webnovel

Ghost of School

Ini kisahku, Calista Elssa. Orang-orang tidak pernah menganggapku ada. Hanya karena aku adalah gadis istimewa. Gadis dengan kemampuan yang mereka sebut, 'aneh. Tapi yang lebih mengenaskan, masa lalu yang membuatku jadi membenci diri sendiri. Untuk menyembuhkan rasa trauma, aku dipindahkan sekolah di kota Bandung. Meninggalkan kedua orang tuaku di Surabaya. Mereka menyadari, memiliki orang tua yang mempunyai kemampuan paranormal memang tidak mudah diterima oleh kalangan orang normal yang tidak pernah percaya adanya hal ghaib. Aku mulai beradaptasi dengan lingkungan baru. Mencoba untuk bersikap normal, namun pada kenyataannya, mereka tidak pernah berhenti mengganggu hidupku. Masa lalu terus menyerangku, karena seseorang yang memiliki dendam. Tapi aku tidak sendiri, ternyata ada keluarga baru yang dijuluki sebagai 'PASLIM' alias pasukan lima bersaudara, siapakah mereka? Follow IG : elfiragustin21

ElfiraAG · Horror
Not enough ratings
28 Chs

Pemilihan Ketua Klub

Saat masuk ke dalam kelas, aku tidak menemukan eksistensi Egi sama sekali. Aku bertanya-tanya, dia pergi ke mana? Pricil, Anggun, Gery dan Nathan terlihat santai. Mereka berempat tidak ada yang bertanya dan mencari Egi di mana, apakah mereka sudah tahu bahwa Egi baik-baik saja?

"Guys!" Aku memanggil keempatnya yang duduk di belakang dan samping kiriku. Saat mereka menoleh padaku, aku menatap mereka secara bergantian. "Di mana Egi? Kenapa dia tidak ikut pelajaran terakhir?" tanyaku dengan suara mengecil, agar tidak mengganggu suasana belajar mengajar di kelas ini.

"Dia baik-baik saja. Tenanglah, hanya bolos kelas." Anggun yang menyahut, dia tampak sibuk menulis dan pandangannya terus memperhatikan papan tulis.

Aku kembali menatap ke depan, mungkin Egi memang butuh waktu sendiri kali, ya? Selama pelajaran aku benar-benar tidak fokus. Sebelum rasa penasaranku tentang eksistensi Egi, maka kuputuskan untuk mengangkat tangan dan berkata pada guru yang mengajar di depan kelas. "Aku ingin izin ke kamar mandi."

Setelah guru tersebut mengizinkanku, beranjak dari sana dan sebelum pergi sempat mendengar gumaman Anggun. "Dasar, keras kepala!"

Lalu, Nathan menimpali gumaman Anggun. "Biarlah, mungkin dia cemas pada Egi."

Ah, aku juga tidak tahu mengapa harus pergi mencari Egi. Padahal, aku dengan dia belum terlalu dekat, mengapa aku harus peduli padanya? Dari pada pusing, aku mengelilingi gedung sekolah ini. Tapi juga belum menemukan eksistensi Egi, jejak laki-laki itu sulit ditemukan. Sampai pada akhirnya, aku hampir menabrak sesosok makhluk halus. Dia menatapku dengan mata melotot, aku jadi bergidik ngeri dan mundur beberapa langkah.

"Kau mencari laki-laki itu? Dia sedang galau di atas rooftop."

Aku mengerjapkan mata heran. "Maksudmu, Egi?" tanyaku penasaran.

Hantu perempuan itu terlihat seram. Rambut panjangnya berantakan dan bau menyengat yang membuatku ingin berpaling sambil menutup hidung, tapi tidak kulakukan karena tidak ingin menyinggung perasaan hantu tersebut. "Ya, kau datang ke sini ingin mencuri hatinya, kan? Aku harap kau tidak menyakiti dia!"

Heh? Apa yang dikatakan hantu ini? Dia tidak salah orang, kan? Apa dia sedang marah karena pacarnya, wah, aku sangat curiga bahwa yang dimaksud dengannya dan aku pasti berbeda. Setelah dia mengatakan demikian, rambutnya yang panjang dikibaskan mengenai mukaku. Mataku melotot, kurang ajar sekali hantu itu. Sebelum suaraku meramaikan lorong koridor ini, dia pergi nyelonong begitu saja. Dasar, hantu kurang ajar!

