webnovel

35. Ayah

Gelora 💗 SMA

Randy, mengapa tiba-tiba kamu seperti oksigen yang selalu aku butuhkan di setiap aku bernafas. Mengapa di saat aku ingin menjauhimu malah justru kamu terasa dekat di hatiku. Aku tidak paham perasaan apa yang sebenarnya berkecamuk dalam jiwaku. Apakah ini cinta? Cinta macam apa ini? Mengapa begitu sangat menyiksaku. Haruskah aku membuang jauh-jauh perasaan begini? Perasaan nyeleneh yang tak mustinya hadir di antara dua insan remaja yang berjenis kelamin sama.

''Tok ... Tok ... Tok!''

Pintu kamarku terketuk dari luar. "Poo ... makan malam sudah siap! Segera keluar, Nak, kita makan bersama!'' Itu suara Ibu.

''Iya, Bu!'' sahutku sambil menutup buku catatan harianku. Buku bersampul biru ini aku letakan di atas meja. Buku itu adalah sahabat sejatiku. Tempat di mana aku mencurahkan segala isi hatiku tentang apa saja yang aku alami di sepanjang perjalanan hidupku. Kedengarannya terlalu kuno, namun kebiasaan ini masih aku lakukan karena aku merasakan efek positif dari kegiatan menulis semacam ini.

''Poo ... ayo, cepatan! Ayahmu sudah menunggu!'' seru Ibu mengingatkan aku lagi.

''Iya, Iya ... I am coming!'' sahutku, dan buru-buru menemui Ibu.

''Aem kambing ... aem kambing ngomong opo toh, Le ...'' cibir Ibu.

''Kaemming, Bu ... bukan kambing!''

''Hahaha ...'' Ibuku ngakak.

__Ah, Ibu ... bercanda aja!

Ibu merangkul dan mengajakku jalan bareng menuju ke ruang makan. Di sana sudah ada Ayah yang duduk manis menghadap meja makan yang penuh dengan hidangan masakan siap santap.

Aku duduk di bangku, di mana aku biasa makan. Sedangkan Ibu duduk tepat di sebelah Ayah. Kami cuma bertiga. Karena kedua kakakku semuanya sudah berkeluarga. Aku anak bungsu dari 3 bersaudara. Statusku menjadi anak bontot tentu berpengaruh banyak dalam kehidupanku sehari-hari. Aku mendapatkan perhatian lebih dari kedua orang tuaku bahkan bisa dibilang over. Namun, aku bukan tipe anak yang manja. Aku masih bisa mandiri dan berusaha untuk menjadi pribadi yang dewasa secara pemikiran dan prilaku.

Oke, saatnya kami makan malam. Sebelum makan tidak lupa kami berdoa terlebih dahulu. Masih ingat dengan doa sebelum makan? Baiklah akan aku bantu jabarkan : Allahumma baarik llana fiima razaqtanaa waqinaa adzaa ban naar. (Amiin).

Usai makan malam, tak lupa aku gosok gigi, cuci kaki dan cuci muka. Lalu, aku kembali ke kamarku. Waktu sudah menunjukan pukul 20.18 WIB. Belum saatnya buat tidur, tapi aku juga malas buat belajar. Mau nonton TV juga enggan, karena sudah ditongkrongin Ibu untuk menonton sinetron kesayangannya. Terpaksa deh, aku buka buku catatan harianku lagi. Aku mau corat-coret saja sampai kantuk tiba menyerang mataku nanti.

Beberapa menit kemudian, pintu kamarku terketuk dari luar.

''Tok ... Tok... Tok!''

''Poo!'' Itu suara Ayahku.

''Iya, Yah ...'' sahutku segera dan langsung keluar dari kamar. Aku tidak mau Ayah memanggilku sampai dua kali. Bisa berabe jadinya. Aku termasuk paling takut dengan makhluk yang bernama Ayah. Apalagi kalau beliau sudah marah. Iiih .... serem deh, pokoknya!

