webnovel

Bertengkar

"Ssstttt ... Sudah, sudah jangan bertengkar! Kamu apa-apaan sih Yurika, tidak mungkin Tristan suka dengan Vania." Ucap Ibu Rani.

"Iya, kamu itu berpikir apa sih, Ma? Aku itu cuma tidak ingin kamu asal menuduh orang! Hanya itu maksud aku." Ucap Tristan. Namun tetap saja Yurika benci pada Tristan yang tidak ada di pihaknya.

Vania sedang bersalaman dengan teman-temannya. Karena acara pertemuan hari ini sudah selesai.

"Van, pulang sama siapa?" Tanya Wildan sambil memandang Vania.

"Sama Vika. Jawab Vania lalu ia memalingkan wajahnya.

"Oh."

Jika memang Vania tidak ada yang mengantar pulang, Wildan sangat bersedia untuk mengantarnya, walaupun Vania masih saja sinis kepadanya.

"Da ... Da ... Da ... Arzan. Nanti kapan-kapan kita ketemu lagi ya." Ucap Wildan sambil melambaikan tangannya.

"Iya, Om."

Vania dan Vika pun pergi, mereka melangkahkan kakinya menuju ke tempat parkir. Setelah itu, Vania, Arzan dan Vika pun masuk ke dalam mobil.

"Si Wildan, udah deket aja sama Arzan." Ucap Vika.

"Iya. Aku takut!"

Vika memandang Vania, sambil memicingkan kedua matanya, "takut kenapa?"

"Iya takut aja sama Wildan, takut dia masih seperti yang dulu."

"Ha ... Ha ... Ha ... Van, dulu itu Wildan masih kecil jadi masih suka membully. Tapi sekarang, sudah dua puluh lima tahun, nggak mungkin Wildan masih bersikap seperti yang dulu." Tutur Vika, lalu ia menyalakan mesin kendaraan roda empatnya dan mulai melajukannya.

"Nggak tau deh, aku masih trauma aja sama laki-laki itu."

"Katanya tadi, dia udah minta maaf kan sama kamu, atas perbuatannya yang dulu-dulu?" Tanya Vika.

"Udah, tapi aku hanya sebatas memaafkan tapi sulit untuk melupakan." Ujar Vania.

"Tapi kan udah lama banget Van, masa kamu masih belum bisa lupa sama semua perlakuan Wildan?"

"Belum."

Vika menghela nafas, "yaudah nggak apa-apa, toh kamu dan dia belum tentu akan bertemu lagi. Tadi karena memang acaranya di Resto miliknya aja, makanya dia ada."

"Lagian kamu kenapa nggak bilang sih Vik, kalau acara ini di Resto milik Wildan?"

"Aku juga nggak tau. Karena dari awal, hanya di ajak untuk bertemu aja." Jelas Vika.

"Oh, aku pikir, dari awal kamu udah tau."

"Belum."

Vika memang tidak tahu kalau acara bertemunya itu di Resto milik Wildan, karena tak ada yang memberitahukannya.

"Memangnya, kalau dari awal kamu sudah tau akan di ajak ke Resto milik Wildan, kamu nggak mau datang?" Tanya Vika lagi.

Vania menggelengkan kepalanya, "nggak, aku nggak akan mau datang."

"Ya mungkin ini memang rencana Allah untuk mempertemukan kamu dengan Wildan, agar dia meminta maaf pada kamu."

Jika ada pertemuan lagi, Vania akan memastikan terlebih dahulu, apakah ada Wildan diantaranya. Ia tidak ingin bertemu dengan laki-laki itu lagi.

"Mama, Om yang tadi namanya siapa?" Tanya Arzan.

"Yang mana?" Vania berpura-pura tidak tahu.

"Yang tadi ajak aku sholat, lalu memberikan ice cream dan saat mau pulang melambaikan tangan sama aku."

"Itu Om, Wildan. Sayang." Jawab Vika."

Untuk menyebut namanya saja berat sekali bagi Vania, apalagi untuk bertemu kembali dengan orangnya. Sungguh Vania tidak ingin.

"Memangnya kenapa, Arzan?" Tanya Vika.

"Omnya baik, Tante."

"Tuh Van dengar kata anak kamu, Wildan baik. Sekarang, dia memang sudah berubah."

Walaupun Wildan baik pada Arzan, tetap saja Vania masih trauma. Dalam pikiran Vania, Wildan tetap laki-laki yang kejam.

Vania mengambil ponsel yang berada dalam tasnya, lalu ia melihat layar ponsel tersebut. Ada pesan dari Tristan, Vania pun membaca pesan tersebut, lalu membalasnya.

