webnovel

Memasuki kota Jakarta

Satu harian penuh sudah kami melakukan perjalanan dari kampung halam ke pusat kota. Jarak yang kami tempuh memang memakan waktu yang cukup banyak, aku juga hampir tidak bisa bergerak bebas lagi, karena kelamaan di dalam mobil yang bergerak. Sore menjelang malam kami berangkat dari kampung halaman, dan besok siangnya kami sampai di tempat tinggal yang sudah di sediakan.

Ayah mendapatkan bantuan dari perusahaan, sebagai bentuk apresiasi atas pekerjaan ayah yang cukup membaik tahun ini. Rumah besereta isi, dan juga satu buah mobil di hadiahi untuk ayah. Aku dan mama tentu dibuat bangga. Kami ingat dulu bagaimana ayah di curangi perusahaannya yang dulu, dan kini mampu bangkit lagi dan mendapat yang lebih baik.

Mobil yang kami kendarai pun berhenti tepat di depan rumah yang lumayan besar. Namun di bagian depan rumah itu, terdapat semacam sebuah watermark dari perusahaan tempat ayah bekerja. Yakni sebuah tanda bahwa rumah itu tidak sepenuhnya milik ayah, alias bisa di tarik kapan saja.

"Wah.. ma. Ini rumah baru kita?" ujarku antusias kala pertama kali menatap rumah yang cukup besar di depanku.

"Iya, Neta. Ini rumah baru kita," sahut ayah seraya turun dari dalam mobil. Aku yang sudah tak sabar melihat isi dalam rumah itu, keluar lebih dulu dari dalam mobil dan berlari kecil ke bangunan cantik itu. aku tak peduli lagi tentang keadaanku yang sudah berantakan. Namun meski pun begitu, aku tidak lupa akan kucing-kucing kecilku yang masih setian di gendonganku.

"Neta, pelan-pelan sayang. Rumah itu nggak akan ke mana-mana," tegur mama pelan, tatkala mendapatiku sudah berada di ambang pintu rumah. Aku terkekeh kecil, seraya menaruh pelan kucingku di ubin tepat di depan pintu.

Mama dan ayah sibuk menuruni beberapa barang yang kami bawa dari kampung. Bukannya ikut membantu, aku justru di buat hilang fokus ketika menatap rintik hujan kecil yang siap emmbasahi bumi. Untuk pertama kalinya aku merasakan gerimis di kota. Aku berlari kecil ke arah jalanan komplek rumah itu, dan mulai menikmati rintuk kecil hujan yang menimpa tubuhku. Aku memejamkan kedua netraku seraya melebarkan kedua tanganku seolah ingin memeluk gerimis itu.

"Ya tuhan. Ma, lihat anakmu itu. nggak di kampung nggak di kota, sifatnya masih saja sama," adu ayah pada mama, ketika melihatku di jalanan sana seperti orang kehilangan kewarasan. Mama ikut menoleh ke arahku, lalu tersenyum kecil.

"Sudahlah, yah. Biarin aja. Nanti juga kalau sakit ngadunya ke kita," sahut mama yang sudah mampu membaca segala alur hidupku. Ayah hanya mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian berjalan menuju pintu rumah.

Aku tidak tahu apa yang istimewa dari hujan. Tapi yang aku tahu, aku sangat tenang kala merasakan rintiknya, dan sesekali terhanyut pada suara desirannya yang jatuh ke tanah. Aku berharap bisa seikhlas hujan. Meski jatuh berkali-kali, tak pernah mengeluh pada langit. Meski kadang hadirnya tak diinginkan, namun teteap bertahan dalam keadaan apa pun.

"Neta! Ayo masuk. Hujannya makin lebat, Nak!" aku tersentak dari pejaman mataku, kala mendengar seruan mama dari ambang pintu rumah. Tanpa sadar ternyata hujan memang sudah semakin lebat, hampir saja aku terguyur sepenuhnya. Buru-buru aku melangkah dan berlari kecil, lalu masuk ke dalam rumah baruku.

