Sudah lebih dari 2 minggu aku tinggal di rumah Sasongko semenjak aku tahu Rengganis hamil anakku dan dia memutuskan hubungan secara sepihak serta mendadak. Juga sejak aku terakhir kali duduk berhadapan dengan Sevana yang sibuk menahan jatuhnya air mata di sudut ekor matanya. Aku tidak ingin lari kali ini, hanya sedikit menepikan diri dari semrawutnya pikiran serta meredakan jiwaku dari pusaran emosi. Aku tidak ingin seperti dulu lagi, yang lari hingga tahunan hanya demi menemukan satu jawaban tentang jati diri, namun sekedar mengendap untuk menetapkan langkah selanjutnya yang mungkin butuh waktu beberapa minggu saja. Aku sadar aku tidak punya banyak waktu lagi mengingat umurku sudah di ambang kepala empat.
Rumah Sasongko berada di tengah lereng Gunung Merbabu, di salah satu sudut kebun sayurnya yang luas. Dulu, Aku dan Sasongko merupakan teman satu bangku kuliah satu angkatan dan seprodi, namun bedanya, aku lebih banyak berkumpul dengan teman-teman dari berbagai Fakultas untuk duduk semeja berdiskusi tentang banyak hal, utamanya tentang filsafat dan kondisi perpolitikan terkini negeri ini, sementara Sasongko hanya serius segera menyelesaikan bangku kuliah secepatnya tanpa tertarik untuk turut kumpul-kumpul atau bahkan tidak tertarik mengikuti kegiatan kampus apapun. Meskipun banyak kawan yang seangkatan dengan kami seringkali membicarakannya yang kurang bisa bersosial, namun aku berusaha memahaminya dengan sesekali menjejeri langkahnya saat berangkat atau pulang dari kampus. Yah, hasilnya aku paham bahwa dia memang punya tujuannya sendiri dalam langkah ke depan dari hidupnya, yakni memanfaatkan serta mengembangkan tanah-tanah kosong yang ada di desa asal kelahirannya yang berada di lereng Gunung Merbabu.
Sejak awal, masyarakat di daerahnya tersebut memang sudah membudidayakan bertani sayuran kemudian menjualnya di pasar dan hasil dari penjualan ditukarkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Atau jika, ada yang sedikit beruntung menjadi langganan tetap bagi pedagang-pedagang besar namun tetap saja hasilnya hanya cukup untuk sehari-hari saja jika ada kelebihan tidak meruah. Di sini Sasongko berpikir jika saja petani sayur di daerahnya langsung bertemu dengan konsumen-konsumen besar tanpa melalui orang ketiga, tentu taraf hidup mereka jauh lebih baik. Itulah alasan mengapa Sasongko tidak ingin banyak berkumpul dengan komunitas apapun di kampusnya dan hanya berjalan pada satu jalur tujuannya, yakni segera lulus dan mengembangkan desanya.
Bisa dibilang perjuangan Sasongko banyak berhasilnya, selain mengelola tanahnya sendiri Sasongko mandegani terbentuknya wadah untuk menyalurkan hasil pertanian sayur langsung ke konsumen yang besar-besar seperti Supermarket, Restoran-restoran besar serta hotel-hotel berbintang, selain juga menyediakan untuk dijual di pasar-pasar tradisional. Tidak lama lulus dari bangku kuliah, Sasongko menikah dengan gadis yang berasal dari desanya sendiri. Istri Sasongko memiliki kecantikan khas desa, juga memiliki kerja keras seorang anak petani, sangat sesuai dengan cita-cita Sasongko.
