Gelora 💗 SMA
Tiga jam mata pelajaran sudah selesai dan kini waktunya beristirahat. Sebagian penduduk kelas berhamburan keluar. Namun aku tidak turut serta dengan mereka. Akim juga sempat mengajakku pergi ke kantin, namun aku menolaknya. Aku memilih stay di kelas, karena ingin mengejar subjek pelajaran yang tertinggal akibat ketidakhadiranku ke sekolah selama 3 hari lalu.
Aku mencatat semua materi pelajaran yang aku lewatkan. Aku tidak mau ketertinggalanku dalam pelajaran akan menghambat proses belajar mengajar di kelas. Di saat aku lagi sibuk menyalin materi, tiba-tiba Randy datang ke kelasku dan membawakan aku minuman dan makanan kecil (Bakwan jagung).
''Poo ...'' Randy meletakan minuman dan makanan itu di atas mejaku.
''Ran ...'' Aku mendongak ke cowok berbibir ranum ini.
''Makanlah ...'' ujar dia.
''Terima kasih, Ran ...'' tanggapku.
''Aku dengar kamu di-skors selama 3 hari kemarin,'' kata Randy.
''Iya ...'' Aku mengangguk pelan.
''Aku sudah tahu semuanya ... Rudy sudah cerita padaku."
''Memangnya apa yang diceritakan Rudy padamu, Ran?''
''Kamu ternyata diperkosa oleh Pak Armando, sungguh ... aku sangat prihatin mendengar ini ... ingin rasanya aku menghajar Pak Armando ... tapi dia sudah pergi jauh. Guru itu sudah kabur ke Semarang.''
''Aku sudah menghajar dia dengan tanganku sendiri, Ran ...''
''Oh, ya? Benarkah? Bagus itu!'' Randy mengeryitkan keningnya seolah tak yakin dengan ucapanku.
''Iya ... dan aku tidak mau membicarakan hal ini lagi, aku ingin melupakannya.''
''Maafkan aku, Poo ... aku tidak bisa menjadi malaikat pelindungmu dengan baik.''
''Tidak apa-apa ... Ada lagi yang Rudy ceritakan kepadamu, Ran?''
''Mmmm ... sepertinya tidak ada.'' Randy menggeleng, ''cuma itu saja,'' lanjutnya.
''Dia tidak mengatakan sesuatu kepadamu?'' tanyaku.
''Mengatakan apa, Poo?'' Randy malah bertanya balik, lalu cowok berkulit putih ini duduk di sampingku, dia sangat antusias untuk mendengarkan pembeberanku, ''apakah ada sesuatu yang belum aku ketahui?'' imbuhnya.
''Rudy itu ... menyukai kamu, Ran ...'' jelasku tegas.
"Suka bagaimana maksudnya?"
"Cinta ... dia mencintai kamu."
"Hehehe ... tidak mungkin!"
"Rudy ... Gay!"
''Apa!'' Randy sangat terkejut. Air mukanya langsung berubah.
''Iya ... dan dia tidak ingin aku dekat dengan kamu ... dia cemburu bila aku bersama kamu ... jadi, aku mohon pada kamu, Ran ... jangan dekatin aku lagi.''
''Kenapa, Poo?''
''Aku tidak ingin memperkeruh keadaan. Anggap saja persahabatan kita sudah berakhir.''
''Poo ... jadi kamu tidak ingin bersahabat denganku lagi?''
''Bukan begitu maksudku, Ran ... tapi ...''
''Tapi apa, Poo? Kamu bilang anggap saja persahabatan kita sudah berakhir ... itu berarti bahwa kamu sudah tidak mau berteman dengan aku lagi ... iya, 'kan?'' Tetiba suara Randy jadi naik beberapa oktaf.
''Maafkan aku, Ran ... sebenarnya bukan itu yang aku inginkan ... tapi aku mohon mengertilah.''
''Aku tidak mengerti, Poo ... sumpah, aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang kamu inginkan!''
''Aku ingin kita tidak usah berkomunikasi lagi.''
''Apa!'' Randy menggebrak meja. Sorot matanya mendadak tajam. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Kepalanya seolah mengepul seperti terbakar. Dia benar-benar sedang marah. Aku jadi takut. Takut akan benar-benar kehilangan dia. Karena jujur saja aku tidak ingin berjauhan dengan Randy.
''Randy ... maafkan aku.'' Aku mencoba memegang jari tangannya, tapi dia mengelak dan menyingkirkan tanganku jauh-jauh.
''Oke ... jika itu yang kamu inginkan, Poo ... aku terima! Tapi ingat ... aku tidak akan pernah memutuskan tali silaturahmi di antara kita ... ingat itu!'' Randy bangkit dari tempat duduknya lalu tanpa memandangku terlebih dahulu dia langsung ngacir meninggalkan aku.
''Maafkan aku, Randy!'' ucapku dalam hati sembari menatap kepergiannya yang terlihat membawa makna sebuah kekecewaan.
Selang beberapa saat setelah kepergian Randy, muncullah rombongan Akim Cs. Mereka datang dengan wajah yang riang. Kecuali si Akim, ada ekspresi ketidaksukaan yang tersirat di raut wajah cowok berkulit sawo matang itu. Dia tergesa-gesa menghampiri aku yang sedang perlahan-lahan menikmati bakwan pemberian Randy.
''Poo ... barusan aku lihat si Randy datang ke kelas, apa dia habis menemuimu?'' kata Akim langsung bertanya di depanku.
''Iya ...'' jawabku singkat.
''Apa dia meyakitimu?'' tanya dia lagi.
''Tidak!''
''Syukurlah kalau begitu ... karena aku perhatikan ekspresi Randy saat keluar dari kelas seperti orang yang sedang marah ... apakah dia sudah tahu kalau kita berdua sebenarnya sudah jadian?''
''Plakk!'' Satu gebukan tanganku mendarat di lengannya.
''Aduhhh ... sakit, Beib!'' rintih Akim.
''Itu hukuman buat orang yang bicaranya ngelantur seperti kamu!''
''Emang kenapa sih, Poo ... kamu tidak mau ya, kalau kita jadian?''
''Tidak!''
''Ya, sudah kalau begitu ... aku mau jadian sama Awan atau Yopi saja ... semoga mereka menerimaku.''
''Terserah!''
Aduh .... Akim, di saat seperti ini, dia masih sempat-sempatnya ngajakin aku bercanda. Walaupun dia menyebalkan tapi sebenarnya dia itu teman yang asik. Apalagi saat mendengar dia bilang, ''semoga mereka menerimaku,'' dengan ekspresi wajah memelas dan tangan mengadah ke atas seperti orang yang lagi berdoa. Sumpah itu konyol sekali. Aku ingin tertawa lepas. Tapi aku tahan. Takut ketahuan. Aku harus selalu jaim di depan dia.