webnovel

Laki-Laki Yang Sepertinya Penipu

"Ahh, rasanya Aku terlalu banyak makan cemilan belakangan ini." Keluh Ana untuk kesekian kalinya sambil mengelus-elus perutnya yang rata. "Apa seharusnya Aku pesan teh hijau saja?" Keluhnya.

"Kau selalu mengatakan itu." Balas Lunia dengan tawa kecil. "Cuma satu bubble tea tidak akan membuatmu gendut, ya ampun. Yah, dengan satu cheesecake dan churros juga sih."

"Ini salahmu tahu. Karena kau mengajakku ke kafe ini terus, rasanya Aku jadi ketagihan dessert di sini."

"Well, sama-sama." Balas Lunia akhirnya. "Tapi kita hanya ketemu saat weekend, kau tahu. Jangan-jangan kau sendiri sering ke sini ya?" Godanya balik. Meski masih berada di satu kota, jam kerja mereka sebagai model dan patissier lumayan berbeda satu sama lain. Jadi mereka hanya bisa meluangkan waktu saat weekend saja.

Tapi setelah ngobrol beberapa lama, mata Lunia kemudian menangkap sesuatu memasuki pintu kafe dan dia langsung mendekatkan kepalanya lagi. "Hei, hei, lihat laki-laki itu." Kata Lunia dengan senyum mengembang. "Bukankah dia tampan sekali?"

Mengikuti pandangan Lunia, Ana memutar kepalanya untuk melihat ke arah meja kasir. "Hm, benar juga." Sahut Ana sambil menilai laki-laki dengan kemeja abu-abu yang ada di sana..

Bukan cuma tinggi, tubuhnya juga lumayan melekuk-lekuk dengan indah seperti ada banyak otot di balik pakaiannya. Kulitnya coklat terang dan hidungnya juga mancung. Dan yang paling menarik perhatian adalah matanya yang hitam dan tajam. Bahkan pelayan yang sedang menerima pesanannya saja pipinya sudah memerah dengan malu meski laki-laki itu sama sekali tidak menatapnya.

"Apa ada syuting drama di sekitar sini?" Tanya Ana dengan heran. "Gaya rambut dan cara berpakaian yang serapi itu, dia jadi sangat mirip dengan pemeran CEO di drama yang suka kau tonton."

"Yaa, agak menyebalkan mengakuinya. Tapi dia juga lebih ganteng daripada—Oh, shit. Dia menoleh ke sini!" Celetuk Lunia. Karena posisi mereka, hanya Lunia yang bisa melihat laki-laki itu tanpa harus memutar kepalanya.

"Kenapa? Tatap saja balik." Balas Ana sambil menendang-nendang kaki Lunia di bawah meja.

Tapi selagi keduanya tertawa begitu, wajah Lunia tetap saja berubah kikuk lagi. "Eh?! Sekarang dia berjalan ke sini!"

"Eh, seriusan?"

Dan benar saja, laki-laki itu sekarang berdiri di samping meja mereka. "Permisi." Katanya.

Ana mengalihkan wajahnya ke jendela karena berpikir dia akan bicara pada Lunia. Tapi ternyata Lunia malah menendang-nendang kakinya lagi. 'Dia bicara padamu!' Teriaknya pakai telepati.

Memahami itu, Ana pun buru-buru merapikan rambutnya dan menoleh. "Eh, ah, iya, mm, ada apa ya?"

"Mm, ini mungkin tidak akan terdengar sopan… Tapi Aku memperhatikanmu daritadi." Kata laki-laki itu begitu saja, spontan membuat Ana juga Lunia langsung kegirangan sendiri karena ternyata laki-laki tampan itu lumayan agresif meski masih sopan.

"Dan Aku sangat tertarik dengan kalungmu."

"…Eh, apa?" Celetuk Ana bingung. "Kalung? Kalungku?" Ulangnya bingung sambil menyentuh-nyentuh lehernya sendiri, di mana ada kalung emas yang melingkar di sana. Kalung itu adalah kalung emas dengan liontin teratai yang agak mencolok.

Ana mendapatkannya sekitar 1-2 tahun lalu dari warisan neneknya yang sudah meninggal. Sejujurnya desain itu agak kuno, tapi karena sudah sering memakai aksesoris yang keren di tempatnya bekerja, Ana pikir kalung itu tetap lumayan bagus untuk dipakai sesekali.

Menyadari wajah dua perempuan di depannya kebingungan, laki-laki itu pun sedikit menata cara bicaranya lagi. "Ah, mm, Aku tidak bawa kartu namaku. Tapi namaku Rei, dan Aku bekerja sebagai kolektor barang-barang antik." Katanya lagi. "Dan kalungmu kelihatannya termasuk barang yang lumayan bagus."

"…" Terdiam, Lunia dan Ana pun kembali memandang dan saling melemparkan telepati lagi. Dan mereka satu pemikiran. Kalau tadinya laki-laki ini terlihat seperti orang yang cocok jadi pemeran CEO atau semacamnya, mulai detik ini image-nya berubah jadi orang mencurigakan. Bahkan penipu mungkin.

"A-Ah, maksudmu kau mau beli kalung ini?" Balas Ana akhirnya. "Tapi maaf ya. Ini warisan nenekku, jadinya tidak dijual."

"…" Dan kali ini laki-laki itu yang terdiam, jelas sedang berpikir bagaimana caranya merubah pikiran mereka.

Ana sudah mulai menendang-nendang kaki Lunia lagi untuk minta cari ide supaya mereka bisa mengusir laki-laki ganteng yang mencurigakan ini. Tapi sepertinya kali ini telepatinya gagal. Karena Lunia malah melebarkan senyumnya.

"Tapi, mm, Rei ya? Memangnya kau bekerja di mana? Toko barang antik? Museum?"

"Hm, sebut saja toko barang antik." Jawabnya, dan dia kembali menoleh pada Ana. "Tempatnya ada di dekat sini, hanya jalan 5 menit. Kalau kau mau, Aku bisa mengajakmu untuk sekedar lihat-lihat dulu."

"Tentu saja boleh, kenapa tidak?" Lagi-lagi Lunia malah menyahut. "Lagipula hari ini kau memang tidak ada pekerjaan, ya kan Ana?"

'Apa yang kau lakukan?!' Ana teriak-teriak dalam hatinya, tapi Lunia sama sekali tidak berniat menerima telepati itu. "Kalau begitu karena Aku ada urusan lain, kalian pergi berdua saja tidak apa kan?" Dan sekarang Lunia malah berdiri dari kursinya. "Ah, dan tolong sekalian bayar semuanya ya. Thank you, bye!"

"…" 'Asdjaksdjka Lunia sialan!!' Keluh Ana dalam hati, yang akhirnya Cuma bisa melihat Lunia benar-benar pergi meninggalkannya sendiri.

"Kalau begitu biar Aku bayar dulu." Kata laki-laki itu sambil pergi ke meja kasir lagi.