"Aku tidak peduli siapa orang tua mereka," Azazel bercakap.
Azazel mengandeng Malphas kembali ke ruangan itu.
Azazel mengamuk menantang keempatnya maju bersama. Ia menghajar mereka berempat. Dikroyok mereka berempat, Azazel masih lebih unggul.
Petugas yang berjaga tidak berani mencegah apapun yang dilakukan Azazel.
"Jangan seperti pecundang yang berani menekan anak kecil," Azazel membentak mereka.
Ia menarik Apollyon yang gemetaran . "Lawan dia sekarang atau aku menghukum jika kau tidak berani," perintah Azazel.
Abaddon hanya diam melotot marah, dia tidak ingin adiknya terluka. Tetapi Abaddon tidak berani melawan ayahnya.
Azazel menghampiri Abaddon menepuk bahunya. "Jika kau menyayangi adikmu, kau harus membuat dirinya kuat. Kau tidak akan bisa menjaganya terus menerus".
"Berani kalian melawannya?" tanya Azazel kepada Malphas dan Hanbi. Entah apa yang dipikiran Malphas melihat Apollyon bertarung satu lawan satu dengan salah satu dari mereka, Malphas mengangguk.
Menunggu jawaban Hanbi—satu-satunya gadis—yang diam, Paman Azazel menatap Hanbi dan berkata, "Kau berani! Jika tidak, jangan memaksakan diri." Azazel merasa anak itu bukan urusannya. Jika ada hubungan darah dengannya harus berani. Tetapi karena jumlah lawan empat orang akan lebih adil jika Hanbi diikutkan.
Akhirnya, Hanbi juga mengangguk tanda siap.
Azazel tidak bertanya pada Abaddon. Tetapi langsung memerintahkan sekarang pertarungan yang adil empat lawan empat. Ia memerintahkan Abaddon maju bersama Apollyon, Malphas dan Hanbi.
Malphas pikir mereka sudah terluka oleh pukulan Azazel tadi tentu tidak akan sekuat seperti saat pertama bertarung.
Dyana menarik Si Kecil Maira ke tepi, dan menutupi mata anak itu dari pandangan pertarungan sambil mengendong bayinya.
Azazel menuju ke wanita itu mengambil anaknya Maira dan mengendong di atas bahunya. Karena takut jatuh, Maira memeluk kepala ayahnya, dipindahnya tangan Maira yang menutup matanya yang menganggu pandangan. Maira memegang kencang leher ayahnya.
Azazel tersenyum, mengingat masa lalu . Demi Maira putrinya Azazel tidak menghukum ibunya lebih berat. Diantara semua putrinya, Maira lah yang paling mengambil hatinya. Memang tidak semua anak sama, tetapi Azazel merasakan siapa anaknya yang memiliki bibit unggul Demon.
Azazel mencintai semua anak-anaknya secara adil, tetapi menaruh harapan besar hanya kepada beberapa anak. Di atas pundak merekalah Azazel menyerahkan tanggung jawab besar di kemudian hari untuk menjaga saudara-saudaranya yang lebih lemah.
Maira anak berusia lima tahun terlihat bersemangat melihat pertarungan yang tidak imbang, empat pemuda berbadan besar yang penuh luka akibat pukulan Azazel dengan tiga remaja kecil dan satu gadis. Maira berteriak-teriak semangat khas anak kecil. Azazel terkekeh senang.
***
Keempat pemuda ambruk tersungkur, keempat tubuh remaja terlihat penuh luka. Pada kenyataan kemenangan ini bukan kemenangan empat remaja kecil, tetapi kemenangan Abaddon sendiri, karena Abaddonlah yang membuat lawan-lawannya ambruk.
Luciano Devil masuk bersama Lilith.
Lilith tersenyum senang melihat kemenangan putranya.
"Bereskan masalah ini. Jika orang tua mereka tidak terima, buat mereka bisa terima," Azazel berujar ..., "jika kau tidak sanggup bersiaplah pergi meninggalkan adikku, anak-anakku tidak bersalah."