[Iya Mas, tadi aku habis ketemuan sama teman-teman di Mall]

Tristan sedang membantu sang istri mengepel lantai. Saat mendengar ponselnya bergetar, ia langsung saja meraih ponselnya yang berada di atas meja itu, ia membuka pesan dari Vania.

"Pa, lanjutin dong ngepelnya!" Titah Yurika.

"Iya, sebentar."

"Chat sama siapa sih?"

"Teman."

Tristan membalas pesan dari Vania.

[Kamu sekarang dimana? Sudah di jalan pulang?]

Vania masih menggenggam ponselnya, ia langsung membaca pesan dari Tristan tersebut, lalu membalasnya.

[Sudah pulang, ini masih ada di jalan]

[Oke Van, hati-hati ya]

[Iya, Mas]

Vania masih teringat firnah Yurika kepadanya yang teramat sakit. Besok ia sudah tidak bekerja di rumah Yurika lagi, lantas kemana Vania harus mencari pekerjaan?

"Vik, aku mau cerita deh sama kamu."

"Apa? Cerita aja!"

"Jadi, aku kan baru beberapa minggu bekerja di rumah Kakak iparku, lalu tadi dia kehilangan perhiasan, aku dituduh telah mengambil perhiasan itu, padahal aku nggak melakukan itu. Aku nggak tau sama sekali tentang perhiasan itu, lalu akhirnya aku di berhentikan. Aku udah nggak bisa bekerja di rumahnya lagi."

"Ya Allah, ada-ada aja sih."

"Iya, iparku itu memang agak benci denganku. Aku merasa difitnah, sakit sekali hatiku."

"Sabar ya Van. Aku yakin kamu bisa melalui semua ini. Insya Allah akan ada pelangi setelah hujan besar yang melanda."

"Aamiin, semoga aja."

"Kalau soal pekerjaan, maaf aku belum bisa bantu." Ucap Vika.

"Iya Vik, aku ngerti kok."

"Semoga aja ada pekerjaan lain untuk kamu nanti."

"Aamiin ... "

Vania bercerita bukannya ingin agar orang lain berbelas kasih terhadapnya, tapi ia hanya ingin ada orang yang mendengarkan ketika ia mendapatkan musibah seperti ini.

Vania baru ingat, ia harus membayar hutang almarhum suaminya ke salah satu bank, karena sebentar lagi sudah tanggal jatuh tempo. Tiba-tiba saja kepala Vania merasa pusing, ia tak tahu dari mana harus mendapatkan uang tersebut. Perhiasan miliknya sudah terjual, kini tidak ada lagi simpanan yang ia miliki. Hanya Tristan yang bisa membantunya.

Tristan masih meneruskan pekerjaannya mengepel lantai, saat lantainya masih basah, Liora yang sedang bermain, melewatinya lalu tiba-tiba ia terjatuh.

"Astaghfirullah ... " Ucap Tristan, lalu ia langsung menolong putri kecilnya itu.

"Kenapa sih?" Tanya Yurika.

"Terpeleset lantai."

Tristan menggendong Liora sambil berusaha mendiamkan putri kecilnya yang berusia tiga tahun itu.

"Ya Allah, lagian Papa ngepelnya basah banget sih! Ngepel lantai tuh nggak seperti ini, Pa!" Seru Yurika.

"Kasihan kan Liora sampai terjatuh, gara-gara kamu, Pa!" Yurika masih saja berceloteh menyalahkan Tristan.

"Harusnya yang mengerjakan pekerjaan ini tuh Mama. Bukannya Papa!" Tristan tak mau disalahkan.

"Apa salahnya sih kalau Papa bantu pekerjaan rumah?" Yurika mulai berbicara dengan intonasi yang meninggi.

"Sudah benar Vania bekerja disini, tapi malah Mama berhentikan!"

"Apa-apaan sih kamu, Pa? Vania lagi, Vania lagi!"

"Kalau memang kamu nggak mau mengerjakan pekerjaan rumah, kan memang harus ada pembantu yang mengerjakan, bukannya kamu malah menyuruh aku!"

Tristan dan Yurika masih saja bertengkar, Tristan menginginkan Vania tetap bekerja di rumahnya, agar dirinya tidak dilibatkan dengan pekerjaan rumah tangga, karena pekerjaan di kantornya saja sudah membuatnya pusing, apalagi jika dibebankan dengan pekerjaan rumah juga, Tristan tidak sanggup. Namun Yurika sudah tidak ingin mempekerjakan Vania lagi.