Tanah Sasongko cukup luas membentang di sepanjang pinggir tebing, agak jauh ke atas dari rumah-rumah penduduk desa lainnya, namun rumahnya tidak pernah sepi. Selalu saja ada yang datang sekedar untuk mengobrol kesana kemari tanpa tema pasti atau ngobrol serius tentang tanaman serta pemasarannya. Selain bapak-bapak, seringkali juga datang ibu-ibu menyambangi istri Sasongko. Kadang aku juga turut dalam obrolan bapak-bapak itu yang kadang ditemani teh, kadang juga kopi bersama rokok sigaret serta makanan hasil kebun sendiri. Sudah lebih dari dua minggu tinggal di sini, dan aku merasa terlalu betah untuk turun ke kota. Meskipun Salatiga sendiri kota yang cukup nyaman dengan udara yang masih segar, namun dengan kondisi psikisku saat ini, kota itu terasa pengap. Malahan kadang terbersit untuk menetap tinggal di desa ini, menjadi petani sayuran seperti Sasongko, setidaknya dalam dua minggu aku telah banyak belajar bertani serta berdagang sayuran kepada Sasongko. Suatu ketika kukatakan bersitan keinginan itu kepada temanku tersebut, namun dia malah tergelak.
"Aku serius, Ngko!"
"Manalah mungkin, Ken. Jelas-jelas kamu sangat mencintai profesimu sebagai penulis saat ini. Aneh rasanya tiba-tiba melirik Agrobisnis." Kembali Sasongko tertawa, namun tidak tergelak seperti pertama tadi.
"Entahlah Ngko, mungkin aku jenuh. Akhir-akhir ini aku kehilangan gairah menulisku. Sementara aku butuh pegangan untuk kelangsungan hidup." Jawabku lirih antara yakin dan tidak yakin. Akhir-akhir ini, aku memang telah kehilangan gairah menulis. Setiapkali kubuka laptop atau kucoba tulis sesuatu di dalam diktat, tidak ada satupun kata yang mau keluar. Semenjak keintimanku dengan Rengganis hingga dia memutus tiba-tiba. Perempuan itu telah membawa segala imajinasiku pergi menjauh entah kemana. Yang ada adalah kenyataan yang tidak mampu kupahami alurnya.
"Sebenarnya kamu ada masalah apa, Ken?" Mendadak kepalaku menjadi berat mendengar pertanyaan Sasongko. Kubawa kepala ke belakang menyandar pada dinding papan. Aku baru sadar, selama beberapa hari berada di sini, aku belum cerita apa-apa tentang kebenaran beban yang sedang kupikul. Aku hanya tidak ingin membebani Sasongko dan membuat dia memperlakukanku seperti keramik yang mudah pecah. Aku ingin biasa saja dan bisa menikmati keindahan alam desanya sehingga bisa kembali menyegarkan pikiranku. Tapi, suasanan lereng gunung ini mampu mencanduku sehingga membuatku enggan kembali. Setelah diam beberapa saat mencoba menyusun kalimat untuk menjawab pertanyaan Sasongko, dari pematang kebun berlari seorang anak kecil yang baru berumur 10 tahunan dengan membawa senter di tangan kanannya untuk melawan gelap.
"Lik... lik.. lik Sasongko!!" Serentak kepala kami mendongak demi mendengar anak tersebut berteriak dengan tergesa dan agak panik. Sasongko berdiri menyambut anak tersebut sebelum anak itu benar-benar menginjak teras.
"Ada apa, Restu. Kok seperti penting sekali?" Tanya Sasongko sambil mendekati anak tersebut untuk yakin bahwa anak itu memang Restu.
"Murni menghilang Lik!"
"Menghilang bagaimana?"
"Iya, Lik! Sejak tadi pagi Murni pergi dari rumah, namun sampai malam ini belum kembali."
"Ke rumah temannya mungkin." Jawab restu mencoba menenangkan.
"Kata pakdhe, itu tidak mungkin karena Murni tidak punya teman selain dari desa ini."
"Lalu sekarang bagaimana?"
"orang-orang sedang berkumpul berencana mencari Murni, Lik. Karena itu, pakdhe menyuruh saya menjemput Lik Sasongko."
"Ya sudah kalau begitu, kita kesana turut mencari. Aku takpamit Bulikmu dulu." Kata Sasongko sambil cepat-cepat beranjak menuju rumah untuk berpamitan dengan istrinya. Saat keluar dengan diikuti istrinya, aku mendekati Sasongko.
"Aku ikut, Ngko!"
"Ayolah!"
