webnovel

Kepergian Mama

Aku masih berjongkok di sisi gundukan tanah yang masih basah dan di taburi bunga-bunga, dengan air mata yang masih mengalir. Sesekali terasa nafas ku seperti tersengal karena terisak sejak tadi, rasanya masih tak percaya. Ya aku berada di pemakanan sekarang, wanita yang biasa ku panggil Mama kini sudah pergi untuk selamanya. Mama tak pernah mengeluh sakit sebelumnya, tiba - tiba saja saat di sekolah aku mendapat kabar jika Mama di larikan ke rumah sakit terkena serangan jantung dan saat aku dalam perjalanan ke rumah sakit, Kak Azam menyuruh ku untuk langsung menuju rumah saja.

Hati ku mulai tak tenang selama di perjalanan takut sesuatu terjadi pada Mama, ternyata begitu sampai di rumah aku melihat secarik kain putih di gantung di depan pagar rumah ku dan sudah ada beberapa papan bunga yang terpasang dan bertuliskan "TURUT BERDUKA CITA ATAS MENINGGALNYA NY. ALISHA RAHARDJA ISTRI DARI TUAN SUTOMO RAHARDJA" air mata ku luruh, duniaku terasa runtuh seketika.

Satu persatu orang - orang sudah meninggalkan tempat pemakanan, "Zia...ayo nak kita pulang" ucap pria dewasa yang biasa ku panggil Papa. Aku hanya bergeming, sesekali tangan ku mengusap pipi yang masih basah. Papa pun ikut meninggalkan pemakaman diantarkan oleh para pengawalnya.

Kak Azam ikut berjongkok di sampingku, aku sudah tak bertenaga rasanya. Aku mendudukkan bokongku di atas tanah, tak ku pedulikan lagi kotornya. Kak Azam pun ikut duduk di sebelah ku, sambil merangkul pundak ku. Aku kembali terisak di bahu Kak Azam, "Kenapa Mama pergi gak bawa Zia Kak, hiks...hiks..." racau ku dengan air mata.

"Nanti aku sama siapa Kak, gak ada lagi yang nemenin Zia di rumah kalau pulang sekolah, nanti gak ada yang buatin sarapan omlet mie kesukaan Zia" sambung ku, mengingat hampir setiap pagi aku minta buatkan omlet untuk sarapan meski Papa sering melarang ku makan itu katanya kurang sehat, tapi Mama tetap membuatkannya untuk ku.

"Masih ada Kakak sayang, kamu jangan seperti ini. Kakak jadi ikutan sedih, kita saling menguatkan ya" ucap Kak Azam sambil mengusap pelan punggungku. Aku tau Kak Azam juga menangis, karena ku rasakan nafasnya naik turun saat memeluk tubuh ku yang ringkih.

"Ayo kita pulang ya" ajak pria muda yang biasa ku sapa Kakak tersebut, aku masih bergeming menatap gundukan tanah.

"Zia...." panggilnya lagi karena melihat ku diam saja.

"Zia masih mau di sini Kak, nemani Mama. Mama pasti kesepian kalau aku ikut pulang, Kakak pulang aja duluan" ucap Ku tanpa melihat ke arah nya.

"Gak, Kakak gak mungkin ninggalin kamu sendiri disini. Sudah lah, Mama sudah tenang jangan seperti ini. Nanti Mama ikutan sedih lihat putrinya seperti ini" pujuk Kak Azam, aku kembali menangis kemudian ku rasa tangan kokoh Kak Azam memegang ke dua bahu ku agar berdiri, tanpa bantahan aku pun menurut. Kak Azam memapah ku hingga ke mobil. karena untuk berjalan saja rasanya aku sudah tidak sanggup.

Akhirnya kami meninggalkan tempat pemakaman dan kembali menuju rumah besar, di dalam mobil aku dan Kak Azam masih sama - sama diam. Kami larut dalam kesedihan masing - masing dan tak ada yang berniat memulai pembicaraan. Lebih kurang tiga puluh menit kami sudah sampai di rumah, aku melangkah gontai masuk ke dalam dan langsung menuju kamar ku tanpa berniat untuk bergabung dengan Papa dan beberapa keluarga yang masih ada.

