Pagi yang cerah dengan suasana yang indah diperkampungan. Hawa dingin yang menusuk tulang, menyuruh siapa saja untuk kembali dalam dekapan selimut yang hangat. Terdengar pula ayam yang mulai berkokok bersautan dengan suara ibu-ibu yang membangunkan anak dengan caranya masing-masing. Hal yang sangat jarang terlihat dan bahkan hampir tidak mungkin melihat penjual sarapan sepi. Dengan berbagai alasan, ibu-ibu yang datang terlambat meminta untuk didahulukan. Seperti sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Tidak jarang pula seorang anak yang disuruh ibunya membeli sarapan pulang dengan tangan kosong karena kehabisan, bukan karena datang terlambat atau si penjual membuat makanan terbatas. Namun karena biasanya seorang anak hanya diam dan menunggu ditanya 'mau beli apa neng?' dan terkalahkan oleh 'yah, udah habis neng, enengnya dari tadi diem aja'. Hal itu lah yang terkadang membuat pertengkaran dipagi hari. Semuanya karena sang ayah yang malas dan menunggu disajikan makanan, seorang ibu yang repot mengurus anak yang masih kecil dan menyuruh anak sulung yang 'pendiam'.
Seperti biasa, Ana dan Alma berangkat skolah menggunakan angkot dan turun didepan sekolah Alma, lalu berjalan sedikit menuju sekolahnya. Untung saja Ana tidak terlambat masuk gerbang karena upacara akan segera dimulai, namun betapa terkejutnya Ana saat sadar bahwa ia tidak membawa topi. Habislah riwayatnya hari ini. Ia akan dijemur dilapangan sambil hormat kepada bendera selama jam pelajaran masih berlangsung. Mungkin Ana tidak akan malu jika ia tidak tahu keberadaan Gaska, namun berbeda halnya dengan sekarang. Apa kata Gaska nanti setelah melihat Ana yang dikenal melanggar peraturan.
"Nih, ada topi Sekha. Pake aja" kata Yasha menyadarkan lamunan Ana.
"Loh, trus Sekha kemana?" tanya Ana yang merasa sedikit lega.
"Nggak berangkat dia, di chat aja nggak bales" jawab Yasha.
Mereka pun memutuskan untuk langsung menuju lapangan dan mengikuti upacara. Ana merasa lega, karena dirinya tidak akan merasa malu didepan Gaska. Entah apa yang sedang Ana rasakan hingga ia tidak dapat berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran. Berhari-hari Ana seperti orang yang sedang dimabuk asmara, ia jadi sering tersenyum sendiri bahkan merasa gemas sendiri. Yasha dan Raina yang terkadang melihat tingkah Ana pun hanya terkekeh geli. Ana yang terkenal pendiam dan paling pintar jaga image berubah menjadi anak yang sering menggombal dan bertingkah tidak jelas. Bagaimana tidak, ketika sedang membahas mata pelajaran olahraga, Rania dan Yasha merasa kagum dengan gurunya yang berperawakan atletis dan putih seperti orang bule. Tiba-tiba saja Ana menyahut,
"Iya, manis banget kan? Hitam manis" kata Ana sambil tersenyum membayangkan sesuatu.
Raina dan Yasha yang melihat tingkah temannya semakin menjadi-jadi akhirnya meninggalkan Ana dikantin. Raina dan Yasha berlari meninggalkan Ana, Ana yang melihat pun ikut berlari mengejar kedua temannya. Namun nahas, Ana malah menabrak Gaska yang sedang berjalan menuju kantin, alhasil rok yang dipakai Ana pun sobek tepat diatas lututnya. Jika Ana berdiri, ia akan memperlihatkan belahan paha putihnya kepada setiap murid yang lewat. Dengan sigap Gaska melepas jaket yang dipakai dan menutupi bagian belakang Ana, betapa tidak melelehnya hati Ana diperlakukan seperti itu. Raina dan Yasha yang melihat temannya jatuh pun kembali menuju Ana dengan wajah yang khawatir, namun tanggapan Ana malah membuat kedua temannya merasa geli dan serasa ingin memuntahkan makanan yang dimakan tadi.
"Ana! Kamu nggak papa?" tanya Yasha khawatir.
"Iya, nggak papa kok. Manis banget sih hih" jawab Ana sembari memperhatikan Gaska yang berjalan meninggalkan mereka bertiga.
