webnovel

Prolog (Rengganis)

Aku ingin menjadi ibu untuk anak-anak yang terbentuk dari para lelaki dengan anugerah bakat-bakat yang diberikan alam. Aku rela menjadi Drupadi. Untuk itulah, mungkin aku tidak perlu terikat dalam satu perkawinan yang sah. Hanya, kenyataannya aku membutuhkanmu, Bantar. Aku membutuhkan lelaki yang kuat dan perkasa jiwanya. Oleh karenanya, 5 tahun yang lalu akupun mengambil keputusan untuk menikahimu. Tentunya, keputusan itu tidak datang begitu saja, ada banyak alasan yang semuanya ada pada dirimu bahwasanya kau sendiri lahir dari gen para Raja Klana. Tanganmu adalah tangan ajaib. Kau salah satu pelukis mata uang dari 60 yang ada di dunia, dan tentu banyak diburu perusahaan pencetak uang raksasa di seluruh dunia. Sungguh sebuah kebetulan saat aku bertemu denganmu, dulu. Semesta merestui penelitian yang sedang kukembangkan hingga kini.

Aku sendiri tidak benar-benar tahu aku dari keturunan genetika yang mana, tapi aku tahu aku bukan sudra biasa. Ada darah ungu penyihir mengalir dalam nadiku. Karena itu aku ingin menjadi ibu dari sebanyak-banyaknya anak ajaib. Aku rela menjadi Drupadi. Kini, kamu menyadari bahwa aku bukan perempuan yang ingin mati menjadi perempuan dan ibu biasa. Kau dalam perang besar dengan pikiranmu sendiri tentang diriku setelah seringkali secara perlahan-lahan dari yang paling samar hingga sekarang begitu gamblang kunyatakan kepadamu bahwa aku ingin menjadi Drupadi. Tapi, percayalah itu bukan Drupadi biasa.

Bantar, tidakkah kau sendiri bisa melihat dunia kita sudah kehilangan penjaganya. Perang di mana-mana. Kepintaran hanyalah dijadikan jalan untuk menindas makhluk lainnya maupun manusia itu sendiri. Pemerkosaan alam semesta menjatuhkan air mata Dewa Zeus dan membunuh Amora. Bumi sekarat hanya tinggal menunggu kematiannya. Semua itu kucoba tuang dalam peta-peta pemikiranku, kuhitung dan kususun untuk membangun sebuah peradaban yang lebih baik.

Dunia ini membutuhkan sekelompok anak manusia sebagai pahlawan untuk menjaganya. Itu harus tumbuh dari anak-anak pilihan tumbuh dan terdidik baik secara moral maupun perkembangan intelektualitasnya. Sedang yang aku lihat anak-anak dengan anugerah seperti itu sebagian besarnya dibesarkan oleh ibu yang salah. Aristoteles yang mencetuskan tentang genetika, dan darwin yang terus gencar membicarakannya serta Nietsche yang berusaha menerjemahkan dengan caranya, ah…. Semua itu hanya omong kosong jika gen-gen itu lahir dari perempuan yang tidak tepat. Itulah, aku harus memulainya, Bantar. Dan itu kumulai dari kamu.

Malam ini tepatnya, aku melihat warna merah menyemburat di garis-garis otot matamu. Aku berusaha membacanya, ketika warna merah matamu menuliskan ungkapan keresahan, kemarahan dan kebingungan serta entah apalagi. Bahkan mungkin kau sangat ingin meneriakiku "GILA!" Aku terima. Sungguh aku terima Bantar jikalau kau memang ingin menghujamku dengan segala ucapan paling kasar sekalipun. Bukankah kegilaan itu memang puncak dari kewarasan itu sendiri. Kau sendiri dulu pernah mengangguk-anggukan kepala setuju saat aku menerjemahkan arti sebuah kegilaan.

Kini kita berada pada satu bangku dan saling berhadap-hadapan. Tangan kita saling bertaut seperti yang selalu kita lakukan, meski sekarang kulihat lautan merah menyemburat di matamu.

"Ijinkan aku, Bantar."

"Rengganis, tentu kamu tahu alasan apa yang membuatku memutuskan menikah denganmu. Tentu dengan harapan bahwa kita akan bersama selamanya, tidak ingin ada kata berpisah, selamanya… dan selamanya.." ada nada memohon dalam tatap matamu. Aku mencoba terus berbicara padamu tanpa ingin melepaskan mataku dari matamu.

"Tentu Bantar, aku juga tidak ingin berpisah darimu, dan aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu."

"Apa sebenarnya cinta itu, Reng?"

000

Hujan masih saja deras dan belum menunjukan hendak berhenti. Waktu sudah menunjukan jam sebelas malam sementara hujan sudah menderas semenjak sore tadi, ketika kakiku baru saja menginjak kota ini. Berbasah-basah melawan hujan kubuka pintu taksi dan meminta diantar ke hotel depan Taman Budaya. Taksi yang aku tumpangi sepertinya taksi gelap, karena ketika belum tepat benar pantatku menduduki kursinya sang sopir melakukan tawar-menawar harga.

