webnovel

No Escape

Sambil terus memegangi perutnya yang seperti berdenyut, Brie mengamati pintu gerbang gedung. Ada beberapa memang, tapi sayangnya semua itu berada di belakang Sekar dan Gisel. Brie tak punya pilihan selain melewati salah satu dari mereka.

“Pestanya sudah bisa dianggap selesai, kan? Kita tidak mungkin melanjutkannya bertiga saja?” lontar Brie, berusaha menekan ketegangan tak tertahankan di dadanya.

“Ahahahaha!!! Lucu sekali!” Tawa Sekar makin keras.

Tak menanggapi, Gisel menerjang ke arah Brie. Bukannya kabur atau balas menyerang, Brie malah berlari mendekati Sekar sambil mengangkat pedang. Tersenyum lebar, Sekar menyambut Brie dengan sabetan sabit.

Brie menunduk dan bergeser. Sesuai dugaan Brie, Gisel yang tak bisa berpikir kini menyerang Sekar. Sekar langsung mundur untuk menghindar. Lantai keramik di sekitar situ pun retak-retak terkena hujaman sulur Gisel.

Tak memedulikan semua itu, Brie terus melarikan diri. Namun, Sekar menerkamnya dari belakang. Setelah berguling-guling sejenak, Brie segera bangkit, tapi sulur-sulur Gisel keburu membelit pinggang, kedua tangan, dan sebelah kakinya.

Dengan kaki yang bebas, Brie segera menginjak sulur yang membelit tangan berpedangnya. Lalu, ia menusukkan pedangnya itu dalam-dalam ke lantai. Sekar jadi kesulitan menarik Brie, yang kini balas menarik dengan mengerahkan seluruh tenaganya.

“Little help, please!?” teriak Brie kepada Sekar, benar-benar tak punya pilihan lain. Tubuh Brie sudah mulai bergeser ke depan. Nyeri di perutnya makin menjadi-jadi karena bebatan sulur dan tangan berpedangnya seperti akan ditarik putus.

“Hmmm… Baiklah, aku tolong,” jawab Sekar lalu tertawa lagi dan berlari ke arah Gisel.

Sekar melancarkan sabetan-sabetannya kepada Gisel. Karena gerak yang terbatas, Gisel berkali-kali terkena sabetan-sabetan itu, tapi tubuhnya tidak kunjung terluka. Tebasan-tebasan itu hanya meninggalkan lebam merah memanjang.

Belitan yang ada di perut, sebelah tangan, dan satu kaki Brie akhirnya terlepas. Gisel kini menggunakan sulur-sulurnya yang bebas untuk menangkis dan menyerang Sekar.

Tak sanggup mengiris atau melepaskan satu sulur yang masih membelit tangan kanannya, Brie memilih untuk menggulung sulur itu. Gisel tak sempat menggerakkan sulur itu karena terlalu sibuk meladeni Sekar.

Sekar melancarkan sabetannya ke titik yang sama di pipi Gisel untuk kesekian kalinya. Kali ini, kulit di pipi itu jebol dan mulai mengucurkan darah.

Begitu sudah dekat dengan dua gadis itu, Brie melingkarkan gulungan sulur di tangannya ke leher Gisel dan menariknya keras-keras. Gisel jatuh terlentang, membuat sulur-sulurnya jadi tak terkendali. Melihat kesempatan emas yang pasti singkat itu, Sekar segera menangkap semua sulur dan menahannya.

Tanpa ampun, Brie menginjak kedua mata Gisel. Bersamaan dengan itu, Brie bisa melihat luka bekas hujaman sabit Sekar di dada Gisel. Hampir tanpa berpikir, Brie menukikkan ujung pedangnya ke luka itu.

“Raaaaaa!!!” Gisel berteriak saat pedang itu menusuk lukanya. Tangannya menggelepar-gelepar, berusaha melepaskan telapak kaki Brie yang menghalangi mukanya. Akan tetapi, Brie keburu mengangkat pedangnya kembali.

Crasss! Crasss Crasss!

Brie menusuk-nusuk dada musuhnya itu tanpa henti. Gerakan Gisel lama-kelamaan melambat, sampai akhirnya kedua tangan sang pengantin wanita tumbang. Tangan Brie pun terbebas dari belitan sulur.

Saat Brie mencabut pedang, kenangan Gisel tiba-tiba datang ke matanya. Sekarang, Brie melihat Revan yang tengah menyodorkan kotak kecil berisi cincin ke arahnya.

Meski ia tahu itu bukan ditujukkan kepadanya, Brie merasa pikirannya seperti terbang ke awan. Gisel ingin mengarungi kehidupan baru bersama Revan, maka gadis itu menerima pinangan sang kekasih tanpa keraguan sedikit pun.

Sesaat sebelum cincin itu akan dipasangkan, pandangan Brie kembali seperti semula. Ia langsung mendapati sulur-sulur dan pola di tubuh Gisel sudah lenyap tanpa bekas.

Brie merasa kebahagiaannya baru saja direnggut, padahal jelas-jelas itu bukan miliknya. Ia beringsut menjauh, benar-benar tak bisa mengendalikan perasaannya yang begitu kacau.

Revan yang baru sadar bangkit dengan bantuan meja. Matanya langsung terarah kepada Gisel.

“Gisel!” Pemuda itu berlari menghampiri mayat Gisel. Ia pun berjongkok dan menggoyang-goyangkan tubuh sang kekasih. Tak kunjung mendapat respon, Revan mulai menitikkan air mata dan memeluk erat-erat tubuh yang sudah tak bergerak itu.