''Ada apa, Ayah?'' tanyaku pada Ayah.

''Ada temanmu di luar. Cepetan gih, temui!''

''Hah ... Teman? Siapa?'' ujarku.

''Mana Ayah tahu? Coba aja kamu lihat sendiri, Poo!'' timpal Ayah dengan muka yang masam.

''Baik, Yah!'' Aku segera berjingkat ke ruang depan, aku penasaran siapa yang datang ke rumahku malam-malam begini. Teman yang mana? Tumben amat main di jam yang sudah termasuk larut malam ini. Ingat ya, ini di kampung bukan di kota!

Dan ketika aku tiba di ruang tamu, aku mendapatkan sesuatu yang membuatku jadi jantungan. Ada cowok alien dari planet tanpa nama.

''Hallo, manisku!'' sapa cowok itu dengan senyuman khasnya yang menonjolkan gigi ginsulnya.

''Akiiiimmmm .... ngapain kamu ke sini?''

''SSSSSTTTTTT ... aku mau jenguk kamu, Poo.''

''Gendeng!''

''Aku mau pastiin kalau kamu tidak jatuh sakit, aku khawatir kamu jadi meriang karena tadi siang aku yakin kamu pasti kehujanan ... iya, 'kan?''

''Aku baik-baik saja, Kim ... udah deh, lebih baik kamu pulang aja!'' Aku menarik tangan Akim dan mendorong tubuhnya keluar dari dalam rumahku.

''Syukurlah kalau begitu ... aku bisa tidur tenang malam ini.''

''Lebay ah kamu, Kim ... udah deh, mendingan kamu cepet pulang. Aku sudah ngantuk, nih!''

''Hehehe ...'' Akim meringis. Ngeselin banget!

''Gak penting banget sih, Kim ... tidak cukup kamu goda aku di sekolah sampai nekat datang ke rumah segala?''

''Hehehe ...'' Akim meringis lagi.

''Udah ah, aku mau bobo!'' Aku mencoba menutup pintu rumahku.

''Eh ... tunggu sebentar, Poo!'' Akim menahan pintunya.

''Ada apa lagi sih, Kim ... udah malam, nih!''

''Salam buat Camer!"

"Camer? Siapa tuh, Camer? Di rumah ini tidak ada yang punya nama Camer!"

"Ada Camer, Calon Mertua. Hihihihi ..." ujar Akim ceplas-ceplos.

''Huekkk!'' timpalku dengan memeletkan lidah sembari menutup rapat pintu rumahku. Aku tidak peduli apa tanggapan Akim. Aku cuma berharap dia lekas pergi dari rumahku. Dasar cowok aneh! Tingkahnya ada-ada saja. Aku malas meladeni dia. Walaupun kocak tapi bikin aku enek.

__Akim ... Genus macam apa sih, orang tuamu, sehingga melahirkan spesies seperti kamu. Ckckckck!

Setelah yakin bahwa Akim sudah pergi jauh dari rumah, aku bergegas balik ke kamarku.

''Poo!'' tegur Ayah ketika aku melewati ruangan tengah. Kebetulan beliau ada di situ.

''Iya, Ayah ..."' jawabku.

''Temannya sudah balik?''

''Udah, Yah ...''

''Kok, cepet banget?"

''Tauk tuh, Yah ... Cuma mau lihat aku doang, katanya ...''

''Hah ...'' Ayahku jadi bengong.

''Kenapa, Yah ... aneh ya, teman Poo?''

Ayahku hanya tersenyum kecut.

''Ayah ... Poo mau bobo dulu, ya ... Good Night Ayah!''

''Good Night, Poo ... mimpi yang indah ya, Nak!''

''Terima kasih, Ayah ... Love you!" Aku mencium kening Ayah, kemudian aku masuk ke kamar pribadiku. Waktunya buat istirahat. Lupakan segala beban di jiwa.