webnovel

PROLOG

Lembah Bada, Poso, Sulawesi Tengah

Awan mendung di perbukitan Taman Nasional Lore Lindu mulai bergulung-gulung, mengusik lima orang pekerja yang sedang menggali tanah dengan sangat hati-hati. Kulit mereka hampir berwarna cokelat kehitaman karena telah berhari-hari terbakar matahari di tempat ini. Dua puluh meter dari tempat penggalian, seorang pria berkemeja cokelat duduk dengan santai sambil mengawasi pekerjaan penggalian. Sesekali ia mengibas-ngibaskan topi koboi ke wajahnya, rambutnya yang habis tak tersisa membuat keringat di kepalanya yang bulat telur berkilat-kilat memantulkan sinar matahari. Sudah seminggu lamanya ia mengawasi penggalian di area 63, pembatas pita kuning di sekitar penggalian bergoyang-goyang ditiup angin.

Semenjak adanya berita penemuan pecahan keramik dan kapak batu di Lembah Bada sebulan yang lalu, pria bergaya topi koboi itu ikut melakukan pencarian bersama timnya. Namun, sudah memasuki hari keenam mereka melakukan penggalian, belum ada tanda-tanda temuan yang menggembirakan meski kedalaman lubang yang digali mencapai satu meter. Suara sekop tangan menghujam tanah merah, saling bersahutan

Menjelang tengah hari, awan kelam bergulung-gulung muncul di atas bukit Lore Lindu ketika ujung sekop seorang penggali membentur sesuatu di balik permukaan tanah. Dengan hati-hati, pola penggaliannya berganti dengan cara mengiris tanah membentuk kotak persegi, mengelilingi benda yang masih terkubur di bawah kakinya. Sedikit demi sedikit, sebuah ornamen berwarna hijau pucat menyembul dari balik tanah. Meski peluh keringat membanjir di sekujur wajah, gurat ukiran benda yang masih terkubur sebagian membuat segumpal kekaguman menyeruak dari sudut-sudut bibirnya. Belum puas ia menikmati rasa kekagumannya, sebuah kilatan petir tiba-tiba menyambar sebatang pohon di belakang punggungnya, membuyarkan rasa takjub yang meranggas, hancur berkeping-keping dalam seketika.

Suara petir yang menggelegar membuat penggali berusia sekitar dua puluh tahunan itu tersengat alam sadarnya. Dengan sigap ia keluar dari lubang penggalian, berlari tergopoh-gopoh menuju pria plontos berkemeja cokelat yang sedari tadi duduk mengawasi penggalian sambil mengipas-ngipaskan topi kulit ke wajahnya yang berkeringat.

"Pak.. pak Juna!" teriak penggali dengan suara terengah-engah.

Lelaki paruh baya berjenggot lebat dari bibir hingga dagu itu beranjak berdiri, sorot matanya tajam tertuju pada penggali yang berlari tergesa-gesa ke arahnya.

"Ada apa Man?" tanya Juna Birawa. Dagu dan kedua alisnya diangkat ke atas.

Mata Juna Birawa setengah melotot menatap Rahman Saputra, mahasiswa jurusan Arkeologi Universitas Jambi yang sedang mengikuti praktek lapangan bersamanya.

Rahman Saputra berdiri dengan sopan. "Saya menemukan sesuatu pak di titik pencarian saya, sebelah sana." jawab Rahman. Tangannya menunjuk ke titik penggaliannya.

Raut wajah Juna Birawa berseri-seri. "Ayo kita lihat!" ajak Juna Birawa. "Semoga ini temuan benda berharga!"

Rahman Saputra berbalik badan dengan cepat. Dengan setengah berlari, ia menuju lobang penggalian. Gemerincing kalung perhiasan Juna Birawa yang berjalan tergopoh-gopoh di belakangnya terdengar ramai.

Empat pekerja eskavasi yang berada seberang titik penggalian Rahman Saputra menghentikan penggaliannya sejenak. Mereka saling beradu pandang melihat temannya datang bersama pimpinan proyek penggalian ke titik penggalian. Bola mata mereka bergerak mengikuti keduanya menuruni tangga dari tanah, hingga berhenti di dekat benda temuan Rahman Saputra.

Rahman berjongkok. "Ini Pak," ujar Rahman Saputra sembari menunjuk benda yang masih terkubur sebagiannya di tanah. Senyum bahagia terpancar dari balik kumis tipis yang menghias bibirnya.

