Gelora 💗 SMA
Pukul 23.12 WITA, aku dan Randy balik ke penginapan. Kami berpisah dan masuk ke kamar masing-masing. Ketika aku memasuki kamar grupku, semua pasang mata sahabat-sahabatku langsung tertuju kepadaku.
''Dari mana saja kamu?!'' ujar mereka kompak mengintrogasiku.
Aku jadi tertunduk dan tidak berani menatap wajah-wajah mereka yang nampak masam dan menakutkan.
''Sorry ... aku habis cari udara segar,'' kataku dengan nada yang canggung.
''Kenapa kamu tidak bilang kepada kami?'' tanya Awan seperti seorang polisi yang mengorek informasi dari tersangka.
Aku cuma terdiam, aku tak tahu harus menjawab apa. Bingung!
''Kamu tahu tidak, kami tadi mencarimu!'' Awan kembali berceloteh.
''Iya ... dan kenapa kamu mematikan Handphone-mu!'' imbuh Akim ketus.
''Aku mematikan handphone-ku karena aku lagi me-recharge-nya di sana!'' jawabku sambil menunjukan HP-ku yang sedang di-charge di tembok. Lalu mata mereka langsung menatap ke benda itu.
''Oh, pantesan ....'' Yopi mengangguk-anggukan kepalanya. Yang lain balik memandangiku dengan tatapan aneh.
''Poo ... kami itu benar-benar mengkhawatirkan kamu ... kami takut terjadi apa-apa sama kamu,'' kata Akim menyemprotku.
''Iya, maafkan aku teman-teman ... aku janji tidak akan mengulanginya lagi," balasku.
''Poo ... sebenarnya kamu dari mana, sih?'' celetuk Yadi membuka suara. Tumben banget nih, anak biasanya diam saja. Tapi malam ini dia berani mengeluarkan suara emasnya. Diam-diam ternyata dia memperhatikan aku juga. Terima kasih, Yadi.
''Maaf ya, teman-teman ... sebenarnya aku habis jalan sama Randy'' terangku.
''Mmmm ... sudah kuduga!'' timpal Akim dengan mimik muka yang kurang menyenangkan.
''Ya, sudah teman-teman ... yang penting Poo udah balik ... jangan pada berantem lagi ya!'' Boni berusaha menengahi. Dia memang yang paling bijak.
''Ya ... mendingan kita bobo, yuk!'' sambung Yadi sambil memeluk bantal dan menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur.
''Ughhh ...'' Awan dan Yopi bersingut, lalu mereka menyusul Yadi untuk membaringkan tubuhnya. Tak lama kemudian, Boni juga turut serta. Mereka berempat bersiap-siap untuk tidur. Hanya Akim yang masih berdiri dan memandangku dengan sorot mata yang tajam.
''Poo ... sini! Aku mau ngomong sama kamu ...'' kata Akim dengan dinamika yang datar dan kaku.
''Mau ngomong apa, Kim?'' Aku jadi penasaran plus takut juga.
''Tidak di sini, Poo ... tapi di kamar mandi,'' Akim menarik tanganku dan memaksaku untuk masuk ke kamar mandi.
''Akim ... apa yang akan kamu lakukan?'' Aku mencoba berontak.
''Diam!'' tukas Akim sembari mengunci pintu kamar mandi rapat-rapat.
''Kim ... apa yang kamu inginkan?'' Aku jadi benar-benar ketakutan.
Akim tidak mengatakan apa-apa dia hanya membuka resleting celananya dan mengeluarkan Pisang Ambon-nya yang masih setengah ereksi dari dalam sempaknya.
Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Akim. Aku masih tidak percaya dengan apa yang sedang dia lakukan. Tubuhku mendadak lemas karena ketakutan yang berlebihan. Aku takut Akim akan melakukan tindakan asusila pemaksaan seperti yang dilakukan oleh Pak Armando kepadaku tempo dulu.
Akim memandangiku dengan tatapan mesum. Lalu dia meringis dengan tawa yang seperti iblis.
''Hahaha ...'' Akim mengurut-urut senjata pribadinya hingga nampak menegang hebat.
Aku sudah tidak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi selanjutnya. Tiba-tiba Akim terkekeh melihat kondisi wajahku yang sudah pucat pasi.
''Hehehe ... tenang aja, Manis ... aku cuma minta dianterin buat pipis!'' ucap Akim sambil mengelus-elus pipiku. Lalu tanpa ragu dia mengarahkan alat vitalnya ke lubang WC dan memancarkan air kencingnya. Currr! Tubuh Akim bergidik seiring dengan memancurnya air hajat kecilnya.