"Mbak, ongkos minimal Rp 30.000;00. Gimana ?"

"Biasanya ongkos minimal hanya Rp. 20.000;00."

" ah, tidaklah mbak, memang sudah segitu harganya kok."

"ya sudah, pak. Antar saya ke Hotel Kusuma."

"Yang di depan Taman Budaya, mbak."

"Inggih, pak."

Kutengok waktu di layar Tablet masih menunjukan jam lima sore, namun suasana sudah cukup pekat oleh kabut hujan yang menutupi sepanjang jalan menuju hotel. Kulihat di beberapa tempat air cukup tinggi menutup jalan. Kota ini sudah berbeda dari 6 tahun yang lalu ketika aku masih tinggal di sini. Tampak sekali kerusakan ada di mana-mana, dan bangunan permanenlah yang sangat banyak berperan melakukannya.

Pembangunan di Indonesia sangatlah buruk, baik pembangunan secara fisik maupun mentalnya. Dan ini sudah dimulai semenjak tidak lama setelah Indonesia merdeka. Menurut pengamatan para ahli sejarah, Indonesia sudah hancur ketika Soekarno terguling. Tentunya lebih hancur lagi ketika Soeharto yang menggulingkan Soekarno digulingkan juga. Mungkin seperti Korea yang seringkali terganjal dalam para pejuang meraih kemerdekaan sepenuhnya, ini dikarena banyak para pengkhianat yang lahir dari dalam negeri sendiri. Namun di Korea sudah cukup jelas dengan terbagi-nya negeri mereka menjadi dua sehingga tidak ada topeng yang menutupi muka-muka pengkhianat dan mana yang pejuang.

Kuambil nafas panjang ketika sang sopir memecahkan keheningan.

"Sudah sampai, mbak."

"oh iya, terimakasih, pak." kataku sambil membuka pintu taksi usai menyerahkan 3 lembar uang puluhan.

Hujan masih men-deras.

Dua gelas kopi yang aku pesan semenjak aku menginjakkan kamar hotel sore tadi sudah dingin. Aku heran, dengan hotel yang cukup besar ini namun tidak bisa memberikan pelayanan makanan dan minumannya dengan sajian yang cantik. Hotel ini memang cukup tua jika dilihat dari bangunannya yang terkesan lawas. Kopi yang disajikan dengan gelas panjang yang menurutku lebih cocok untuk menyajikan Teh hangat atau jus buah ini terlalu kebanyakan air, karena kopi yang diseduh dengan air yang terlalu banyak benar-benar sajian kopi yang hambar.

Sekarang sudah hampir tengah malam, namun pria yang aku tunggu belum muncul juga. iya… aku sedang menunggu seorang pria yang akan menjadi salah satu ayah dari anak-anak unggulan-ku. Pria dengan kelebihan yang tidak semua orang memilikinya. Wadak-nya dalam memuat energi di semesta ini sungguh besar, dengan tanda lahir di pergelangan tangan kanan dan kirinya yang kadang muncul kemudian menghilang sendiri. Tanda lahir itu berupa wujud matahari di pergelangan kiri dan wujud rembulan di pergelangan kanannya. Ken nama pria yang sedang aku tunggu ini.

Menurut cerita beberapa temannya yang kebetulan juga dekat denganku, bahwa pernah dulu ketika mereka berada dalam satu tim untuk membuat film dokumentasi di sebuah makam tanpa sengaja salah satu tim-nya merekam sebuah kejadian yang tidak dapat masuk di akal. Ketika diputar ulang rekaman tersebut, tepat disekitar Ken ada dua makhluk bergerak cepat mengelilinginya. Ketika di zoom, tampaklah dengan jelas bahwa dua makhluk yang mengelilingi tersebut adalah sepasang lelaki dengan mahkota bulan di keningnya dan perempuan dengan mahkota matahari di keningnya pula. Sementara di luar lingkaran tersebut, tampak beberapa makhluk dengan wajah yang menunjukan bahwa mereka berasal dari dunia kematian sedang berdiri mengelilingi hendak mendekati Ken. Seakan-akan dua pasang lelaki dan perempuan bermahkota tersebut sedang melindungi Ken dari makhluk-mahkluk dari dunia kematian tersebut.

"ho... ho... ho... kayak Avatar dong." begitu mulanya aku menanggapi cerita itu, namun wajah serius temanku bergeming membuat aku meyakininya.

Entah mengapa, sungguh kebetulan sekali aku dan Ken saling jatuh cinta bahkan jauh sebelum aku bertemu Bantar. Dan entah mengapa pula, aku ditakdirkan tidak bersatu dengan Ken, 6 bulan setelah memastikan tidak mungkin hidup bersama dengan Ken, aku bertemu dengan Bantar dan menikah. Sudah takdir pula ketika aku menegetahui kelebihan yang berbeda di diri Bantar, maka aku tahu bahwa aku memang dipilih untuk menjadi Drupadi yang hendak melahirkan anak-anak spesial sebagai titik perubahan kehidupan di dunia material, maupun di dunia anti materi.