Melihat dua orang yang masih dibalut busana pernikahan itu, Brie jadi ingin ikut mencucurkan air mata. Dadanya seperti diremas dari dalam. Karena perbuatannya, kebahagiaan yang akan diarungi pasangan itu tak akan pernah terwujud.

“Jujur saja, aku sangat menikmati kerjasama kita. Sayangnya, kerjasama itu harus segera berakhir,” ucap Sekar dengan wajah murung yang jelas sekali dibuat-buat, berjalan mendekati Brie.

Dengan mata melotot, Brie menoleh ke arah Sekar, melongo untuk beberapa detik, sebelum akhirnya menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Apa kamu bisa melihat hal terpenting dari orang-orang yang kamu bunuh?”

Sekar menghentikan langkahnya sambil menautkan alis. “Hah? Apa maksud kamu?”

Revan masih memeluk tubuh sang kekasih, tak memedulikan apa yang terjadi di dekatnya itu.

“Jawab aku!!! Apa kamu bisa tahu apa yang terpenting bagi mereka!!!?” Meski suaranya menggelegar, Brie tak yakin orang lain bisa mengerti apa yang ditanyakannya itu.

“Aku tidak mengerti.” Sekar menghela napas sangat panjang. “Dan bukan berarti aku ingin mengerti.”

Dengan tawa mengerikannya, Sekar bergerak maju lalu memutar tubuh sambil menyabetkan sabit di tumitnya kepada Brie, yang langsung sigap menunduk.

Seperti tak merasakan letih, kedua gadis itu terus mengadukan senjata, membuat suara-suara gesekan benda tajam, sesekali diselingi bunyi angin yang ditebas. Mereka menghindar, menangkis, dan menyerang tanpa henti.

“Bagus sekali! Terus! Ahahahaha!!!”

Sekar terus tertawa-tawa, seolah pertarungan itu adalah sebuah hiburan yang begitu menyenangkan. Berbeda sekali dengan Brie, yang fokus untuk melumpuhkan sang lawan. Setelah Sekar jatuh, Brie akan memaksanya bicara. Sekar punya kekuatan yang mirip dengan Brie. Brie menganggap kalau sang musuh pasti mempunyai jawaban yang dicarinya.

“Ahahahahaha!!!”

Mendengar tawa Sekar untuk yang kesekian kali, Revan akhirnya mengangkat wajahnya dan berdiri, mulai mengamati duel seimbang nan cepat yang nyaris tak bisa diikuti matanya. Otaknya pun langsung dihinggapi satu pertanyaan: apakah dua gadis itu adalah manusia?

“Sayang sekali kalau kamu harus mati di sini! Ahahahaha!” Melihat satu hujaman menuju wajahnya, Sekar menghindar.

Menemukan Revan di jalur serangannya, Brie langsung berhenti. Matanya memelototi wajah pria yang tak bergerak saking bingung dan terpananya itu. Brie tak mau mengalami hal itu lagi, merasakan apa yang terpenting dalam hidup orang lain, tujuan, harapan, mimpi, kasih sayang, cinta, serta kebahagiaan.

Brie tak rela dirinya menjadi menyebab kehancuran semua itu, hanya akan menimbulkan sakit tak terkira di hatinya.

Dengan mata yang mulai dilapisi cairan bening, Brie menurunkan pedangnya. Pola-pola di tubuhnya menghilang bersama pedang itu. Saat ini, ia tak tahu keadaannya sendiri.

Bug!

Merasakan hantaman keras di tengkuknya, Brie langsung tumbang. Pandangannya mengabur dengan cepat, seiring dengan nyeri yang makin kuat di tengkuknya itu. Tak lama kemudian, yang bisa dilihatnya cuma kegelapan pekat.

Masih mengangkat tangannya yang baru saja digunakan untuk memukul Brie, Sekar kembali tertawa keras. Tak memedulikan Revan yang jatuh terduduk, gadis itu mengangkat tubuh Gisel dan membopongnya dengan bahu. Revan sendiri cuma bisa membeku dengan tubuh yang bergetar hebat, terlalu takut melakukan apa pun.

“Maaf ya, aku ambil istrimu dulu,” ujar Sekar dengan nada antusias. “Kamu pasti bertanya-tanya kenapa istrimu bisa jadi seperti ini. Sebenarnya aku bisa menjawab pertanyaanmu itu, tapi yah… Aku cuma sedang malas melakukannya.”

Beberapa detik tak mendapat respon, Sekar membelalakkan matanya lebar-lebar. “Tapi, aku bisa memberitahu alamat anak-anak lain yang mempunyai kekuatan seperti aku dan istrimu. Mungkin kamu bisa mendapat jawaban dari mereka. Atau saat menemui mereka, kamu mungkin akan bertemu denganku. Mungkin aku bisa menjawab pertanyaanmu itu di sana.”

Revan masih tak menjawab, justru sekarang gemetaran di tubuhnya makin menjadi-jadi. Jantungnya juga seperti akan lepas saking kencangnya berdegup.

“Tapi, aku punya satu syarat. Kamu harus membawa dia.” Sekar menunjuk tubuh Brie yang masih tergeletak. “Kalau tidak… Yah, kamu masih sayang keluarga kamu, kan?”

Sekar mendatangi mayat Deny lalu merogoh saku celana ayah Gisel itu untuk mengeluarkan sebatang ponsel. “Nomor kamu pasti ada di sini, kan? Nanti aku kirim alamat-alamatnya.”

Setelah memasang senyuman yang begitu lebar dan janggal, Sekar bertolak dari tempat itu. “Jangan kabur, ya! Jangan lapor polisi juga! Ahahahaha!!!”

Masih saja tak sanggup bergerak, Revan terus memandangi Sekar yang membawa jenazah istrinya.