"Kapan sih kamu berhenti main hujan?" kamu udah gede lho." Ayah berujar tepat saat aku masuk. Aku menyugar rambutku yang masih tersisa air hujan, lalu menoleh ke arah ayah, sembari melayangkan seutas senyum lebar.

"Kalau Neta udah nggak suka, baru Neta berhenti main hujan," jawabku jujur, kemudian menatap segala sudut rumah yang tampak begitu indah. "Wah,, ayah, ini sungguh rumah kita?" tanyaku berdecak kagum. Ayah hanya bergumam saja, mungkin ayah sudah bosan mendengarkanku yang sedari tadi tak henti bertanya. Aku berajalan sembari menatap langit-langit rumah. Aku menemukan anak tangga, yang artinya rumah itu berlantai dua.

"Ma, aku boleh ke atas?" izinku bertanya dahulu, sebelum melakukan hal yang belum pernah kulakukan.

"Boleh. Di ataskan ada kamar. Itu yang akan jadi kamar kamu nantinya," sahut mama mengizinkan, seraya memberitahuku tentang apa yang ada di atas sana.

"Benarkah? Kalau gitu Neta naik ya, ma."

Mama mengangguk kecil. Mereka berdua masih sibuk menata rumah. Ayah yang mencintai beberapa alat pancingaannya, terlihat sibuk merapikan itu semua. "Ma, mama nggak bawa alat pancing ayah yang satunya lagi ya?"

"Ada, kok. Lihat baik-baik, yah."

"Nggak ada, ma. Mama letak di mana?"

"Ih,, ayah. Lihat tuh pakai mata. Ini apa coba?"

Seperti biasa. Mama akan terus di cercai tentang alat pancing ayah, kala kedua netranya tak bersua dengan alat favoritnya itu. mereka sering beradu argument ringan, namun tak pernah sekali pun lebih dari itu. aku bersyukur memiliki kedua orang tua yang memiliki komitmen yang menetap seperti mereka. Apalagi mama, mama terbilang wanita yang setia. Jatuh bangun ayah, dia tetap berada di sampingnya, tanpa mengeluh sedikit pun.

Itu kenapa aku sangat bangga pada kedua orang tuaku. Meski di luar sana juga sama sepertiku.

Aku berlari kecil ke atas sana. Pertama kali yang kulihat adalah balkon yang menyuguhkan sebuah pemandangan yang cukup bagus. Pepohonan di luar sana terlihat jelas dari dalam sini. Aku melangkah menuju balkon yang tampaknya di dekor untuk tempat bersantai. Aku membuka pintu kaca trasparan itu dan melihat alam terbuka dari balkon sana. Aku menghirup udara segar, lalu bertopang siku di pembatas balkon. Aku mengedarkan pandanganku, dan mendapati kosong dan sepinya komplek itu.

"Tidak ada satu orang pun?" gumamku bertanya. Jika ini di kampung, sudah ramai orang-orang datang melihat jika ada pendatang baru. Namunbertolak belakang dengan di kota. Aku bahkan tak melihat satu orang pun yang menyambut kedatangan kami, meski hanya sekedar menyapa dan bertanya hal basa-basi.

Aku menaikkan satu alisku. "Nggak seru. Kenapa nggak ada yang datang?" gumamku lagi. Aku pun memilih pergi dari sana, dan berniat melihat bentuk kamar yang di maksud mama. Aku berjalan sekitar lima langkah dan mendapati ruangan denga pintu tertutup. Aku rasa ini kamarnya.

Aku memutar kenop pintu dan membukanya. Lagi-lagi aku berdecak kagum. Kamarnya mewah. Sangat berbanding jauh dengan kamarku di kampung. Di kamar baru ini, ada ranjang dengan ukuruan king size. Aku juga menemukan televisi gantung tepat di depan ranjang itu. terdapat tirai panjang yang jika dibuka, akan menyuguhkan alam bebas di sana.

Benar-benar sempurna. Aku sangat menyukai semua ini. Bahkan tak ada satu pun hal yang membuatku tidak menyukai semua ini, kecuali orang-orangnya.