webnovel

Akhir Hayatnya – 2

"Aku tidak mau!" bentak Ascella ketika Khidir mencoba membujuknya ikut untuk kesekian kali. "Kakak akan kubawa pergi dan kami tidak akan berurusan dengan kalian lagi. Tidak ada lagi sihir atau apa pun itu namanya!"

"Kami hanya ingin memastikan kalau dia benar-benar pergi. Meski keadaan kota tampak aman, jin itu masih berkeliaran di sekitar sini," terang Khidir, terdengar berusaha sabar. "Kamu tidak mau kakakmu jadi inang lagi, bukan?"

Ascella menatapnya tajam. "Beraninya! Aku tidak akan membiarkan keparat itu merusak hidupku lagi, aku jamin!"

"Kamu yakin?" sahut Khidir. "Melawan salah satu dari kami saja sudah membuatmu kewalahan."

"Hentikan bacotmu!" bentaknya. Suaranya tetdengar gemetar. "Aku ... tidak ingin terlibat lagi. Aku lelah dengan semua kekacauan ini. Yang kuinginkan hanya hidup tenang bersama Kakak."

"Kalau begitu, biarkan kami menjaga kalian," balas Khidir. "Karena kami bisa membantu."

"Oh ya? Temanmu ini nyaris membunuh Kakak untuk kesekian kalinya. Sudah begitu, dia juga melukaiku secara sengaja. Mana mau aku percaya?" sahut Ascella sambil menatap tajam Ezekiel yang terlelap. "Dia mengancam Zibaq dengan menyakiti Kakak dan akhirnya berhasil, walau nyaris saja mengorbankan Kakak, keterlaluan!"

Aku menatap Ezekiel. Tampak damai dalam lelapnya seakan mengabaikan seruan Ascella padanya.

"Kami akan pergi," ujar Ascella sambil berjuang membopong kakaknya. "Selamat tinggal dan jangan ketemu lagi."

Namun, sesuatu seakan menahan langkahnya. Ketika Ascella berjuang maju, dia malah terlihat didorong sesuatu yang tidak kasat mata. Hingga akhirnya lelaki itu jatuh bersama kakaknya.

"Hei!" seru Ascella.

Kulihat wujud Zach muncul tepat di depannya. "Aku minta maaf atas kelancanganku, tapi kami tidak bisa melepaskanmu begitu saja. Ketika Zibaq pergi, dia mungkin masih mencari inang baru dan aku yakin kakakmu menjadi target lagi."

"Mana mungkin," sangkal Ascella. "Kakak sudah sakit begini raganya masih saja diincar."

"Jin mencintai orang yang berbagi janji dengannya, terlebih jika itu janji turun menurun," kata Zach. Entah kenapa, dia menatapku sekilas baru kemudian kembali bicara pada Ascella. "Dia akan terus mengincar kakakmu hingga raganya benar-benar tidak bisa didiami, dalam artian ..." Dia tidak melanjutkan.

Ascella terdiam sejenak. Seakan tidak terima dengan penerangan dari Zach. Baru beberapa detik berlalu, dia kemudian bicara. "Baik, akan kubiarkan kalian menjaga kami. Dengan syarat, jamin keselamatan kami."

"Tentu," balas Zach. "Sekarang, ikuti kami."

"Ke mana?" tanya Ascella.

Zach mundur beberapa langkah. Kedua tangannya tampak menari seakan menarik sesuatu hingga menyatu dengannya. Perlahan tapi pasti, terbentuk sebuah cahaya putih nyaris membutatakan mata.

Di saat itu juga, tubuhku terasa melayang.

***

"Putri, bangun!" Kudengar suara pelan Zach. Dia sentuh pipiku beberapa kali hingga aku membuka mata. "Bagaimana tidurmu?"

Aku mengucek mata. Entah kenapa terasa berat padahal rasanya tadi aku begitu bugar dan tidak ingin tidur untuk sementara waktu. Nyatanya sekarang aku merasa telah tertidur nyenyak.

"Nyenyak," jawabku. "Ini di mana?"

Zach menempelkan jemari tunjuk ke bibirnya, isyarat diam atau mungkin memelankan suara.

Ketika kutatap sekeliling, barulah aku paham. Semua orang masih tidur, hanya ada Khidir, Ezekiel, Ascella, dan kakaknya si Helia. Mereka tidur berjarak cukup jauh kecuali Ascella dengan Helia yang tampak saling menjaga. Sementara aku berada di tengah Khidir dan Ezekiel. Aku pun perlahan maju dan bicara dengan Zach agar tidak menganggu mereka.

"Ini di mana?" tanyaku dengan berbisik.

"Menuju Deli, tempat yang kurasa akan didiami Zibaq."