"Ah dasar, dikhawatirin malah nyeleneh. Tinggal aja yuk, Sha" kata Raina sembari menggandeng Yasha meninggalkan Ana.
"Iiiih, tungguiiiiin" kata Ana yang berjalan menyusul temannya.
Mereka pun menuju kelas dan mengikuti pelajaran hingga jam pelajaran selesai. Hingga akhirnya mereka pulang ke rumah masing-masing. Raina yang langsung sibuk dengan beberapa game kesukaannya dirumah, mengunci diri dan menghabiskan waktunya dengan baermain game. Sesekali Mba Ipah masuk kekamarnya hanya untuk mengantar camilan dan makan malam saja. Karena setelah itu, Mba Ipah akan pulang kerumahnya. Berbeda hal dengan Ana yang harus memasak beberapa makanan yang akan ia jual di angkringan malam nanti, tentunya dengan adik perempuannya yang lucu dan pintar membantu Ana.
Semuanya berjalan seperti biasanya, berangkat sekolah, mengikuti pelajaran dan pulang kerumah. Ana berjualan dan Raina menghabiskan waktu bermain game dirumah. Semuanya berjalan seperti biasa hingga Ana tersadar bahwa salah satu temannya tidak berngkat sekolah hampir 3 hari tanpa keterangan apapun. Surat ijin pun tidak ada atas nama Sekha. Rasa khawatir Ana bertambah ketika mendengar cerita Yasha bahwa Sekha tinggal dikost yang tidak jauh dari sekolah, rumahnya yang asli berada diatas gunung sana. Dan ini baru pertama kalinya Sekha tidak berangkat selama ini dan tanpa kabar apapun. Ana mengusulkan untuk datang ke kost Sekha, Yasha yang tahu tempat kost Sekha pun mengiyakan hal itu. Mereka bersepakat ke kost Sekha setelah jam pelajaran telah selesai semuanya. Pukul 15.00 WIB, pelajaran telah selesai, Ana dan Yasha buru-buru menuju kost Sekha yang berjarak 1 kilometer dari sekolah. Tidak lupa pula meminta bantuan Raina untuk menjemput Alma disekolahnya. Karena dia harus pergi dengan Yasha. Ana tidak mengatakan untuk pergi ke kost Sekha, karena takut Raina ikut khawatir dengan keadaan Sekha. Ana juga berpesan untuk sesekali melihat Alma yang pastinya sendirian dirumah. Selama hampir 20 menit berjalan kaki, tibalah Yasha dan Ana disebuah lorong kecil yang diampit oleh 2 rumah berukuran 1x4 meter.
"Ini kostnya, iya. Aku inget, ini kost Sekha" kata Yasha dengan percaya diri.
"Yang bener kamu, Sha. Kita udah jauh-jauh kesini lho, jangan bilang kamu lupa?" tanya Ana khawatir.
"Bener kok, ini kostnya. Coba deh ketok aja" jawab Yasha.
"Tokk tok tookkk".
"Assalamualaikum, Sekha".
"Tokk took tookkk".
"Sekha!" kata Yasha mengeraskan suara.
Dengan perasaan yang bertambah khawatir, Yasha terus mengetuk pintu kost Sekha dan Ana mengintip dibalik kaca depan kost Sekha. Namun, semuanya nihil karena kost an sangat sepi. Hingga dengan terpaksa Yasha pergi ke salah satu rumah yang ternyata rumah pemilik kost, Yasha membawa kunci cadangan yang disimpan pemilik sebagai antisipasi bila kunci yang dibawa Sekha hilang. Betapa terkejutnya Ana dan Yasha saat membuka pintu, dari depan pintu itulah Ana dan Yasha melihat Sekha yang terkapar didepan kamar mandi dengan air kran yang masih menyala.
"Astaga, Sekha!" kata Yasha yang kemudian berlari mengangkat sebagian tubuh Sekha.
Ana pun langsung mematikan kran dan ikut membantu Yasha mengangkat tubuh Sekha, lalu meletakkannya diatas kasur lantai milik Sekha.
"Sekha bangun, Kha" kata Yasha membangunkan Sekha dengan minyak kayu putih yang ia bawa.
"Aku telpon ambulan ya?".
