Malam merambat menuju larut. Rumah-rumah tetangga nampak sudah tidak ada kehidupan, menyisakan aku yang masih menunggui kepulangan suamiku. Hari adalah awal musim dingin, salju pun sudah mulai turun sedari sore tadi. Aku mengecek poselku, ada beberapa pesan dari ibu, waktu kami terpaut 4 jam mengingat ibuku yang berada di Indonesia sementara aku di Rusia. Sudah sejak 6 tahun lalu aku hidup disini dan membangun rumah tangga selama sepertiga tahunnya.
Aku menjawab beberapa pesan ibuku yang menanyakan apa kabarku, apakah aku sudah makan, dan sebagainya. Aku mendengar suara klakson mobil dan dengan cepat aku mengahmpiri pintu rumah. Aku memeluk suamiku "Feliks, darimana aja kamu?" kataku dalam Bahasa Rusia. Dia tak menjawab menatapku khawatir. Aku merasakan dingin yang teramat kuat sehingga aku melepaskan pelukanku, aku membawa Feliks masuk menuntunnya duduk di dekat perapian dan bergegas menuju dapur untuk membuatkan teh hangat untuknya.
Tiba-tiba Feliks mencengkram tanganku erat, wajahnya sekali lagi dipenuhi guratan khawatir yang aku tak tahu kenapa. "Naila, malam ini pindah rumah mau?" suaranya lembut namun ada sedikit ketakutan dalam nada bicaranya. Aku belum sempat berkomentar, namun pintu rumah kami digedor begitu kerasnya. Aku hendak memaki, berjalan ketus menuju pintu rumah. Niatku memaki urung, ternyata tetanggaku dan anaknya yang datang, mereka tampak kedinginan. Rasa iba pun mengalahkan rasa marahku, ku persillahkan mereka duduk dan lagi-lagi aku beranjak ke dapur untuk membuat teh.
Brakkk!!!
Aku mendegar suara sesuatu terjatuh dari arah ruang tamu namun aku memilih untuk mengabaikannya, toh suamiku dan tetanggaku juga ada disana jadi mungkin mereka tidak sengaja menjatuhkan sesuatu. Setelah selesai membuat teh, aku segera berbalik menuju ruang tamu, akan tetapi aku benar-benar dibuat terperanjat kala suamiku tiba-tiba berdiri dibelakangku. Feliks menarik paksa tanganku hingga membuat nampan yang tadinya berisi teh ditanganku luruh berserakan di tanah.
Kutanyai Feliks terus menerus tentang kemana kami akan pergi, tapi Feliks tak menjawab. Aku memberontak "Diluar dingin, Feliks." Bantahku sedikit berteriak. Feliks tak menatap ke arahku sedikitpun namun nadanya datar menjawab "Aku akan membuatmu hangat.". Entah setan apa yang telah merasukinya, tadi dia ketakutan dan sekarang dia terlampau dingin dibanding kulkas 12 pintu.
Setibanya dihalaman rumah, aku terperanjat dan lututku lemas seketika, kudapati darah berserakan di halaman rumahku. Diantara hamparan darah itu terbaring 5 raga tetanggaku yang tak lagi bernyawa, 2 diantaranya adalah tetanggaku yang tadi bertamu ke rumahku.
Aku langsung meronta sejadi-jadinya berusaha melepaskan diri dari tangan suamiku. Kecurigaan dan ketakutanku kental bahwa dialah pelakunya dan dia hendak menjadikan aku korbannya. Dia menatapku datar seolah tanpa perasaan. Sadar bahwa lututku tak mampu lagi ku gunakan untuk berdiri, dia membopongku secara paksa. Aku hanya bisa terus meronta berpasrah bahwa nyawaku akan berakhir hari ini. Tiba-tiba
Duarr!!
Seorang tetanggaku menembak suamiku dan tepat mengenai bahunya. Aneh, suamiku Nampak tak kesakitan ia masih dengan tatapan datar nan dinginnya. Tetanggaku sekali lagi menembaknya, dan… peluru itu hampir mengenaiku akan tetapi dengan sigap suamiku menangkapnya dan melemparnya kembali kearah tetanggaku.
Argghh!!
Satu peluru itu berhasil membuatnya tak lagi dapat berjalan dengan benar. Sungguh aku tak lagi berdaya ketika melihat Feliks menghabisi nafas tetangga ku itu hanya dengan sekali banting ke aspal. "Feliksss…..." Lirihku mengemis untuk dilepaskan. Ekspresinya tetap tak berubah namun aku yakin ada setetes air mata mengalir dari wajah datarnya kala itu. Belum selesai penderitaanku, salah seorang tetangga ku yang berprofesi sebagai tentara keluar membawa sebuah senapan, ia membrondong Feliks dengan bebrepa tembakan. Feliks membalikkan tubuhnya menjadi kan punggungnya tameng agar peluru-peluru itu tidak mengenai tubuhku.