Sekarang, aku harus berjalan menuju rooftop. Antara ingin mengikuti apa kata hantu tadi, atau aku biarkan saja dan kembali ke kelas. Tapi rasa penasaranku lebih besar, sehingga aku berjalan menaiki tangga menuju ke rooftop. Saat hampir tiba di atas sana, aku berjalan mengendap, lalu mengintip terlebih dahulu dari balik celah pembatas. Mataku menyipit, terlihat punggung seseorang yang sedang duduk menatap ke langit dengan kedua telapak tangan yang menyentuh kursi kayu tempat dia duduk.

"Itu Egi, kan?" gumamku pelan, ketika hampir menginjakkan kaki menuju ke atas, suara Egi berkumandang menghentikan langkahku.

"Kau menyusulku kemari rupanya?"

Heh? Dia bisa merasakan eksistensiku? Ah, aku lupa bahwa dia bisa mendengar suaraku meski menggumam dengan pelan. Aku mendesah pendek, kemudian melanjutkan langkah untuk menghampirinya. Saat telah berada di belakangnya, dia kembali menyentakkan lamunanku.

"Duduklah di sampingku, jangan cuma memperhatikanku dari belakang." Suaranya yang datar dan terkesan dingin membuatku mengerucutkan bibir, dengan langkah sedikit malas, aku pun mendaratkan bokong di sampingnya.

Kami terlibat perang dingin, tidak ada yang berani membuka suara, bahkan aku tak berani sedikit pun untuk melirik ke arahnya. Maka, kami sama-sama melihat sudut masing-masing, memilih untuk diam.

Gemeresik angin yang terdengar lembut di atas atap sekolah ini sangat sejuk, rambut panjangku berterbangan seperti iklan shampoo. Terpikir oleh perkataan hantu perempuan di koridor tadi, jadi yang dia maksud itu beneran Egi? Aku pikir, hantu lain, dia tidak mengerti yang aku cari adalah manusia istimewa ini. Eh, kenapa aku harus melebih-lebihkan dia? Kalau sampai dia tahu isi pikiranku, bisa malu dong!

"Kau membolos kelas hanya ingin menyusulku atau ada hal yang kau cemaskan?"

Lagi dan lagi, aku dibuat terheran-heran olehnya. Mengapa dia harus bertanya seperti itu? Aku mendesah pendek, lantas menatapnya sebentar. "Menurutmu?" Aku balik bertanya, menaikkan setengah alisku sebagai respons.

Dia tidak menjawab dan sama sekali tidak menatap ke arahku. Sebenarnya, apa yang ada dipikirannya? Untuk menghindari dia membaca pikiranku. Aku berhenti berasumsi tentang dirinya. Dan, membiarkan waktu berlalu dengan eksistensiku di sini, di sisi Egi.

"Aku sebenarnya tidak terlalu suka ada yang mengusikku saat aku sedang membutuhkan waktu untuk sendirian," katanya yang tiba-tiba membuat dahiku berkedut.

Mataku mengerjap pelan, berharap tidak berpikir buruk dan salah mendengar. Namun, aku benar-benar ditampar oleh pernyataannya. Harga diriku seakan tidak berarti. Kenapa dia jadi bersikap seperti ini padaku? Aku salah apa? Kalau memang dia tidak suka diganggu olehku, mengapa harus terkesan menyindir eksistensiku?

"Uh?" Aku bergumam pelan. "Kalau begitu, aku kembali ke kelas, ya." Aku hendak beranjak dari sini, alih-alih berharap dia akan menahan, sampai langkahku hampir mencapai tangga, dia tetap tidak bersuara.

"Elssa, aku tidak bermaksud mengusirmu."

Apa maksudnya? Ah, dia membuatku bingung.

"Kemarilah, temani aku bolos."

Aku tersenyum, terheran-heran dengan situasi yang terjadi di antara kami berdua. Tanpa banyak bertanya, aku kembali berbalik badan dan mengambil duduk di sampingnya. Aku menyadari, dia masih sama, tidak ada senyum, suaranya terkesan datar dan dingin. Tiba-tiba menjatuhkanku, tiba-tiba seakan memberiku harapan.

Cal? Kau berpikir apa, sih? Kau hanya ingin datang dan untuk menghiburnya. Aku hanya takut kejadian di kantin membuatnya sakit hati. Aku pernah mendapatkan perilaku seperti dirinya. Di sekolah lama, bahkan lebih kejam dari yang tadi. Aku merasakan semua itu, merasa frustasi, mengalami insecure serta tekanan batin. Aku hanya tidak ingin dia merasakan hal yang sama. Akhir-akhir ini, dia seperti mendapatkan banyak masalah.