Ana pun langsung menelpon ambulance. Tak lama kemudian, terdengar bunyi sirine ambulance didepan lorong kost Sekha. Tanpa pikir panjang, Ana langsung menggendong tubuh Sekha yang sudah terasa dingin. Ana teringat saat dirinya harus menggendong ibunya dahulu, air matanya terus mengalir dengan terus menyadarkan Sekha.
"Bertahanlah Sekha, ingat keluarga mu. Bertahan Sekha" gerutu Ana sembari berjalan cepat menggendong Sekha menuju ambulan.
Mereka pun pergi menggunakan ambulance. Sesampainya dirumah sakit, Sekha langsung dibawa ke Unit Gawat Darurat, karena keadaannya yang sudah tidak sadarkan diri dan kehilangan banyak cairan. Ana dan Yasha yang mendampingi Sekha dihadang oleh perawat yang berurusan dengan administrasi.
"Keluarga pasien? Administrasi dulu ya kak" kata perawat kepada Yasha dan Ana.
"Dia teman saya" kata Yasha menjawab pertanyaan perawat.
"Ini biaya yang harus di selesaikan dulu ya kak" kata perawat menunjukkan bill rumah sakit kepada Yasha dan Ana.
Yasha yang saat itu tidak membawa uang merasa kebingungan. Hingga akhirnya Ana menyerahkan beberapa lembar uang ratusan yang sebelumnya ia ikat dengan karet gelang. Ya, uang itu ialah uang modal angkringan yang harus Ana gunakan untuk berjualan. Namun, Ana lebih mengutamakan sahabatnya. Raina mungkin akan marah jika tahu hal ini, tapi Ana hanya takut akan kehilangan orang yang dikenalnya. Sekha pun ditangani dokter dan sudah dipindah keruang rawat, Yasha yang melihat Ana kelelahan menyuruhnya untuk pulang saja, biar Yasha yang berjaga dirumah sakit hingga Sekha sadar, Yasha berjanji akan mengabari Ana jika Sekha sudah sadar. Ana yang memang sudah merasa lelah memutuskan pulang dan beristirahat dirumah, karena hari sudah gelap dan adiknya sudah tertidur dikamar. Namun, Ana terpaksa bangun kembali dan mulai memasak masakan yang akan dijualnya diangkringan. Beberapa menu tidak Ana buat karena uang yang untuk membeli bahan sudah Ana gunakan untuk membayar biaya rumah sakit Sekha. Raina pun datang membantu Ana, Raina terlihat kebingungan melihat menu angkringan yang berkurang hampir setengahnya.
"Udah pulang toh kamu? Nih makan dulu, mba ku yang masakin tadi" tanya Raina sembari memberikan bungkusan berisi nasi dengan lauk pauk yang dimasak oleh Mba Ipah.
"Iya nih, baru sampe. Mau tidur, tapi udah sore. Sekalian aja masak buat jualan ntar. Btw makasih ya" kata Ana menjawab pertanyaan Raina sembari menerima bungkusan itu.
"Kok nasinya cuma nasi teri? Nggak bikin nasi ayam sama nasi cumi?" tanya Raina.
"Trus ini, sosis bakarnya nggak ada yang besar?" timpal Raina lagi.
Ana yang bingung akan menjawab apa pun hanya menjawab 'iya' tanpa memberikan alasan sepatah katapun. Suasana menjadi canggung, Ana masih melanjutkan memasak beberapa makanan dan Raina pun membantu Ana dengan menusuk telur puyuh menjadi sate. Semuanya diam seribu bahasa, hingga akhirnya Alma bangun dan menghampiri mereka didapur. Raina dan Ana secara bersamaan merasa terjekut dan berkata,
"Dahi kamu kenapa, Alma?" tanya Raina dan Ana bersamaan.
"Tadi jatuh disekolah waktu pelajaran olahraga" jawab Alma dengan polos.
"Sakit nggak?" tanya Raina khawatir.
"Ya sakit lah, pake ditanya lagi. Alma sekarang mandi ya, nanti Alma dirumah aja sama Kak Raina. Biar Kak Ana yang jualan".
"Ya maap sih. Gini aja, Na. Aku yang jualan, kamu dirumah jagain Alma" kata Raina.
"Emang kamu bisa?" tanya Ana.
"Dih, ilmu nyata kok. Ilmu hitam aja bisa aku pelajarin, masak ini yang keliatan aku nggak bisa? Hahahahaha" kata Raina sembari tertawa terbahak-bahak.