Juna Birawa ikut berjongkok, mengamati benda berwarna hijau pucat di hadapannya dengan serius, ia kemudian mengambil ponsel dari saku kiri kemeja, lalu berjalan jongkok mengitari galian berbentuk persegi sembari mengambil beberapa gambar dokumentasi dari sudut yang berbeda-beda. Setelah puas mengambil gambar, tangannya bertopang pada lutut untuk membantunya berdiri tegak.

"Kamu lanjutkan penggaliannya," perintah Juna Birawa kepada Rahman Saputra. Lalu menoleh cepat ke arah empat penggali yang memandang ke arahnya dengan tanda tanya. "Kalian berempat, ayo bantu percepat penggalian di titik ini!"

Empat orang penggali yang diminta Juna Birawa beranjak berdiri, mereka mendekati titik penggalian. Tanpa dikomando lagi, masing-masing berbagi tugas mengikis tanah dengan kuas dan sekop tangan, sisanya memindahkan irisan tanah ke atas lubang galian. Meski hujan rintik-rintik mulai membasahi tanah, mereka terus menggali sampai akhirnya hujan turun dengan deras dan kilatan petir saling bersahutan di atas bukit.

Alam seakan tidak mengizinkan benda hijau pucat di bawah kaki mereka dipindahkan dari tempatnya saat ini. Semakin bagian demi bagiannya terlihat, awan hitam semakin pekat bergerombol di sepanjang kawasan Lore Lindu. Rahman Saputra dan empat rekannya seolah berlomba-lomba mengais tanah, saling beradu cepat untuk segera melihat wujud utuh benda yang kini tinggal setengah jengkal di bawah kaki mereka. Hujan yang lebat membuat tanah semakin becek dan licin, membuat Rahman Saputra dan empat rekannya semakin mudah mengais benda yang telah terkubur sejak ribuan tahun lamanya.

Juna Birawa cukup terkenal di Indonesia sebagai kolektor benda-benda kuno. Selain menjadi koleksi hiasan di rumah pribadi, pria penggemar wayang kulit ini juga menjual barang-barang hasil temuannya lewat situs penjualan online. Semakin tua usia barang temuannya, semakin tinggi harga jual yang dipasang. Hasil dari bisnis jual beli benda-benda kuno selama ini, Juna Birawa menjadi salahsatu tokoh yang terpandang di Indonesia, terlebih oleh para pengusaha dan pejabat negara yang gemar mengkoleksi barang antik.

Tidak semua barang koleksi miliknya di dapat dari penggalian. Adakalanya, barang-barang yang ia jual didapat dengan cara membeli langsung dari masyarakat, arkeolog, maupun berburu di pasar loak pinggir jalan. Karena, untuk melakukan penggalian membutuhkan biaya yang cukup besar, dan mahal. Salahsatunya cara menghindari kecurigaan masyarakat dan pemerintah setempat, ia terpaksa membeli lahan warga atau mengajukan hak pengelolaan lahan menggunakan cara main belakang.

Kali ini, pria bertubuh tambun yang gemar menggunakan perhiasan kalung ala rapper tersebut mendapat permintaan dari Alston, seorang kolektor barang antik dari Inggris. Satu hal yang membuat Juna Birawa senang melayani permintaan Alston, karena seluruh biaya operasional yang telah ia keluarkan untuk eskavasi di Lembah Bada akan diganti dua kali lipat.

***

Angin tiba-tiba berhembus kencang, daun-daun ilalang terdengar seperti ribuan tawon yang mengamuk saat Rahman beserta empat rekannya semakin cepat menyisihkan lapisan tanah. Ketika Rahman memindahkan benda berwarna hijau pucat ke dalam pelukannya, petir menyalak semakin liar menyambar-nyambar. Kepanikan melanda lima orang mahasiswa magang di dalam lokasi penggalian. Mereka berhamburan, menuju tenda utama secepat yang mereka bisa, meninggalkan peralatan tergeletak di lokasi penggalian.

Rahman Saputra berlari sembari membawa benda berbentuk pedang di pelukan tangannya. Pangkalnya berwarna kuning emas, membentuk kepala burung seperti kepala Garuda. Sedangkan bagian tengah sampai ke ujungnya bergelombang, menyerupai sebilah keris. Setiap kali ada petir menyambar, warna hijau pucat pada bilah pedangnya menjadi lebih terang, ada sensasi yang menggigit sekujur pori-pori kulit tangan Rahman Saputra.