"Tadi itu hal biasa. Aku tidak kenapa-napa kok. Aneh, ya, kau ibarat orang asing yang baru kukenal. Tapi aku tidak tega mengusirmu." Dia menatap ke arahku, menanggalkan senyum tipis di sudut bibirnya.

Senyumku terbit, dia masih memberikan atensinya kepadaku. "Aku sering diperlakukan tidak adil di sekolah lama. Jadi aku pikir, aku pernah merasakan hal yang saat ini kau rasakan, aku tidak ingin membiarkanmu sendirian," sungutku dengan tutur kata yang lembut.

"Ya, aku tahu." Egi tiba-tiba mengubah posisinya menjadi menghadap ke arahku. "Papamu memberikan pesan padaku, untuk mengajarimu menjadi lebih kuat dan menghadapi resiko yang terjadi ke depannya. Kebetulan, nanti sepulang sekolah kita ada pemilihan ketua klub dan pembagian kelompok klub baru. Kau harus ikut denganku, mendaftarlah menjadi salah satu bagian klub di sekolah ini. Aku harap, kita berenam bisa mendapatkan posisi sebagai ketua klub."

"Klub?" Alisku terangkat sebelah, pikiranku mulai berkelana tak tentu arah. "Klub apaan?" tanyaku lagi.

Egi berdecak pelan, menggelengkan kepala sambil menatapku datar. "Klub itu semacam ekstrakurikuler di sekolah ini. Ada beberapa klub seperti klub renang, klub basket, klub futsal, klub fotografi, klub tari, klub seni lukis. Nah, beberapa klub tersebut, ada klub fotografi dan klub seni lukis yang belum memilki ketua. Kau sepertinya cocok, atau bila kau memang ingin menjadi anggota dari klub lain, boleh juga."

Aku suka fotografi dan suka melukis, bagaimana dia bisa tahu?

"Kau dan yang lain ada di klub apa aja?" Aku bertanya, ingin tahu lebih banyak.

"Hampir semuanya, tapi karena kami ketua di salah satu klub, jadi bukan anggota inti di klub yang lain."

Wah, gila. Aku tidak bisa membayangkan, bila memang seperti itu, tandanya saat ada acara besar, kami tidak akan bisa bekerja satu tim?

"Aku ada di klub futsal, tapi jadi anggota juga di klub fotografi, lukis, basket dan renang khusus cowok. Klub renang terbagi menjadi grup cowok sama cewek, jadi ketuanya ada dua. Kalau ketua renang grup cewek Pricil, grup cowoknya Gery. Klub basket diketuai oleh Nathan, dia juga anggota klub lukis. Klub basket juga terdiri dari dua grup, tim basket cewek dan tim basket cowok. Tim basket ceweknya diketuai oleh Anggun. Sedangkan anggun juga anggota dari klub fotografi. Sedangkan Pricil, dia juga menjadi ketua di klub tari, namun dia tidak ikut jadi anggota di klub lain. Mungkin, kau bisa jadi seperti Pricil." Egi menjelaskan padaku, diakhiri dengan senyum tulusnya. "Kalau kau mau, persiapkan satu karya fotografi dan lukis, kalau kau berminat, minggu depan kumpulkan ke aku. Sepulang sekolah hanya mendaftarkan diri dan mengisi formulir. Minggu depannya nanti akan dinilai dan yang karyanya bagus akan dijual. Kau jadi ketua dan mendapatkan uang."

"Bentar, tujuan kita ikut klub gitu dan menguasai semua klub untuk menjadi ketuanya apa?" Aku bertanya karena sangat penasaran, dari awal Egi menjelaskan, aku tidak bisa menghitung telah melongo dengan mata lebar-lebar menatap tidak percaya bahwa Egi, Nathan, Gery, Anggun dan Pricil memberiku kejutan perlahan-lahan.

"Tidak ada tujuan yang buruk. Hanya ingin memiliki nilai plus di mata mereka yang sering memandang kita aneh. Percayalah, kalau kau bisa membawa klub tersebut, kau akan menemukan hal yang berbeda. Mungkin, aku bisa mengajarimu dari sana dulu."

Hari ini, aku menemukan banyak cerita yang telah kutahu. Tentang keluarga baruku. Yang kutahu, saat ini Egi telah banyak bersuara, dia memperlihatkan sisi lain yang sebenarnya tidak ditunjukkan kepada orang-orang di luar sana. Yang sering menganggapnya aneh, pembawa sial, atau apalah bedebah itu, tapi bagaimana saat Egi memimpin klub? Apa semua orang akan tunduk dan menemaninya? Bukan memusuhinya seperti pandangan orang-orang yang kulihat selama beberapa hari ini.