Alma dan Ana yang mendengar pun ikut tertawa. Jadilah satu kesepakatan bahwa hari ini Raina yang berjualan di angkringan dan Ana menemani Alma dirumah. setelah semuanya matang. Ana dan Raina bersama-sama mendorong gerobak angkringan yang dititipkan dibelakang pendopo alun-alun menuju tempat mereka biasa berjualan. Setelahnya, Ana dan Raina kembali kerumah Ana untuk mengambil beberapa makanan yang sudah disipakan untuk berjualan. Dengan sedikit khawatir, Ana meninggalkan Raina sendirian berjualan di alun-alun hingga tengah malam. Ana kembali lagi setelah jam menunjukkan pukul 00.00 WIB untuk membantu Raina membereskan jualan dan kembali mendorong gerobak ke belakang pendopo alun-alun. Semuanya berjalan lancar seperti biasa, hanya saja Raina masih bertanya-tanya. Mengapa menu jualan hari ini berkurang, apakah Ana menutup-nutupi masalah yang sedang dihadapinya. Pikiran Raina kacau hingga ia tertidur diranjangnya yang hangat.
Hari ini seperti biasa, semuanya melakukan aktivitas dipagi hari, seperti berangkat kerja atau sekolah. Ada juga yang masih bergelut dengan selimutnya, seperti halnya Ana. Ia masih tertidur pulas karena semalaman mengurus Alma yang demam, mungkin karena luka jahitan didahinya. Ditempat lain, Raina berangkat sekolah menggunakan mobilnya. Baru saja Raina sampai dilantai dua sekolahnya, ia sudah dihadang oleh Yasha yang berdiri diujung tangga. Raina tahu apa yang akan ditanyakan Yasha karena hari ini Ana tidak berngkat sekolah. Sebelumnya, Ana sudah mengirim pesan kepada Raina untuk dibuatkan surat ijin dirinya dan Alma. Ana juga meminta tolong Raina untuk membelikan kompres pereda demam diapotek sebelum berangkat sekolah tadi.
"Iya, Ana nggak berangkat. Ini suratnya, aku titip ya. Adeknya sakit" kata Raina seakana menjadi cenayang dan membaca pikiran Yasha.
"Eh iya, sekalian deh. Aku titip ini ya buat Ana, bilang aja uang iuran aku buat bayar rumah sakit Sekha kemarin. Makasih ya sebelumnya, aku masuk ya. Udah bel soalnya" kata Yasha yang membuat Raina membeku dibuatnya.
Raina kembali teringat dengan Ana yang kemarin bilang mau pergi dengan Yasha, ke rumah sakit rupanya anak itu. Lalu, Raina juga teringat dengan menu angkringan yang berkurang.
"Mungkin ini alasan anak itu, tapi kenapa nggak bilang aja sih?" tanya Raina dalam hati.
"Raina! Masuk weh! Ini ana kenapa ngelamun lagi" kata seorang teman sekelas Raina menghancurkan lamunannya.
Jam pelajaran pun telah usai, Raina segera tancap gas menuju rumah Ana. Terlihat Alma sedang duduk diteras samping rumah Ana. Raina langsung turun dari mobilnya dan berjalan menuju Alma. Dari jauh, terlihat Alma duduk menghadap tanah dengan terus memuntahkan makanannya. Raina yang melihat itu pun mempercepat langkahnya hinggga setengah berlari.
"Alma! Alma! Astaga, Alma" kata Raina sembari berlari menuju Alma.
"Alma, kenapa?" tanya Raina saat sudah berada didepan Alma.
Segera Raina ambil air minum disebelah Alma dan segera menyuruh Alma meminumnya. Raina pun masuk kerumah Ana dengan mata yang terus mencari Ana disudut rumah.
"An, Ana. Dimana kamu?" tanya Raina.
"Bentar, aku dikamar mandi. Lagi nyuci bekas muntahan Alma" jawab Ana dengan sedikit berteriak.
Raina pun menghampiri Ana dan mengajak Ana membawa Alma kerumah sakit.
"Tapii." Jawab Ana bingung.
"Udah, buruan ganti baju. Bawa baju secukupnya" kata Raina.
Mereka pun pergi ke rumah sakit keluarga Raina. Alma yang sudah kehabisan cairan pun segera diinfus dan dinyatakan untuk rawat inap. Ana yang mendengar diagnosis dokter pun kebingungan, karena dia tidak membawa cukup uang untuk pemeriksaan Alma yang cukup rumit akibat benturan dikepalanya. Alma harus melakukan CT-Scan atau bahkan MRI karena takut terjadi penyumbatan diotak Alma.
