidir membuatku teringat kepingan kisah di masa lalu.

Mariam.

Waktu ketika Mariam pertama kali membawaku pergi dari Desa Anba. Dia memberiku penjelasan tentang makhluk mengerikan yang mungkin akan menyerangku. Lalu kubalas dengan polos jika Shyr sedang dalam bahaya. Namun, dia bilang seperti tadi seakan mengatakan bahwa dunia yang kutempati bukanlah dunia ideal.

Ada benarnya. Selama ini aku merasa diburu makhluk mengerikan yang hanya ingin memuaskan nafsu makan mereka. Kini aku harus berlindung bersama kumpulan orang yang entah bagaimana membuat kalungku bersinar. Tidak ada pilihan lain, jika aku kabur, maka kisahku diakhiri dengan aku yang ditelan makhluk buas di luar sana.

"Sudah, jangan dipikirin." Rupanya Ezekiel, dia membelai rambutku. Kini ada dua tangan membebani kepalaku. "Gue bakal melindungi lo. Gue jaga pokoknya."

"Kamu terdengar seperti pria hidung belang." Ucapan pedas dari Khidir membuat Ezekiel mendengkus, sepertinya mereka punya cara berpikir yang sama walau kesan awal ini mereka sepertinya bakal susah akur. Aneh juga. Safir saja masih tampak lebih bersahabat dengan Ezekiel, tapi sesama Guardian malah saling serang seperti itu. Atau barangkali itu bentuk komunikasi positif antara mereka?

"Beritahu aku kebenarannya!" pintaku sambil menyingkirkan tangan mereka. "Aku juga berhak tahu. Bukankah aku sang Putri?"

Hening yang cukup panjang. Mereka diam saja seperti menggali jawaban di jurangnyang begitu dalam. Rasanya aku seperti berada di tengah ruangan interogasi yang menunggu tersangka bicara.

Pada akhirnya, Khidir pun bicara. "Zibaq hanya jin yang tidak ingin Shan maju."

"Kenapa?" tanyaku. "Siapa dia? Apa urusannya dengan Shan? Kenapa ..." Ucapanku terpotong.

"Namanya juga politik, ribet, sih," potong Ezekiel. "Tapi, yah, dia cuma bisa gonta-ganti badan. Sudah enggak punya sihir kuat, banyak tingkah pula."

"Kamu begitu meremehkannya," tegurku. "Padahal kamu nyaris tewas waktu itu."

"Kata siapa?" Ezekiel terdengar menahan tawa. "Malah seru. Rasanya kayak waktu masih kecil, asyik bermain di rumah kerabat sampai pingsan kelelahan sendiri. Dia bukan lawan gue. Harusnya dia sadar kalau gue lebih kuat!"

Selama ini kukira dia musuh utama kami dan aku harus waspada padanya. Namun, nyatanya para Guardian tidak tampak begitu peduli. Setelah yang berlalu? Mereka semua jelas terluka bahkan nyaris tewas saat melawan jin itu dan masih saja menganggap dia bukan ancaman? Yang benar saja! Ada sesuatu yang disembunyikan dari semua ini. Namun, jika kutanyakan sekarang mereka mungkin tidak mau menjawab. Jika benar dugaanku ini, maka sudah dapat dipastikan bahwa aku adalah ...

"Sekarang kalian apakan Zibaq?" tanyaku.

"Kami serahkan kepada Kakek," jawab Khidir. "Tugas kita tinggal menunggu."