Di kamar aku langsung menuju kamar mandi, dan duduk di bawah guyuran air showel tanpa melepas pakaian. Air mata ku kembali turun bersamaan air shower yang membasahi tubuh ku. Hampir tiga puluh menit aku berada di posisi ini, hingga ku rasa tubuh ku mulai menggigil. Aku bangkit dengan tertatih membilas mandi hingga bersih, setelah selesai aku memakai jubah mandi ku dan keluar dari kamar mandi.

Saat membuka pintu, ternyata Papa sudah duduk di tepi ranjang.

"Papa sudah lama? tanya ku berbasa basi, ku lihat pria dewasa tersebut memaksakan senyum karena dari raut wajahnya aku masih menangkap kesedihan di sana.

"Gak kok" aku duduk di sebalah Papa, dan menyandarkan kepala ku di bahu nya. Kini hanya Papa dan Kak Azam tempat ku bersandar tapi apa mungkin sama, karena jujur aku tidak terlalu dekat dengan Papa.

Papa selalu sibuk dengan urusan bisnis nya, sedangkan minggu saja Papa jarang di rumah. Sementara Kak Azam dia tidak tinggal di rumah ini, dia lebih suka tinggal di apartemennya dengan alasan lebih dekat kantor, tapi sebenarnya itu hanya alasan aku tau Kak Azam tidak terlalu akur dengan Papa makanya dia tidak betah di rumah.

Papa orang yang tegas dan sedikit otoriter, dia ingin Kak Azam melanjutkan bisnis nya tapi Kak Azam menolak dan memilih merintis usaha properti nya sendiri karena Kak Azam tak mau orang meremehkannya dan mengatakan bahwa dia hanya bergantung pada harta orang tuanya.

Awalnya Papa sangat marah dan sering merendahkan usaha Kak Azam, tapi lambat laun dia bisa menerima apalagi sekarang bisnis properti Kak Azam sudah cukup besar dan terkenal di kalangan pengusaha termasuk semua kolega Papa.

"Pa...Kak Azam akan tinggal di sini kan?" ku rasa Papa menghela nafas ringan.

"Papa gak tau sayang, kamu tau sendirikan Kakak mu itu keras kepala"

"Papa bujuk Kak Azam ya, biar tinggal disini lagi sama kita" rengek ku.

"Kamu pasti tau kan, jika Papa dan Azam tidak terlalu akur. Papa tak bisa memaksanya, tapi nanti Papa akan bicara dengan Kakak mu agar dia di sini dulu untuk sementara" ucap Papa, aku hanya diam bergeming.

"Istirahatlah dulu, kamu pasti masih lelah. Nanti Pap minta Ambu membawakan makanan untuk mu" ucap Papa lagi kemudian bangkit dari duduknya meninggalkan kamar ku.

Papa benar aku memang sangat lelah, tapi aku tak ingin tidur aku hanya ingin bertemu Mama dan hanya Mama yang mampu membuat ku kembali bersemangat lagi tapi apa itu mungkin. Aku meringkuk di atas kasur sambil memeluk bantal guling, aku masih menggunakan handuk kimono ku. Ku tarik selimut hingga sebatas dada, sesekali air mata ku masih meleleh membasahi bantal yang ku gunakan.

Ceklek

Ku dengar seseorang membuka pintu kamar, aku enggan berbalik untuk melihat siapa yang datang. Aku pura - pura memejamkan mata, agar tak banyak pertanyaan yang mucul. Saat ini aku sedang tak ingin di ajak bicara, aku ingin sendiri.

"Zia...apa kamu sudah tidur" ku dengar suara seorang pria memanggilku, dan ku rasa ranjang ku bergerak pasti dia sedang duduk di tepi ranjang sekarang. Ku rasakan tangan mengelus rambutku dengan lembut.

"Kakak tau kamu belum tidur, bentar lagi Ambu akan mengantar makanan. Kamu makan ya" ternyata Kak Azam yang datang, aku masih diam tanpa berniat untuk menjawab ucapan nya.