"Udah dok, lakukan saja yang menurut dokter perlu lakukan untuk Alma".
"Ra, gila kamu ya? Aku uang dari mana? Aku nggak mau ya kamu terus teruan bantu aku" kata Ana sedikit berbisik
"Sini, ikut aku" kata Raina menggandeng tangan Ana menuju koridor rumah sakit yang cukup sepi sore itu.
"Aku udah tau semuanya, Na. Kamu pake uang jualan buat bayar rumah sakit Sekha kan?" tanya Raina
"Iya, tapi kan..".
"Udah, nggak usah banyak alesan. Emangnya kenapa sih kalo jujur aja ke aku? Aku udah anggep kamu saudara aku loh, Na. aku juga nggak bakal marah kalo kamu ngomong yang sebenernya. Aku nggak suka kalo kamu nutup-nutupi masalah kamu ke aku. Itu berarti kamu cuma anggep aku sebatas teman. Akunya aja yang kepedean, anggep saudara ke orang yang anggep aku sebatas temen. Aku kecewa sama kamu, Na. ini, Yasha titip ini buat kamu" kata Raina sembari memberikan amplop coklat dan pergi meninggalkan Ana.
"Bukan gitu maksud aku, Ra. Raina, tunggu" kata Ana mencoba mengejar Raina yang pergi meninggalkan Ana.
Ana yang hendak mengejar Raina malah dihentikan oleh seorang suster yang mencari 'kelurga Alma' untuk masuk membantu Alma melakukan beberapa rangkaian pemeriksaan. Dengan berat hati, Ana masuk keruangan Alma dan mulai mengikuti beberapa pemeriksaan.
Setelah kira-kira 2 jam lamanya pemeriksaan pun selesai. Alma langsung istirahat dan Ana yang belum mengantuk memutuskan pergi ke taman rumah sakit untuk mencari udara segar dan mencoba menghubungi Raina dengan hpnya. Sedang menunggu Raina menjawab panggilannya, Ana melihat seorang gadis duduk dikursi taman dengan memunggunginya. Ana yakin bahwa gadis itu ialah Raina, ia pun berjalan menuju gadis itu dengan terus menelpon Raina.
"Kalo ditelpon itu diangkat, bukan diliatin aja" kata Ana kepada Raina yang duduk dikursi taman.
"Kok kamu disini? Alma gimana?" tanya Raina khawatir.
"Udah selesai semua kok, Alma tidur diruangannya. Aku mau jelasin sesuatu, biar kita nggak ada salah paham lagi" jelas Ana.
"Aku nggak mau kamu kecewa sama aku, aku juga nggak mau dianggep seenaknya sendiri pake uang jualan. Tapi mau gimana lagi? Yasha nggak bawa uang, Sekha udah dingin semua badannya" kata Ana menjelaskan.
"Tapi kan tinggal bilang aja, apa susahnya sih? Kalo gini kan aku malah kecewa".
"Ya, oke. Aku akuin aku salah, tapi aku nggak mau kaya gini. Kamu terus-terusan bantuin aku. Kamu pikir enak? Enggak, aku nggak mau terus dikasihani".
"Lagian siapa sih yang kasihani kamu, kamu nggak mikir apa? Kalo ada apa-apa sama Alma?" kata Raina sedikit keras.
Ana yang merasa bersalah pun hanya terdiam sembari menganggukkan kepala.
"Aku bantu kamu, bantu Alma bukan karena aku kasihan ke kalian. Aku udah anggep kalian saudara aku. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kalian, aku nggak mau kehilangan keluarga aku. Maaf kalo emang aku berlebihan, tapi aku cuma bisa bantu ini buat kalian" jelas Raina kepada Ana.
Mereka pun saling mengutarakan pendapat mereka masing-masing tanpa pertengkaran. Mereka selesaikan masalah mereka malam itu juga. Dengan pikiran yang tenang dan hati yang saling terbuka menerima masukan dan permintaan maaf. Mereka jadikan ini semua pelajaran untuk saling terbuka dan membuat mereka menjadi semakin memahami satu sama lain, Raina yang sempat marah pun akhirnya meminta maaf kepada Ana, agar tidak ada ganjalan dihati mereka masing-masing.