Aku kagum dengan tebakannya. "Tahu dari mana?"

"Kami dapat merasakan jin itu," jawab Zach. Ah, seharusnya aku tahu itu.

Aku mengiakan. Berarti ada petualangan lain menunggu. Namun, aku merasa janggal saat ini. Melihat situasi yang begitu sunyi.

"Di mana Guardian lain?" tanyaku lagi.

"Darren Lanchester, dia bersama Safir pergi ke Danbia bersama Gillmore." Zach menerangkan. Terkesan aneh jika dia menyebut nama belakang temannya, mungkin agar tidak tercipta kesalahpahaman. Walau di lain sisi itu membuatnya tampak tidak begitu kenal dengan temannya.

"Danbia? Untuk apa?" tanyaku. "Ada Guardian lain di sana?"

"Salah satunya," jawab Zach. "Juga menemui Pangeran."

Aku menunduk. Tugas mereka lebih berat sekarang. Seakan tanpa istirahat sudah disuruh pergi ke negeri yang jauh. Setahuku, Danbia bahkan tempat asing bagi penduduk Arosia apalagi Aibarab. Kebudayaan dan bahasa mereka saja sudah berbeda, meski ada sedikit kemiripan dengan penduduk Arosia. Setidaknya itu yang kupelajari dulu.

"Putri butuh sesuatu?" tanya Zach.

Aku berpikir sejenak. "Barangkali cerita dari Shan."

"Bagian mana?"

"Tentangmu." Aku tanpa ragu menjawab demikian. Aku tentu heran bagaimana bisa dia terjebak di sebuah kotak perhiasan.

Zach menunduk, matanya seakan menunjukkan kalau dia berusaha mengingat kembali. Tidak lama berselang, dia akhirnya bicara.

"Aku diangkat Yang Mulia menjadi pengasuhmu ketika berusia lima puluh tahun, aku hanya jin bebas yang kemudian dikutuk seorang penyihir lantaran kenakalanku."

Aku tidak ingin mengorek lebih dalam maksud dari "kenakalan" yang dia lakukan. Kubiarkan dia lanjut bercerita.

"Ketika menjalin kontrak untukmu dan Pangeran, aku menjaga kalian layaknya Guardian lain. Hingga suatu ketika aku mencium kedok Hiwaga yang mencoba merusak rencana kami yang ingin memajukan Shan."

Sudah kuduga. Berarti benar Hiwaga selama ini mencoba mengambil alih tahta Shan atau setidaknya ingin mengubah kerajaan kami.

"Singkat cerita, ketika aku berusaha melawannya–betapa gegabahnya aku–dia berhasil menyegelku ke dalam kotak perhiasan dan berkata, 'Kamu akan bebas jika sudah disentuh oleh majikanmu.' Dia lempar aku ke Dunia Bawah dan aku lupa di mana tempat itu. Pada akhirnya aku ganti namaku setelah mendengar kabar tentang Idris."

"Berarti kamu mengubah nama selama ini?" tanyaku.

"Namaku sebelumnya Ku Raiv, itu nama berian dari seekor jin kepadaku. Sementara aku memilih mengganti nama guna mengenang tempatku disegel."

"Mengenang?" Bagiku itu terkesan aneh.

"Tidak mengapa, setidaknya ada pelajaran bagiku, untuk tidak melawan musuh seorang diri." Zach melirik Ezekiel. "Kecuali jika kamu dia atau Kakek Tirta."

Terkesan lucu ketika mereka memanggil Tirta dengan sebutan itu. Namun, aku pun juga sadar telah melakukan hal yang sama.

"Jadi, sekarang apa?" tanyaku. "Maksudku, setelah ini. Apa tinggal menghindar?"

"Aku menyarankan itu. Sebaiknya kita istirahat," katanya.

Aku mengiakan. Suasana kembali hening seperti sedia kala. Berdiam diri di sini bersama para pelindungku dan seorang lelaki yang baru kukenal beberapa minggu. Meski pada dasarnya setiap Guardian sebenarnya baru kukenal, tapi kurasakan ikatan yang lebih kuat seakan kami memang selama ini saling kenal. Maka kubiarkan mereka bertindak jika dirasa pantas dan sesekali memberiku ruang untuk menyahut. Meski lebih sering kubiarkan lantaran belum bisa memutuskan perkara. Rasanya aku harus belajar lagi.

Suatu saat, keputusanku akan mengubah masa depan. Tidak dalam kiasan ataupun sekadar kalimat. Yang kuyakini saat ini, aku akan menjadi pemimpin bagi mereka lantaran aku maupun adikku selama ini dilindungi. Kami harus bisa mendampingi mereka hingga kembali bisa mengembalikan negeri yang dirindukan.