webnovel

Genderuwo Gondrong dan Anak Babi

Apa yang terjadi kalau seorang? sebuah? seekor? (saya bingung) genderuwo yang tidak bisa move on dari masa lalunya harus menyelamatkan perusahaan peninggalan ayahnya? Dibantu oleh sahabatnya, seorang? seekor? (kayaknya seekor pas) Anak Babi yang hidupnya penuh dengan kekacauan, sang genderuwo berusaha untuk membawa Andhika Production House kepada kejayaan, layaknya Patih Gajah Mada dengan Majapahit-nya, Pep Guardiola dengan Barcelona-nya, dan Yu Sri dengan Warteg Yu Sri-nya (kalo gak kenal gakpapa). Akankah mereka berhasil...? Ya iya lah... Udah, saya capek nulis sinopsis, baca dah sana... p.s. Yang nulis Cina, jadi enggak dihitung rasis.

Therealmakmu · Realistic
Not enough ratings
8 Chs

Pak Budi

Setelah mereka berdua tenang, Randai pun berdiri di depan pintu, bersiap untuk membukanya. Dia menunggu A Liang yang masih memakai celana pendek untuk berganti dengan celana panjang.

"Cepetan!"

"Iya sabar, ini celanaku seret."

Suara dari luar terdengar lagi.

*Tok tok tok*

"Permisi."

"Ya sebentar, maaf kuncinya nyangkut," balas Randai.

"Sudah," lapor A Liang.

Pintu pun dibuka

Di depan pintu, tampak seorang pria berusia 40-an berkacamata kotak tipis. Wajahnya kalem dengan kumis tipis di atas bibirnya. Dia memakai kemeja lengan panjang biru muda, yang dimasukkan ke dalam celana kain hitam. Di tangannya tampak sebuah tas kerja hitam dengan model yang berkelas, tetapi tidak berlebihan. Penampilannya rapi, memancarkan aura percaya diri yang sederhana.

"Oh, selamat pagi. Apakah ini benar Andhika Production House(Rumah Produksi Andhika)?"

"Oh ya, benar, pak. Silakan masuk… Silakan duduk."

"Ya, terima kasih."

A Liang pura-pura sibuk dengan laptopnya di meja kerjanya saat Randai dan tamunya masuk.

Randai pun duduk di sofa kecil dan si tamu duduk di sofa panjang.

"Erhm... Jadi bapak ini dari mana ya?"

"Oh, perkenalkan, nama saya Budi, bagian periklanan dan pemasaran produk Fiestas."

"Fiestas itu yang bikin produk olahan ayam, ya?"

Pak Budi pun menggaruk-garuk belakang kepalanya dan berkata, "Haha, bukan. Kami itu merk Fiestas yang satunya.

Randai bingung dan berpikir dalam hati, "Fiestas yang satunya? Bikin barang apaan Fiestas yang ini?"

Walaupun dia tidak tahu Fiestas yang satunya ini produk apa, Randai tampak kecewa dan tidak tertarik, karena jelas proyek yang ditawarkan pasti adalah iklan.

"Maaf, Pak Budi, tapi kami tidak menerima proyek iklan."

Pak Budi bingung, "Maksudnya?"

A Liang pun tidak tahan lagi. Dia tidak mau membiarkan proyek itu lari begitu saja.

Sambil berdiri dari kursinya, A Liang menyela, "Ahaha, maaf, Pak Budi. Teman saya itu cuma bercanda. Kami bersedia kok. Ahehe, silakan dijelaskan dulu proyeknya."

Randai menatap A Liang dengan tatapan 'Gua gak mau kerjaan ini, anjing!'

A Liang menatap Randai dengan tatapan 'Kamu jadi orang yang tahu diri, goblok!'

Kalau adegan ini terjadi di film kartun, sudah muncul aliran listrik di antara tatapan mereka.

Pak Budi hanya bisa menghela nafas dan tertawa kecil, "Sudah, sudah. Kalian ini dari tadi kok musuhan terus?"

"Eh, bapak dengar ribut-ribut yang tadi," tanya Randai malu.

"Jangankan saya, kucing kawin di seberang jalan juga dengar."

"Ngapain lo perhatiin kucing kawin?" Randai sewot dalam hati.

A Liang ikut malu. "Ahaha, maaf. Kami memang lagi ada masalah. Tapi bukan masalah besar, kok. Biasa, beda pendapat rekan kerja."

Pak Budi pun tersenyum dan melepas kacamatanya.

Randai dan A Liang pun terdiam.

Suasana di ruangan itu pun berubah seratus delapan puluh derajat.

Kacamata itu seolah-olah adalah segel yang menahan aura wibawa Pak Budi.

Gerakan Pak Budi tampak elegan tapi penuh kuasa, lembut, tapi penuh kekuatan, seperti Chow Yun Fat dalam film God of Gamblers atau Marlon Brando dalam film The Godfather. Semua gerakan Pak Budi terasa seperti dilakukan dalam gerakan lambat.

Randai dan A Liang hanya melongo saat Pak Budi menaruh kacamatanya di meja kopi di depannya, seolah orang di depan mereka adalah seorang raja.

Pak Budi mengeluarkan sebatang rokok dan menaruhnya di mulutnya. Tanpa sadar, Randai mengeluarkan korek dari sakunya dan menyalakan rokok Pak Budi.

Pak Budi menyesuaikan posisi duduknya, sebelum kemudian berdehem dan berkata,

"Andhika Production House… heh… menyedihkan…

Randai refleks menyahut, "Maksud bapak apa, hah?"

"Sebenarnya saya sudah tahu kondisi kalian. Saya tahu kalau kalian itu pernah gagal produksi film. Kalian juga sudah menunggak sewa kantor ini selama tiga bulan, dan kalau kalian akhir bulan ini tidak bisa bayar, kalian diusir."

"B…bapak tahu dari mana," tanya Randai.

"Bos saya tahu semua tentang kalian."

"Bos bapak? Siapa bos bapak itu?"

Pak Budi hanya mengeluarkan sebuah kartu nama dari saku kemejanya dan menaruhnya di atas meja kopi itu.

"Kalian saat ini tidak perlu tahu soal bos saya. Tapi bos saya itu kenal kamu, Randai… Dan dia ingin... membantu kamu."

A Liang juga kebingungan, siapa orang ini dan bosnya itu?

A Liang pun berkata, "Kenapa bos bapak mau membantu rumah produksi kecil seperti kami?"

Randai menyahut, "Hehe, enggak semua orang itu buta seni. Bos Pak Budi ini paham orang berbakat."

"Jangan besar kepala dulu. Filmmu itu sampah."

Randai semakin emosi, tetapi sebelum dia sempat marah, Pak Budi berkata lagi,

"Bos saya tahu kalau kamu itu anak Pak Andhika, si sutradara eksentrik itu."

"Terus memangnya kenapa kalau saya anak Pak Andhika?"

Pak Budi melanjutkan,

"Dia tidak rela melihat semua yang bapakmu bangun bertahun-tahun hancur dalam sekejap. Datanglah besok ke alamat di kartu nama itu jam 9 pagi. Saya tunggu."

Tanpa menunggu jawaban, Pak Budi berdiri dan keluar dari kantor itu.

"Tunggu, hei! Pak Budi!"

Pak Budi tidak menoleh dan menghilang dari pandangan kedua sahabat itu.

Randai pun terdiam.

A Liang juga.

Semua suara juga.

Sepertinya waktu juga.

...