Azazel pergi meninggalkan ruangan, Maira tetap di atas bahunya, tangan kanannya merangkul Apollyon dan tangan kirinya merangkul Malphas. "Bawa temanmu ikut kita ... ayo kita pulang, kita akan makan bersama."
"Dyana, siapkan makan malam, aku makan malam di tempatmu bersama anak-anak." Azazel mengajak pulang istrinya tanpa menghiraukan orang di kantor polisi.
Azazel tidak memperdulikan luka mereka, yang ingin Azazel lakukan adalah merayakan kemenangan hatinya bukan kemenangan putra-putranya. Kemenangan Azazel adalah mendapatkan penerus sejati Demon. Melihat Abaddon mengalahkan empat pemuda yang lebih besar itulah yang membuat hati Azazel senang.
Mereka makan malam bersama di rumah Azazel bersama Dyana.
Saat makan malam, Maira selalu mengikut di manapun Apollyon berada. Sejak itu hubungan Apollyon dan Maira semakin dekat.
***
"Lupakan Hanbi, dia tidak cocok denganmu, dia orang baik tetapi dia bukanlah bagian dari kita," kata Abaddon.
"Kenapa aku harus melupakannya?" Malphas bertanya.
"Jika kau tidak bisa menjauhkan dirimu dari mencintainya, lebih baik kita tidak usah berteman dengannya, karena jika sampai dia menyakitimu aku akan membunuhnya." Abaddon sedikit marah.
"Kenapa kau melarangku berteman dengannya?"
"Hanbi anak yang baik, tetapi kau pasti tidak menginginkan ia berada dalam situasi seperti ini nanti."
"Baiklah. Tapi, kenapa kau bersikap seperti ini. Apa kau juga mengkhawatirkan seseorang?" tanya Malphas ingin tahu.
"Benar. Aku sangat mengkhawatirkan kalian tentunya. Tapi, yang paling kukhawatirkan adalah adikku Apollyon," jawab Abaddon.
Malphas kaget, ternyata inilah yang selama ini mengganggu pikiran Abaddon yang keras hati.
Malphas menghela nafas. "Aku tidak mencintai Hanbi, dia hanya pelarianku, aku mencintai seseorang yang tidak mungkin kumiliki sebagai kekasih."
"Benarkah ... lalu siapa yang kau sukai, jangan membuatku binggung, selain aku, Apollyon dan Hanbi kamu tidak ada yang berteman dekat, aku akan membantumu mencari tahu apakah dia juga menyukaimu," kata Abaddon.
"Aku menyukai ayahmu," suara Malphas pelan tapi berhasil membuat Abaddon terkesiap.
Selanjutnya terdengar tawa meledak dari si pelaku. Abaddon harus mengerutkan kening melihat tingkah Malphas. "Aku bercanda. Aku bercanda. Kau mudah sekali ditipu rupanya. Haha ... makanya jangan pasang wajah yang serius terus." Malphas masih tertawa dengan memegang perutnya.
"Jadi kamu bisa melupakan impianmu bersama Hanbi?"
Malphas mengangguk, "Ya aku bisa, jangan khawatir."
Abaddon menggapai Malphas sambil menepuk punggungnya.
***
Sejak Abaddon menasehati Malphas, Ia bisa melupakan Hanbi. Mereka berteman dekat dan tidak ada rasa lebih, mungkin Abaddon sudah merasakan perubahan Malphas ke pada Hanbi.
Saat ia berusia 13 tahun, Azazel mengirim Abaddon bersekolah militer ke Roma. Beberapa kakak Malphas yang lebih tua sudah dikirim Azazel ke beberapa tempat berbeda untuk belajar bertarung dari seorang Capo.
"Tahun depan kau dan Apollyon juga akan paman kirim ke tempat lain, bersiaplah!" kata Azazel saat mengantar Abaddon pergi. "Mulai sekarang kalian berdua harus ikut berlatih keras di tempat latihan untuk persiapan," Azazel melanjutkan.
Abaddon meninggalkan Malphas berdua dengan Hanbi sebagai teman.