Kami bertiga berjalan menyusuri pematang kemudian mengikuti jalan menurun dari lereng sekitar 500 m hingga sampai ke sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas. Dari kondisi rumah yang tampak paling bagus dari rumah-rumah sekitarnya, sepertinya ini adalah rumah orang yang terpandang di desa ini, mungkin kepala dusun, dan perkiraanku benar ketika Sasongko memanggil pemilik rumah tersebut dengan sebutan pak Kadus.
"Sewaktu meninggalkan rumah, Murni tidak membawa apa-apa. Dia bilang mau jalan-jalan sewaktu ditanya bapaknya."
"Bapak-bapak semua, atau siapa saja. Mungkin ada yang tahu biasanya Murni pergi kemana?"
Orang-orang bicara dengan setengah berbisik antara satu dengan yang lainnya. Namun hingga berganti menit tidak ada satupun yang memberi tahu kemana gerangan Murni pergi. Namun, tidak lama kemudian seorang pemuda berjalan dari kerumunan pemuda yang ada di bawah rambutan.
"Mas Sasongko, Murni biasanya suka duduk-duduk di batu besar yang ada di pinggir sungai dekat kebun sayur Mas Sasongko."
"Kalau sampai ada apa-apa dengan Murni, kamu yang harus tanggung jawab!" kata seorang lelaki bertubuh kecil namun tampak berotot yang sudah berumur kira-kira lebih dari setengah abad. Awalnya aku tidak paham mengapa lelaki tua ini begitu marah dengan pemuda tersebut, namun kelak melalui cerita Sasongko aku tahu bahwa pemuda tersebut pernah berpacaran dengan Murni yang merupakan anak dari lelaki tua itu.
Pak Kadus memutuskan agar semua orang pergi ke tempat yang disebutkan pemuda tadi untuk bersama-sama mencari Murni. Namun, ketika kami sampai di tempat yang disebutkan tadi, kami semua tidak menemukan siapa-siapa. Beberapa orang disebar untuk mencari beberapa meter dari batu besar tersebut, ada pula yang mencoba menyeberang sungai yang kebetulan tidak terlalu dalam juga tidak terlalu deras. Pencarian sudah berlangsung lebih dari 2 jam, namun Murni belum juga ketemu. Akhirnya semua sepakat pencarian diteruskan keesokan harinya dan kami beranjak pulang.
Setengah jalan sebelum sampai ke ladang sayur Sasongko kami akan melewati 3 pohon trembesi yang lumayan tua dan besar. Di situ instingku yang dianugerahi kemampuan alam mulai melakukan tugasnya. Sesaat aku berhenti, diam dan semua itu digerakan oleh pikiran bawah sadarku. Karena aku berjalan di tengah-tengah, awalnya orang didekatku turut berhenti bingung kemudian diikuti oleh Sasongko dan lainnya. Aku tahu mereka melihatku dengan penuh tanya. Ketika Sasongko hendak membuka mulutnya untuk bertanya, alam bawah sadarku memintaku mengangkat tangan menunjuk ke arah pohon mangga yang tumbuh di pematang ladang kosong yang hanya ditumbuhi beberapa pohon buah termasuk pohon mangga yang di salah satunya tergantung sebuah baju perempuan.
"Baju siapa itu?" kata salah satu pemuda yang ada di dekatku.
"itu bukan baju, itu manusia!" kata salah satunya lagi, dan seakan diberi aba-aba serentak mereka berlari ke arah kain yang aku tunjuk itu yang ternyata manusia.
Keesokan harinya, desa tersebut disibukan dengan cerita tragis dan kesibukan orang-orang di rumah orang tua Murni. Iya, Murni bunuh diri dengan menggantung lehernya di batang pohon mangga.
Mendengar cerita dari sasongko dan beberapa orang yang berkumpul di rumahnya beberapa hari setelah kejadian itu, membuatku kembali menyadari betapa absurdnya cinta itu. Termasuk cintaku sendiri. Bukankah aku sendiri dulu pernah bercerita kepada rengganis tentang kisah Sisifus, dan kusadari betapa konyolnya ketika Sisifus itu adalah diriku sendiri. Seperti Murni yang terlanjur mencintai pemuda yang ternyata mencintai gadis lain dan sudah bersiap untuk menikah. Meskipun sang pemuda pernah memberi kesempatan dirinya untuk mencoba menerima cinta Murni, namun hati tidak bisa ditipu. Ketika kejujuran diungkap, harus ada satu nyawa menjadi korban dari cinta absurd tersebut.