Bantar memiliki kemampuan yang jarang dimiliki manusia di dunia ini, terutama kemampuannya melukis dengan teknik melukis uang atau Banknote style. Menurut daftar resmi dunia, sampai hari ini hanya ada 60 orang Engraver di seluruh dunia, dan 10 di antaranya dimiliki Indonesia salah satunya Bantar. Namun ada satu yang benar-benar membuat aku tertarik tentang cerita hidupnya, yaitu ketika dia mengalami kecelakaan lalu lintas sewaktu perjalanan menuju Malang bersama teman-temannya. Dia pada posisi sedang membonceng temannya sewaktu sepeda motor yang ditumpanginya hendak menyalip bis dan bertabrakan dengan sepeda motor dari arah lawan. mereka berdua terjatuh dan separuh tubuh Bantar masuk ke bawah Bis yang sedang berjalan tersebut. Namun entah mengapa, tiba-tiba bis tersebut berhenti mendadak. Menurut cerita para saksi yang menumpang bis tersebut, ada penumpang seorang kakek tua yang menghentikan bis tersebut hendak turun, namun cerita lain dari yang ada di luar Bis, tidak ada seorangpun keluar dari Bis. Teman-teman Bantar lain yang satu rombongan dalam perjalanan tersebut mengatakan, bahwa Bantar ditolong Malaikatnya.

Begitulah aku meyakini bahwa pertemuan dengan dua lelaki itu merupakan takdir yang harus aku jalani. Melahirkan anak-anak mereka dan membuat dunia menjadi lebih baik lagi. "Kamu gila, Rengganis." begitu Bantar meneriaki aku, sewaktu kumuntahkan segala pradugaku tentang takdir yang harus kami jalani. Tentu saja ini gila, tapi aku sangatlah waras.

Tabletku bergetar. Kubuka dan satu nama tertulis dilayar sedang melakukan panggilan.

"Ken."

"Hotelnya itu di sebelah mana? aku sekarang sudah ada di timur Taman Budaya."

"berarti kamu kebablasan, Ken. Hotelnya sekitar 50 meter sebelah baratnya Taman Budaya. Kamu bisa tanya orang kan."

"oke." begitu saja dia menjawab sebelum kemudian menutup telponnya.

Hujan masih belum mereda saat kulihat sosok lelaki tinggi besar sedang berjalan dari arah lorong belakang. Sepertinya dia memarkir motornya di Garasi belakang dan naik ke lantai 2 juga dari tangga belakang. Hotel ini lumayan luas, selain ada kamar-kamar di bagian gedung depan, pada halaman belakang berdiri beberapa cottage yang tampak kuno karena memang hotel ini merupakan bangunan tua, terutama bangunan cottage tersebut. Aku yang sedang duduk gelisah di lobby atas, segera bangkit demi mendapati orang yang kutunggu telah tiba.

"Maaf agak terlambat, hujan sangat deras sekali dan aku tersesat." Katanya sambil melepas jas hujan. Kuambil jas hujannya dan ku letakan di pagar pembatas agar airnya mengering oleh angin.

"Kopi yang kupesan sejak sore tadi sudah dingin, mau ku-pesankan lagi?"

"Boleh."

Setelah ku-pesan kopi melalui telepon internal hotel, dan tidak lama seorang pelayan mengantar dan meletakan di meja kamar, aku dan Ken duduk berhadapan yang dibatasi meja. Pintu kamar sudah kututup sedari pelayan keluar usai mengantar kopi, agar kami nyaman mengobrol dan memiliki privasi.

"Apa Sevana tahu kamu kesini" tanyaku membuka percakapan.

"Tidak. Dia akan cemburu." Pertanyaanku tentu hanya basa basi belaka. Aku tahu Sevana mencemburui hubungan kami, dan dia tahu tentang rencanaku untuk mendapatkan anak dari Ken. Seminggu sebelum ini, dia menemuiku tanpa sepengetahuan Ken dan meluapkan segala uneg-unegnya padaku.

"Apa yang membuatmu mendadak menyetujui keinginanku?"

"Entahlah. Mungkin aku juga menginginkannya." Tubuhku bergetar demi mendengar pengakuannya. Kutatap wajah Ken dari seberang meja mencari kesungguhan dari ucapannya. Aku bisa merasakan getaran yang sama yang saat ini juga sedang berusaha aku kendalikan. Tapi, bukankah itu hanya sia-sia saja. Dua manusia yang sedang merasakan getaran yang sama dan berada dalam satu ruangan tertutup. Kudekati Ken, dan aku berjongkok di depannya, dan yang terjadi kemudian kami telah saling melumat.