"Kamu dapat apa Man?" tanya Juna Birawa. Matanya melirik benda di tangan Rahman Saputra setelah masuk ke dalam tenda dengan basah kuyup bersama empat rekannya.

Rahman menyerahkan benda di tangannya kepada Juna Birawa "Sepertinya ini pedang pak," jawab Rahman.

Wajah Juna Birawa sumringah menyambut benda dari mahasiswa di depannya. Matanya tajam meneliti tiap inchi pedang batu, ukiran indah pada gagang pedangnya mengulir dengan indah meski warna kuning emasnya masih tampak kusam karena sekian lama terpendam.

Duarrr!

Belum selesai Juna Birawa menelusuri hingga bagian ujung pedang, sebuah kilatan terang menyambar di lubang penggalian diikuti petir yang menggelegar seperti ledakan bom. Rahman Saputra dan empat rekannya spontan menutup telinga, meredam suara ledakan merambat ke lubang telinga. Tetapi, suara petir yang menggelegar, derasnya air hujan dan deru angin yang bertiup kencang tidak menyurutkan sosok Juna Birawa mendokumentasikan hasil temuan timnya dari berbagai sudut pengambilan gambar. Bahkan, pria bertubuh gempal itu meminta Rahman Saputra mengambil pose dirinya bergaya ala pendekar dengan memegang pedang pusakanya.

Setelah puas dengan berbagai gaya, Juna Birawa menghubungi seseorang melalui ponselnya.

"Hallo mister Alston, saya punya kabar gembira untukmu," ujar Juna Birawa setelah nada panggilan tersambung.

"Kabar apa yang kamu punya tuan Juna? Katakan bahwa ini sangat berharga!" jawab Alston. Nada suaranya terdengar tidak sabar.

"Sebuah pedang mister! Gagangnya berkepala garuda, terbuat dari emas dan bilah pedangnya dari meteorit bercampur batu obsidian berwarna hijau. Nanti saya kirimkan gambarnya," jawab Juna Birawa mantap.

"Baiklah, teruskan pekerjaanmu. Rupanya hari ini benar-benar menjadi hari keberuntunganku, ha..ha..ha.." suara Alston tertawa senang. "tim ekspedisi di Pulau Rakata juga berhasil mendapatkan benda yang aku inginkan!".

"Oke mister. Jadi, bisa kita atur pertemuan sebelum pergantian tahun?" tanya Juna Birawa. Bayangan deretan angka memanjang di rekening tabungannya muncul dalam pikirannya.

"Bisa diatur, pastikan saja barang itu asli dan memang bernilai tinggi!" pinta Alston dari balik telepon.

"Siap!! terima kasih atas kerjasamanya mister!" seru Juna Birawa.

"Oke!" jawab Alston dengan cepat. Sambungan telepon terputus.

Rahman Saputra dan empat rekannya berpura-pura cuek, seakan tidak mendengar pembicaraan antara Juna Birawa dengan koleganya. Usai berganti pakaian, mereka sibuk merapihkan barang masing-masing. Bagi mahasiswa yang sedang magang seperti Rahman Saputra dan rekan-rekannya, tugas praktek lapangan adalah kegiatan yang menyenangkan. Apalagi jika sampai menemukan sebuah benda yang bernilai sejarah. Saat ini mereka tidak pernah tahu dan mencari tahu, bagaimana nanti nasib kelanjutan benda yang berhasil mereka temukan. Bagi mereka, selain mendapat nilai mata kuliah dari dosen di kampusnya, mereka juga bisa memiliki pemasukan dari upah yang diterima selama membantu kegiatan eskavasi.

Cuaca diluar tenda kian meraung-raung. Kilatan cahaya bercampur suara ledakan di udara, deru angin bercampur butiran air hujan sebesar biji jagung membuat suasana tengah hari seperti malam yang gelap gulita. Rahman Saputra dan empat rekan-rekannya memilih berbaring di atas velbed, bersembunyi di balik sleeping bag yang hangat. Terkecuali pria bernama Juna Birawa, tangannya masih menggenggam pedang batu yang terus memancarkan cahaya kehijauan setiap kali kilatan petir datang menyambar.

***