Kali ini pikiranku melayang kepada Sevana, bagaimana perempuan itu berusaha menahan air mata di sudut matanya dengan begitu keras, ketika kukatakan bahwa aku telah memberikan diriku baik jiwa juga raga kepada Rengganis. Pagi itu, Sevana tidak lagi berlari. Hanya diam, entah apa yang dipikirnya. Aku sendiri menjadi tidak mampu bercerita lebih banyak lagi, pun juga tidak bisa menipu diriku dan dirinya bahwa aku bahagia atas pertemuanku dengan Rengganis. Hampir satu jam aku turut diam di samping Sevana, hingga akhirnya dia memintaku mengantar pulang tanpa bertanya lagi atas apa yang terjadi. Malamnya dia mengirim pesan kepadaku bahwa dia memaafkan semua yang terjadi dan berharap aku tidak pergi kemana-mana lagi. Tapi, aku tidak bisa menjawab untuk menjanjikan sesuatu karena waktu itu aku berharap Rengganis akan memilih berjalan bersamaku, atau setidaknya membiarkanku berjalan bersamanya. Hanya saja, harapanku seperti terjatuh dari tebing ke dasar yang dipenuhi ganasnya deburan ombak dari laut. Aku terkapar.
Aku pergi tanpa pamit kepada siapapun termasuk Sevana, meski aku berjanji pada diriku kini bahwa kepergianku tidak akan lama. Hanya udara di lereng Gunung Merbabu ini membuatku betah hingga kejadian yang menimpa Murni. Kisah yang belum usai gebyar ceritanya seperti menyadarkanku bahwa aku harus kembali. Dua hari setelahnya, aku telah mengemas barang-barangku dan berpamitan kepada Sasongko serta istrinya.
"Kamu masih hutang cerita padaku loh, Ken!" Kata Sasongko saat melepas kepulanganku. Aku memang belum sempat bercerita kepada Sasongko tentang alasan kenapa lama tinggal di rumahnya. Hiruk pikuk itu membuat kami lupa tentang masalahku yang hendak kuceritakan malam itu.
"Kapan-kapan aku ingin kesini lagi, Ngko. Aku masih berniat untuk belajar Agrobisnis darimu. Kali ini aku harus kembali karena ada hal-hal yang harus kuselesaikan." Tidak lama kemudian aku sudah menunggangi motorku yang setia mengantar kemana saja untuk kembali pulang ke kota, tempat segala cerita bermula.
00o00
Aku dan Sevana duduk berhadapan di kursi yang berada di teras rumah kakaknya. Selama ini, Sevana hidup bersama kakaknya di Salatiga, karena rumahnya orang tuanya yang ada di Boyolali terlalu jauh dari tempatnya bekerja.
"Ada acara apa di rumah Sasongko?"
"Tidak ada acara apa-apa. Aku sendiri yang ingin main ke rumahnya."
"Lama juga mainnya." Cara bicara Sevana sangat biasa sekali, seakan tidak pernah terjadi apa-apa antara aku dan dia. Iya. Saat berhadapan dan bicara yang dia hadirkan merupakan suasana santai, seakan segala kisah yang terjadi kemarin hanyalah mimpi belaka. Meskipun begitu, aku tidak mengingkari jika Sevana telah banyak melalui perjuangan yang cukup keras di hari- hari yang telah lalu.
"Iya. Udara gunung membuatku betah untuk tinggal. Lagian, sewaktu di sana aku menjadi tertarik dengan usaha pertanian yang sedang digeluti Sasongko." Sevana mengangguk-angguk untuk menunjukan bahwa dia paham.
"Syukurlah, kupikir kau lari dan menghilang.'
"Sev, ayo kita menikah."