Aku heran, kenapa tak sekalian dia bunuh aku sekarang, atau dia ingin menyiksaku melihat kematian tetanggaku yang mengenaskan. Aku tiada lagi berdaya, dalam pelukannya aku menyaksikannya menghabisi hampir 50 nyawa. Feliks meletakkanku di dalam mobil, ia berlari menerjang 2 tetanggaku yang sudah siap menghajarnya dengan pisau, dan beberapa kayu bakar yang cukup besar. Aku menyadari kesempatan untuk kabur, ini bukan lagi perihal hubungan suami istri atau apa, akan tetapi nyawaku sendiri. Ku berani sisa-sisa tenagaku untuk membuka pintu mobil. "Berhasil." Batinku sedikit gemetar berlari secepat-cepatnya menjauh dari tempat itu. Sialnya aku tak sedang membawa ponsel, aku berlari mencari pertolongan berusaha untuk menjangkau pos polisi terdekat atau telepon umum setidaknya. Langkahku membabi buta, sementara Feliks masih fokus menumpahkan darah kedua tetanggaku tadi.
Belum cukup jauh aku berlari tiba-tiba ada yang menarik tanganku, aku setengah menjerit menyangka bahwa itu adalah Feliks. Akan tetapi dugaanku salah, itu adalah tetanggaku. Yang tak aku mengerti adalah kenapa sekarang dia membuatku seolah menjadi Sandra dengan pisau yang dia siapkan di leherku. Aku meronta berusaha menjelaskan bahwa aku adalah korban juga yang takt ahu apa-apa, pikirku mengira mungkin dia menyangka akua da sangkut pautnya dengan perbuatan Feliks. "Jangan mendekat atau dia mati." Ancam tetanggaku itu ketika Feliks mendekati kami.
"Dasar iblis." Gertak Feliks "Berani kau buat satu tetes darahnya mengalir, akan ku pastikan takkan ada darah yang bersisa dalam ragamu.". Ia tak menggubris gertakan Feliks, dengan ganasnya ia menyayat leherku. Aku hanya bisa memejamkan mata, pasrah bahwa nyawaku akan berakhir. Dan… satu detik, dua detik, tiga detik… aku belum merasakan rasa sakit sama sekali, aku pikir aku sudah mati, aku pun membuka mataku. Pemandangan yang pertama kali menyambutku benar-benar membuatku tak lagi mampu menggerakan tubuhku sedikitpun. Felix berubah menjadi sosok yang berbeda, sepasang sayap hitam menyembul dari punggungnya, dihadapannya tetanggaku serupa sosok iblis, wajahnya melepuh dan darah juga memenuhi wajahnya, menyembul dua buah tanduk di kepalanya, pakaiannya pun sobek dibeberapa tempat akibat ukuran tubuhnya yang membesar. Suamiku sedang saling menangkis pukulan saat itu. Aku benar-benar hanya dapat mengerjap ketakutan saat suamiku dengan mudahnya mencabut jantung tetanggaku itu, darahnya menyembur hingga mengenai aku.
Aku benar-benar lumpuh kala Feliks mendekatiku "Naila, jangan takutt… jangan takutt…" Dia perlahan membelaiku berusaha menenangkanku sementara aku tiada berdaya lagi hanya untuk menggerakkan tangan dan bahkan menepis tangannya menjauh dari pipiku. "Naila.." nadanya melembut sembari merangkulku dalam pelukannya "Maaf, sepertinya kisah kita harus berakhir disini. Aku menyesal mengajakmu tinggal di perumahan ini, maaf aku tak pernah tau bahwa semua orang itu penganut sekte penyembah iblis." Air matanya mulai menitik sementara tatapku masih kosong, menggigil tak karuan "Naila, aku menyayangimu dan demi menyelamatkanmu aku mengambil janji pada lucifer agar aku dapat hidup kembali sampai aku bisa menghabisi semua penganut sekte itu, Naila.".
"Aku tak kuasa memberitahumu bahwa petang tadi mereka menjebak mobilku dengan ranjau, lalu dengan brutalnya mereka tembaki aku hingga aku tewas. Dan demi kamu, ku lakukan semuanya… aku tau kamu sedang mengandung anakku. Jika kau tak percaya bisa kau lihat di hutandekat sini, ragaku masih terbaring disana." Kali ini aku mempercayainya, ku tenggelamkan kepalaku dalam pelukannya menangis sejadi-jadinya "Naila, maafkan aku ya.. maaf kalau aku gagal memenuhi janjiku untuk bisa menemanimu hingga rambutmu tak lagi hitam, maafkan aku Nai.". Aku tak menjawab, beku yang kurasakan dengan pilu yang terukir dalam hatiku "Jaga dirimu baik-baik, Nai." Ucapnya sebelum ia lenyap.
Beberapa tahun berlalu, kini aku telah memiliki 1 orang anak, bahkan suamiku Feliks pun turut hidup bersamaku selama ini. Yap, anak dalam kandunganku bukanlah anaknya tapi anak tetanggaku, dengan begitu suamiku akan selalu memiliki alasan untuk hidup sampai ia mampu menghabisinya, hahah sayang itu tak mungkin karena ironinya dia putrinya sekarang dan dia tak pernah mengtahui fakta itu selamanya.