''Huufffttt!'' Aku bisa membuang nafas dengan lega. Rupanya aku telah salah menilai Akim. Aku pikir dia akan melakukan tindakan ceroboh dengan mencabuliku. Tubuhku yang gemetar tadi, kini berangsur-angsur normal kembali. Tapi di saat itu pula tanpa aku sadari aku meneteskan air mata yang kemudian mengalir ke pipiku.
Akim telah menyelesaikan buang air kecilnya. Dia langsung mencuci organ kelaminnya dengan air dan menyiram lubang WC itu hingga tak tercium bau bekas urine-nya. Lantas cowok bertubuh lebih pendek dari aku ini menatapku kembali. Sorot matanya berubah saat dia menyaksikan air mataku yang jatuh berderai.
''Lho, Poo ... kok, kamu menangis? Kenapa?'' Tangan Akim mengusap lembut pipiku dan menghapus air mata itu.
''Tidak apa-apa, Kim ... aku hanya terharu saja ... aku pikir kamu akan memperkosaku ... aku benar-benar takut!''
''Tidak, Sayang ... aku tidak akan melakukan hal seperti itu, kecuali kamu yang memintaku.''
''Akiiimmm ...'' Aku memukul-mukul dada bidang Akim.
Akim hanya terkekeh manjah. Lalu ...
''Aku tidak akan menyakitimu, Poo ... karena aku terlalu sayang pada kamu!'' Akim mengecup keningku dengan sangat lembut. Kemudian dia membuka pintu kamar mandi ini dan pergi meninggalkan aku yang masih berdiri terpaku di depan pintu.
Sungguh, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku baru menyadari kalau ternyata Akim mempunyai rasa sedalam itu terhadapku. Aku jadi bingung kepada siapa hati ini akan berlabuh. Baik Randy maupun Akim memiliki cara sendiri untuk memenangkan hatiku. Keduanya punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Dan aku akan semakin sulit untuk menentukan pilihan. Randy atau Akim?
Aaah .... aku benci dengan posisi yang semacam ini. Aku tidak ingin menyakiti keduanya, namun aku tidak mungkin untuk memiliki dua-duanya.
Akim_
.
.
.
Randy_
.
.
.
Akim_
.
.
.
Randy_
.
.
.
Galau ... Keduanya mempunyai nilai yang seimbang!
Note : Cerita di bawah ini adalah kiriman dari pembaca, tapi ceritanya masih nyambung sih, jadi aku lampirkan saja.
Selesai melampiaskan hajatnya, akhirnya Akim keluar dari kamar mandi. Aku keluar kamar mandi terlebih dahulu karena tak tahan dengan bau kencing Akim yang menyengat. Aku memilih tidur di sofa yang cukup lebar malam ini. Sambil memainkan HP sekaligus melihat-lihat update status di FB.
"Kamu belum tidur, Poo?" kata Akim.
"Belum, Kim ... kamu kenapa belum tidur juga" balasku.
"Aku belum mengantuk, Poo!"
Tiba-tiba Akim mendekatiku dengan membawa bed cover yang tebal.
"Pakailah buat selimut, AC di kamar ini terlalu dingin!"
"Makasih, Kim!"
Aku terharu dengan perhatian Akim.
Malam kian larut, akhirnya aku tertidur di sofa.
Di antara tidur lelapku, aku merasakan ada dekapan hangat dari belakang. Aku menikmati pelukan itu. Semakin lama aku merasakan ada tangan yang membuka celana kolorku. Mataku masih terpejam. Tapi aku merasakan ada yang bergerilya terhadap tubuhku. Celana kolorku lepas juga akhirnya. Aku merasakan ada benda hangat yang mengganjal di belahan pantatku. Semakin lama benda itu semakin keras. Maju mundur, maju mundur ingin menerobos liang kenikmatanku. Aah ... ah ... aku menggeliat keenakan. Entah, mengapa mata ini enggan terbuka. Semakin lama serangan itu semakin menggila. Kaos oblongku ditariknya dengan kasar. Kini aku benar-benar telanjang bulat.
Aku merasakan ada yang mencium leherku dengan nafas yang ngos-ngosan. Punggungku dijilat-jilat dengan penuh nafsu. Sampai pada saat aku merasakan juluran lembut lidah yang basah bermain-main di lubangku ... ah ... ah ....
Aku menahan rasa nikmat.
Hingga aku merasakan ada yang akan keluar dari lubang dedek kecilku.
Seeeeerrr ... seerrrr!
Cairan hangat!
Aku terbangun dari tidur.
Astaga, ternyata aku ngompol!