"Tapi aku yakin Kak perempuan itu sengaja ingin berduaan dengan laki-laki tersebut," seloroh Tasya lagi.
Tania mendengus sebal dengan perkataan Tasya barusan. Semakin jelas saja yang dia maksud adalah tania dan Kevin.
Sedangkan Atifa yang dari tadi memperhatikan semakin yakin ada yang tidak beres di antara adik bimbingannya ini. Ia juga melihat adanya perang dingin di antara mereka berdua.
"Sudah-sudah. Tasya, sebelum memutuskan sesuatu sebaiknya kita tabayyun terlebih dahulu supaya tidak terjadi kesalahpahaman dan menjadi fitnah. Kita tidak bisa langsung memutuskan hanya karena apa yang kita lihat dan apa yang kita pikirkan."
Atifa menjeda beberapa detik ucapannya. "Dan untuk Tania, jika kamu merasa tersinggung dengan kata-kata Tasya barusana, alangkah baiknya jika nanti bertemu dengan nonmahram ada yang menemani supaya tidak terjadi kesalahpahaman."
Kemudian Atifa kembali melanjutkan pembahasannya kembali. "Yah begitulah adik-adik memang di zaman ini banyak sekali yang telah menanggalkan rasa malunya. Mudah-mudahan kita semua, saya dan adik-adik di sini dapat menjaga iffah dan dapat menjaga kesucian diri. Aamiin."
Beriktunya Atifa menjelaskan dengan panjang lebar hingga tak terasa waktu telah berjalan selama dua jam.
"Yah tidak terasa ya waktu dua jam kita telah habis, kita akhiri kajian kali ini dengan bacaan hamdallah dan doa kifaratul majlis."
Setelah selesai berdoa, Tasya memutuskan untuk cepat-cepat pulang dengan wajah yang masih ditekuk.
Sementara Atifa, Tania, Dias dan Lana hanya memperhatikan dengan pandangan penuh tanya. Tak lama kedua temannya yang lain Dias dan Lana juga memutuskan untuk pulang. Yang tersisa, tinggal Tania dan Atifa di serambi masjid itu.
"Kakak lihat ada yang tidak baik di antara kamu dan Tasya," Atifa membuka percakapan.
"Entahlah Kak, Tania juga nggak mengerti. Akhir-akhir ini Tasya agak berbeda sama aku."
"Sudah dibicarakan dengan baik-baik?"
"Mau bicara baik-baik bagaimana? Bicara pun seperti tidak mau," jawab Tania.
"Ya sudah nanti Kakak bantu untuk meluruskan. Bolehkah?"
"Harus Kak, harus bantu aku. Soalnya kalau aku sendiri yang berbicara Tasya nggak mungkin mau denger," ia lirik Atifa yang juga tengah memperhatikannya.
"Tapi, sebenarnya bukan ini yang ingin Tania bicarakan sama Kakak," Tania menimang-nimang kata-kata apa sekiranya yang tepat untung ia ungkapkan dengan kakak yang beberapa bulan ini menjadi mentornya dalam memperbaiki dirinya.
"Em-em Kak gini..." Tania tampak sungkan untuk mulai membicarakan perkara perasaannya ini kepada orang lain selain kakaknya, Rendra.
Tapi kakaknya juga terkadang tidak bisa memberikan jalan keluar yang ia inginkan. Pasalnya kakaknya itu laki-laki dan ia pasti menasihati dengan sudut pandang laki-laki. Ia butuh berbicara dengan sesama perempuan supaya bisa sama rasa. Sementara itu, Atifa memperhatikannya dengan saksama.
"Sebelum Tania hijrah, Tania pernah menjalin hubungan dengan seseorang." Ia alihkan kembali pandangannya kepada Atifa, sementara Atifa menampilkan senyumannya, tanda ia mengerti apa yang akan Tania bicarakan.
"Lanjutkan," ucap Atifa.
"Ya begitulah Kak. Kakak ngerti nggak?"
"Nggak dong, kan Tania belum cerita," Atifa tersenyum berusaha mencairkan suasana.
"Kak apa salah ya jika kita menyukai seseorang?"
"Nggak kok itu normal," jawab Atifa, "Kalau kita sukanya ke perempuan lagi itu baru tidak normal Tan," Atifa terkekeh dan itu menular pada Tania yang juga ikut terkekeh.
"Tapi gimana ya Kak, mantan aku ini masih ngejar-ngejar aku gitu. Jadi suka gamang sendiri Kak."