"Jaga Apollyon," pesan Abaddon sebelum pergi kepada Malphas dan Hanbi.
Malphas tahu, walau Hanbi seorang gadis, tapi ia juga ingin bergabung ke sekolah petarung, tetapi keluarganya tidak memiliki uang untuk membayarnya.
Hati Malphas berjalan seperti biasa sampai usianya empat belas tahun, Azazel mengirimnya ke Napoli atau Naples, sebuah kota yang lebih dekat dengan Palermo tempat mereka. Malphas akan berlatih di bawah pengawasan Capo Adriano teman Azazel.
"Semua anak-anak Demon harus belajar mandiri," ujar Azazel sebelum pergi, Malphas merasa Azazel ada rasa terpaksa mengirimnya. Azazel sangat dekat dengannya, akhir-akhir ini semua kebutuhan Azazel lebih sering Malphas yang menyiapkannya, entah kenapa paman sering tidur di tempat keluarga Malphas, mungkin Azazel ingin Malphas lebih dekat dengannya sebelum pergi berlatih.
***
Di sekolah. Malphas merasa paling muda di sana, semua yang berlatih merupakan remaja lebih tua darinya, bahkan beberapa sudah meninggalkan masa remaja.
Setelah beberapa bulan ia mulai dekat dengan beberapa teman.
Salah seorang wanita bernama Febby mulai menarik perhatiannya , usianya jauh berada di atas Malphas mungkin sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun.
Tetapi rasa ini Malphas simpan sendiri, ia tidak berani memperlihatkannya. Ia selalu ingat pesan Abaddon, jika jatuh cinta, ia harus mengetahui apakah wanita itu juga mencintainya supaya ia tidak ditolak.
Diam-diam, Febby sering memperhatikan Malphas. Mungkin Malphas menyadarinya dan mulai berkenalan, Febby ternyata berasal dengan kota yang sama dengannya, meskipun daerah mereka tinggal tidak terlalu dekat.
Febby seorang wanita yang cantik dan bertubuh sempurna, banyak pria yang mendekatinya. Malphas sering melihatnya menyelinap keluar malam dari kamar asrama atau memasukan pria untuk diajak di kamarnya. Semua hal itu Malphas abaikan.
Sampai suatu saat entah apa penyebabnya, tiba-tiba Febby mengecup Malphas. Mukanya mungkin memucat kaget, jantungnya berdebar sangat kencang.
"Sepertinya aku menyukaimu," Febby berujar. Malphas menunduk tanda ia malu, membuat wanita sempurna dihadapannya terkekeh. "Tidak usah malu, pasti kamu juga menyukaiku, kan!"
Malamnya, mereka tidur bersama, bermesraan, tetapi belum berani melakukan hal yang lebih dalam.
"Apakah kau mencintaiku?" tanya Febby suatu saat.
Malphas hanya mengangguk , memang Febby seorang yang penuh pesona.
"Jika kau mencintaiku lakukan sesuatu untukku," goda Febby.
"Apa yang harus kulakukan?"
Febby mulai membuka pakaiannya. Yang tersisa hanya dalaman bawah dan atasan yang masih terbungkus. Febby berbaring dengan satu siku yang sebagai tumpuan. Lalu, jari telunjuknya yang satu digigitnya, dengan sedikit rayuan, jari itu bergerak. Memerintah Malphas mendekat.
Sampailah Malphas, membuat Febby bangkit, menuju ke telinga Malphas dan berbisik ,"Puaskan aku dengan mulutmu."
Malphas kaget dengan permintaannya. Ia terdiam lama.
"Jika kau tidak mau, aku tidak memaksa. Tetapi berarti hubungan kita berakhir, karena kau tidak mencintaiku," Febby mengancam.
Malphas diam dan akhirnya Febby menurunkan badan Malphas menunduk ke arah pangkal paha Febby. Tangan Febby justru menekan tubuh Malphas sampai berjongkok di depannya, wajahnya tepat di depan pangkal itu.
"Lakukanlah!" pinta Febby.