2 TIPU MUSLIHAT 1

Sejam kemudian, Geni telah menyelesaikan seluruh tugasnya dari pasar. Yakni membeli tepung dan sayuran. Dia pun pulang setelah mengantar Rukmana selamat sampai rusunnya.

Pulang.

Bagi geni, tentu makna kata itu sudah berbeda dari seminggu lalu. Sebab dia memiliki tempat pulang lain sekarang. Dan itu adalah pesantren khusus putera bernama Darul Amin ini.

Pesantren ini terdiri dari dua gedung tiga lantai yang terpisah. Satu gedung di sisi kanan. Satu yang lain di sisi kiri. Keduanya berhadapan dan dikelilingi pagar besi wilayah masing-masing.

Diantara keduanya berdirilah empat gedung lain. Hanya terdiri satu lantai, berukuran lebih kecil, dan letaknya berjejer mengelilingi sebuah aula untuk berjamaah.

Keempat gedung itu berfungsi sebagai tempat mengaji. Sesuai tingkatan para santri tentunya. Mulai dari Isti'dad, Ibtida', Tsanawi, dan terakhir Aliyah.

Geni dengar ada sekitar 500 santri disini. Dan ajaibnya, dia telah menjadi salah satu dari mereka sekarang. Padahal dulu dunianya begitu gelap, penuh perkelahian dan hal-hal palsu, pun hampir selalu melelahkannya setiap waktu.

Tak ada namanya kedamaian. Tak ada pula namanya harapan. Apalagi secercah kepercayaan yang dititipkan pada seorang teman. Namun, semua itu sudah berbeda sekarang. Buktinya, baru saja dia melewati gerbang utama... mendadak Mirza dan Khilmy langsung berteriak histeris kepadanya.

"GENI!" seru keduanya bersamaan. Mereka adalah abdi kantin selain Geni. Dan kelihatannya tadi sedang bertugas, tapi malah meletakkan LPG masing-masing hanya demi memburunya.

"Kamu ini kenapa? Kok berdarah-darah begini, hah?!" bentak Mirza, lengkap dengan tatapan cemas yang khas.

"Iya, Gen..." sahut Khilmy. "Jangan-jangan di pasar tadi kamu cari gara-gara, ya?" selidiknya curiga.

Geni senyum. "Ndak kok, Kang..." katanya tenang. "Saya kan ndak ngelakuin hal-hal begituan lagi sekarang..."

Kening Mirza mengernyit. "Yang bener kamu?" tanyanya tak percaya.

Dan kernyitan itu menular ke Khilmy. "Terus luka-lukamu itu kenapa? Belum lagi sandalmu kemana? Bukankah tadi berangkat masih pakai?"

Kali ini Geni justru tertawa. "Hahaha... kalian berdua cerewet sekali seperti Ibuk," katanya geli. "Tapi sebelum saya cerita... boleh ndak saya masuk dan cuci kaki dulu?"

Khilmy menoleh Mirza.

Mirza menoleh ke Khilmy.

"Ya sudah sana..." kata Mirza. "Tapi awas saja kalau kamu masih sampai bikin masalah beneran..." ancamnya tegas.

"Nggih..." kata Geni patuh. Kemudian segera menuju ke kantin untuk melakukan niatnya barusan. Namun, baru saja sampai di lorong kantin. Dia refleks membatu di tempat saat melihat Kiai Nasiruddin keluar dari pintu Ndalem.

Pengasuh Pesantren Darul Amin itu berjalan dengan penampilan yang khas. Yakni serba putih. Mulai dari peci, surban, jas, hingga sarung sekalipun. Namun ternyata beliau tidak sendirian. Di sebelahnya ada sesosok pria mirip Geni, tapi versi 24 tahun lebih tua.

Dia adalah Gaman Patih yang legendaris. Ayah geni.

Pria berkulit gelap itu tampak mengangguk pelan. Tanda kepatuhan ketika Kiai Nasiruddin mengatakan sesuatu padanya. Dan jujur... Geni tak pernah melihat sisi ayahnya yang seperti itu sebelum dia menjadi santri. Apalagi tangan kekar itu begitu sering memukulnya ketika emosi.

"Lho... Geni?" kata Kiai Nasiruddin. "Kamu mau kemana? Kok ada disitu?"

Geni pun menundukkan kepala sebelum menjawab. "Ngapunten, Abah... Geni wau nembe teng peken tumbas terigu..." jawabnya pelan.

Kiai Nasiruddin memandang belanjaannya sekilas. "Oh... mau nggoreng di dapur berarti?"

"Nggih, Abah..."

Gaman mendadak menyela mereka begitu saja. "Kamu kenapa bisa sekotor itu, hah?!" bentaknya kasar. "Baru berkelahi lagi kan, kamu?" tanyanya dengan bola mata nyaris keluar.

Sampai-sampai para santri di sekitar sana bertolehan karenanya.

Geni pun menundukkan kepala lebih dalam. Membisu.

avataravatar
Next chapter