"Tan, memiliki perasaan terhadap seseorang itu tidak salah, itu wajar itu merupakan gharizah atau naluri. Menyukai lawan jenis adalah salah satu naluri manusia. Hanya saja tergantung bagaimana kita dapat menyalurkan naluri itu. Dengan cara yang baik kah atau justru dengan cara-cara yang dilarang Allah dan mengumbar serta menuruti hawa nafsu semata."
"Jadi bagaimana Kak aku harus mengambil sikap? Khususnya ketika dia yang masih suka menghubungi bahkan pernah datang sengaja ke kelas buat nemuin aku Kak?"
"Caranya yang pertama, kamu fokus mendekatkan diri dulu kepada Allah, sering-seringlah mengikuti kajian-kajian yang bisa menambah keimanan kita."
"Kedua, jangan balas atau menggubris pesan darinya dulu. Kalau bisa blokir aja nomornya supaya dia tidak bisa menghubungi kamu lagi dan kamu juga tidak gamang antara tangan yang gatal ingin membalas pesannya. Dari sini kamu bisa mengistirahatkan hati kamu dulu supaya tidak terbawa lagi perasaan karena pesan-pesan cinta yang dia kirim ke kamu Tan."
"Gimana kalau nemuin langsung?"
"Diusahakan untuk menghindar,"
"Itu sulit Kak, bahkan sama Kak Rendra pun dia berani."
"Hahaha dia sepertinya laki-laki yang bersikukuh ya?"
"Ya, begitulah..." Tania lesu.
"Kalau begitu, abaikan aja nanti juga capek sendiri dianya Tan."
Mendengar jawaban terakhir dari Atifa tiba-tiba hati Tania merasa ketakutan. Ia takut Erlangga akan menyerah akan cintanya dan pergi begitu saja meninggalkan rasa yang masih ia miliki.
Jujur saja, meski Tania memutuskan untuk putus dengan Erlangga, bukan berarti perasaannya pada lelaki itu juga hilang. Layaknya seperti perempuan lain, ia ingin diperjuangkan, ia ingin melihat Erlangga berjuang untuk mendapatkannya, namun dengan cara yang diridhai Allah bukan dengan cara yang salah.
Ia dan Atifa tengah bersama-sama memakai sepatu di pekarangan masjid. seketika Atifa teringat jika pekan depan akan ada acara seminar keislaman yang akan diadakan oleh Divisi Muslimah, kebetulan masih kekurangan panitia yang mau membantu.
"Wah iya Tan, hampir saja lupa minggu depan ada acara seminar keIslaman. Acara ini diadakan sama Divisi Muslimah, kebetulan kita masih kekurangan orang buat bantu-bantu. Gimana minggu depan ada waktu nggak kira-kira?" tanya Atifa memastikan.
"Emm nanti Tania ingat-ingat dulu," Tania berpikir apakah minggu depan ia memiliki waktu luang, pasalnya revisian skripsinya menunggu untuk cepat-cepat diselesaikan. Tapi sebenarnya kalau ia bisa mengelola waktu dengan baik, revisiannya bisa selesai hanya dalam beberapa hari.
"Insya Allah bisa kak, jam berapa emang?"
"Untuk panitia sih harus lebih pagi, kita harus menyiapkan beberapa keperluan soalnya. Jam 07.00 lah ya kita kumpul di aula. Gimana? Soalnya acaranya jam 08.00."
Atifa telah selesai memakai sepatunya, ia berdiri dan menunggu Tania yang masih mengikat tali sepatu kets-nya itu.
"Oke deh, Kak," jawab Tania sambil berdiri dan merapikan gamis dan kerudungnya. Di tangan kanannya pun sudah tersampir tasnya. Mereka berjalan beriringan menuju pintu gerbang masjid.
"Ya sudah kita berpisah di sini ya Tan," kata Atifa ketika mereka sudah sampai di pintu gerbang masjid. "Assalamualaikum, sampai ketemu minggu depan. Dan hati-hati di jalan," Atifa melambaikan tangannya sembari berbelok ke arah kanan. Sementara Tania ia berbelok ke arah kiri.
"Waalaikumussalam warahmatullah." jawab Tania dengan melambaikan tangannya juga pada Atifa.
Tania bergegas. Dia ingin segera sampai rumah. Pikirannya masih terpengaruh oleh penjelasan Atifa. Ucapan Atifa masih terngiang-ngiang.
Abaikan aja nanti juga capek sendiri dianya Tan.
Sungguh kali ini, iman dan cintanya tengah diuji. Dia merasa belum siap, seandainya Erlangga sudah lelah dan akhirnya benar-benar pergi.