webnovel

Calon Mantu

Mila mendengus kesal ketika keluar dari toilet. Rasa sakit di pinggangnya masih belum hilang sempurna akibat cubitan maut tangan Vanesa yang sangat terampil.

"Idih, manyun terus kayak ikan lohan," ledek Vanesa saat melihat Mila yang masih memanyunkan bibirnya.

"Bodo!!" sungut Mila. Dia menghentakkan kakinya sebal lalu mempercepat langkahnya meninggalkan Vanesa yang masih di belakangnya.

"Hey. Tunggu, La!!" pekik Vanesa ketika Mila meninggalkannya. Kemudian dia berlari kecil untuk mengejar Mila dan merangkul pundaknya.

"Hupp!!" Vanesa berhasil menangkap pundak Mila. "Kamu kenapa ninggalin aku sih, La? Sudah, jangan marah lagi!!" bujuk Vanesa.

"Habisnya kamu nyebelin, Van!! Aku kesel tau, nggak? Sakit pinggang aku." Walau ini bukan pertama kali Vanesa mencubit Mila, tapi tetap saja rasanya masih sama, "Menyakitkan."

Vanesa tersenyum. "Makanya kalau punya mulut itu di jaga. Kenapa juga pak Ferdi harus dibawa-bawa. Gak baik lho cari bahan ghibah. Nanti berdosa," ucap Vanesa bijak.

Tapi itu malah membuat Mila tertawa. "Sejak kapan kamu tobat berghibah, Van? Itu adalah hal terindah yang pernah ada tau tidak? Dan itu adalah hobi alami yang di miliki seorang wanita seperti kita, kamu mengerti, Vanesa?" ejek Mila.

"Sayangnya aku tidak tau, tuh!!" Mereka terus saja berdebat seraya melangkah menuju ke ruang tunggu. Setelah sampai di tempat dua orang parubaya itu, mereka berhenti dan saling memberi kode.

"Kamu duluan gih yang ngomong, aku tidak tega ganggu mereka," bisik Mila. Belum juga Vanesa menjawab, Mila segera mendorong Vanesa dan membuat mereka terkejut karena melihat tiba-tiba Vanesa datang dan hampir jatuh.

"Vanesa, awas jatuh. Kamu tidak apa-apakan?" tanya Anggi yang melihat Vanesa hampir jatuh.

Vanesa tersenyum kagok. Di dalam hati dia merutuki kebodohan Mila yang tega melemparnya ke dalam suasana canggung seperti ini.

"Emm!! Maaf, Tante. Kami harus segera pergi. Karena ada hal yang harus kami kerjakan. Dan kami akan mulai bekerja kembali setelah dari sini." ucap Vanesa dengan senyum yang di paksakan.

"Secepat itukah? Padahal Tante ingin mengenalkanmu dengan Ruben, Vanesa."

"Ah, tidak usah, Tante. Yang penting mas Rubennya cepat sembuh dan kembali sehat seperti sedia kala."

Anggi kembali memeluk Vanesa. "Terima kasih, Nak. Terima kasih!" ucapnya dengan lirih. Sudah beribu kali dia mengucapkan kata keramat itu pada Vanesa. Jika bukan karena Vanesa, entah bagaimana nasib anaknya kini, pikirnya.

Ucapan terima kasih yang berulang membuat Vanesa tak nyaman. "Tante, sudah menjadi kewajiban saya untuk menolong mas Ruben. Karena kita sebagai manusia harus saling tolong menolong kepada sesama, tak terkecuali mas Ruben. Jadi Tante jangan berterima kasih kepada saya, tapi berterima kasihlah pada Tuhan yang telah menolong mas Ruben melalui saya," ucap Vanesa dengan lembut.

Tangan Vanesa mengusap pundak Anggi dengan lembut, agar ikhlas menerima cobaan yang sedang menimpa keluarganya.

Anggi mengurai pelukannya, tangannya terangkat untuk mengapit pipi Vanesa dengan kedua tangannya. Matanya menatap lekat pada pupil hitam Vanesa yang berhasil membuatnya menyukai gadis manis itu.

"Sungguh mulia hatimu, Van." Ucap Anggi. Matanya kembali berair setelah mengucap itu pada Vanesa.

Vanesa menggenggam kedua tangan itu yang masih berada di pipinya. Dia tersenyum penuh arti menatap wajah yang mulai berkeriput itu.

"Anda berlebihan, Tante." jawab Vanesa.

Lalu Vanesa segera mengecup punggung Anggi untuk berpamitan. Namun wanita itu tiada melepas pegangan tangan Vanesa. Membuat Vanesa bingung.

"Vanesa, apakah kita bisa bertemu lagi?" tanya Anggi menatap Vanesa penuh harap.

"Hah!! Tapi kan Vanesa kerja, Tante. Pasti susah jika akan bertemu lagi." jawab Vanesa hati-hati. Karena tidak ingin menyinggung hati Anggi.

"Kalau masalah itu, sepulang bekerja pun tidak masalah, asalkan kamu bisa kesini, Van."

Kening Vanesa mengkerut, bingung mau menjawab apa. Sedangkan kalau bolak balik ke rumah sakit, akan menambah pengeluarannya juga.

"Kamu mau kan, Van?" desak Anggi.

Dan terpaksa Vanesa mengangguk akan Anggi segera melepas genggaman tangannya.

'Ah, bodo amat lah. Yang penting bisa kerja dulu. Urusan ke rumah sakit bisa di pikir belakangan,' pikir Vanesa.

Senyum Anggi mengembang, dia merasa senang jika Vanesa bisa menjenguk Ruben jika sudah sadar.

Dia tak sabar untuk segera menjodohkan Ruben dengan wanita baik seperti Vanesa.

Sedangkan Mila dan Regi hanya diam sekaligus menonton drama yang di ciptakan sang istri. Sang suami menggelengkan kepalanya pelan, dia juga sudah bisa menebak alur cerita kedepannya seperti apa. Karena dia hafal betul sifat sang istri yang sangat jarang dekat dengan orang lain. Dan dengan Vanesa berbeda.

Dia bisa bertaruh jika setelah ini, istrinya itu akan gencar menjodohkan Ruben dengan wanita yang sangat di sukai oleh istri tersebut.

Setelah berpamitan dengan Anggi dan Regi, Vanesa beserta Mila segera keluar dari rumah sakit. Sepanjang perjalanan menuju parkiran, Mila selalu menyunggingkan senyum manisnya, sehingga membuat Vanesa keheranan. "Kamu kenapa, La?" tanya Vanesa.

Mila menggeleng, "Tidak!!" ucap Mila masih mengulum senyumnya.

"Kamu kenapa??" Yang lagi-lagi di jawab gelengan oleh Mila yang seolah enggan mengaku.

Vanesa geram, ia segera menggelitik Mila di area pinggangnya, sehingga membuat Mila berlari dan menguarkan tawanya.

Vanesa segera mengejar kemana langkah Mila. Ia sangat geram karena Mila seolah menyembunyikan sesuatu darinya. Dan Vanesa sangat tak menyukai itu.

Selama ini Mila tau semua tentang kehidupannya, begitupun sebaliknya. Tak ada yang di tutupi di antara mereka.

Akhirnya setelah berlari ke parkiran, Vanesa mendapatkan Mila dalam cekalannya, "Kamu kenapa??" tanya Vanesa lagi seraya mengapit leher Mila menggunakan tangannya. Mencegah Mila yang ingin kabur lagi darinya, dan itu tidak akan Vanesa biarkan begitu saja sebelum Mila mengaku padanya.

Nafasnya masih terdengar naik turun karena habis berlari mengejar Mila. Nafas Mila juga masih terdengar berat, sehingga membuat Vanesa menunggu jawaban yang terlontar dari mulut Mila.

"Aku tidak apa, Van!" ucap Mila kemudian. Setelah nafasnya sudah kembali normal seperti sedia kala.

Alis Vanesa bertaut, seolah masih tidak puas dengan jawaban yang di utarakan Mila padanya.

Vanesa beringsut menghadap ke arah lain sembari melipat kedua tangannya. Ia kembali kesal pada Mila yang masih belum mengaku juga.

Mila menyadari jika Vanesa sedang marah dengannya, akhirnya dia mau membuka apa yang di pikirkan selama di rumah sakit tadi.

Mereka kembali bercengkrama seraya melangkah ke trotoar jalan raya. Mereka juga memutuskan untuk naik angkutan umum untuk sampai di toko kue plus mini cafe tersebut. Karena mereka tak memesan taksi online untuk mereka berdua karena terbatasnya kuota. Maklum karena tanggal tua.

"Yah, mendung, Van. Gimana nih kalau lama dapat angkotnya?" Keluh Mila yang melihat langit yang sudah menghitam. Seolah sudah siap memuntahkan berjuta ton air untuk membasahi bumi tempatnya berpijak.

Vanesa ikut mendongakkan wajahnya menatap langit hitam itu, "Semoga sebelum hujan kita sudah dapat angkutan umum, La." ucap Vanesa menenangkan ketakutan Mila.

Padahal dia sendiri juga takut jika kehujanan. Bukan karena apa, karena dia juga bakal masuk angin karena dia gampang sekali kena flu setelah kena air hujan.

Mata jeli Mila menilik setiap nomor angkot yang lewat, tapi ternyata belum ada yang lewat menuju ke tujuan mereka. Mereka tidak mungkin menaiki jurusan lain untuk sampai ke tempat tujuan mereka. Karena akan memakan waktu dan juga ongkos yang lebih banyak.

Hingga akhirnya sebuah mobil mewah warna hitam berhenti di depan mereka berdua.

"Siapa, Van?" tanya Mila penasaran.