webnovel

10. Harga Diri

Lukisan ini pasti berharga untuk Reygan, terbukti dengan letak lukisan ini yang strategis. Reygan bisa menatapnya ketika berangkat tidur dan bangun.

"Papa yang kasih." Reygan akhirnya bersuara setelah terdiam beberapa saat.

Aneska beralih ke foto usang di dinding, beberapa meter dari lukisan. Papa yang dimaksud Reygan di sini tentu sosok di dalam foto itu.

Potret seseorang yang mengajari anak laki-laki naik sepeda. Anak itu berumur sekitar empat tahun. Dia naik sepeda roda empat. Mukanya terlihat ketakutan, mungkin dia baru belajar naik sepeda untuk pertama kalinya. Bergeser ke foto di sampingnya, wajah anak lelaki itu sudah berubah ceria. Mungkin saja Sang Mama memberinya dukungan, sembari mengabadikannya di dalam kamera.

Ada banyak foto di sana yang menimbulkan banyak tanda tanya di kepala Aneska. Pertanyaan itu berjajal minta jawaban. Tapi rasanya Aneska harus menahan diri agar tidak menyinggung privasi Reygan.

Tapi sosok anak kecil berumur dua tahun mengusiknya untuk bertanya.

"Adik lo?" tanya Aneska tidak dapat menahan lagi rasa penasarannya.

"Adriana."

"Nama yang cantik."

"Mungkin juga secantik orangnya."

"Kok mungkin?"

Reygan menggelengkan kepala. "Mau hujan, lo mending pulang. Titip salam buat Om, Tante dan Mas Kinan. Makasih, makanannya enak banget."

"Jadi gue diusir, nih?"

"Lo mau tidur di sini?"

"Amit-amit!"

****

Kantin siang itu cukup ramai. Meja-meja penuh oleh murid yang kelaparan. Lalu rasa lapar itu diwujudkan dengan suara denting sendok dan kepala tertunduk. Fokus ke makanan. Tidak ada obrolan yang menyelingi.

Kebetulan hujan juga turun baru saja.

Adit yang sudah duduk di bangku pojok, mengangkat tangannya. Memanggil Reygan dan kedua sahabatnya.

"Siapa, Dit?" Kiki bertanya ketika sudah sampai di meja pojok dan melihat Adit sendirian.

"Yang gue ceritain kemarin. Riana."

Ari langsung heboh. "Oh, ini yang Riana-Riana itu?"

Yang disebut namanya tersenyum seraya melangkah mendekat, menyapa.

"Aduh, man, gue nggak kuat sama senyumnya." Kiki memeluk Ari.

Reygan masih diam ketika kedua sahabatnya berebut berjabat tangan dengan Raina. Bahkan harus dipukul Adit agar mereka melepaskan tangan mereka.

Gadis ini kalau Reygan tidak salah ingat adalah gadis yang berpapasan dengannya di tangga, dengan bertumpuk buku di tangan. Jadi gadis ini yang membuat Adit gila sebulan ini?

Reygan duduk di kursi yang kebetulan berhadapan dengan Riana. Adit duduk di sampingnya. Sementara Ari dan Kiki duduk di dekat Reygan.

"Eh, eh, nama kalian sama!" Kiki tiba-tiba berseru. Adit menatap bingung, siapa pula yang dimaksud Kiki?

"Riana Putri. Reygan Putra."

"Beda jauh!" Adit menyahut.

Reygan juga menepuk bahu Kiki. "Ngaco lo. Sana pesan. Gue bakso kayak biasa."

"Giliran lo yang pesan, Rey. Kemarin kan gue."

"Gue di pojok ini. Nggak bsia keluar." Reygan beralasan. Dia memang duduk menempel tembok dan sudah pewe.

"Yaudah panggil Bu Mar ke sini aja." Kiki sudah menoleh, membuka mulutnya, ketika tangan Reygan bergerak mendekapnya sebelum terlanjur memanggil Bu Mar.

Reygan lalu melepasnya. "Awas minggir!"

Ari dan Kiki berdiri, memberi jalan untuk Reygan lewat.

Riana menatap punggung Reygan yang melangkah ke gerobak Bu Mar.

"Lo juga sih, Ki." Adit menyalahkan.

"Kok gue yang salah?"

"Bu Mar itu udah dianggap emak sendiri sama dia. Salah besar kalau lo nyuruh Bu Mar jalan ke sini terus nyatet pesanan lo." Ari yang menjawab.

Kiki membela diri. "Semua ibu-ibu paruh baya juga dianggap emak sama dia."

"Nggak juga, ah. Bapak-bapak juga. Hormat banget deh tuh anak. Heran gue, masih bisa nonjok orang dia." Adit menimpali.

"Nonjok orang?" Riana yang mendengarkan sejak tadi, akhirnya bertanya.

"Nggak nyangka kan, Na?" Kiki menyambar. "Sama. Gue kenal dia pas kelas sepuluh, juga anggap dia anak culun. Soalnya pendiam banget. Bah. Ternyata diamnya itu menyeramkan." Kiki mengangkat kedua tangannya, menirukan ekspresi harimau.

Semua kompak diam ketika Reygan datang dengan tiga mangkok bakso yang masih mengepulkan asap dan tiga es teh manis.

"Tapi gue pengen es jeruk, Rey." Kiki merajuk manja. Suaranya dibuat-buat.

"Bodo amat!" Reygan duduk. Mulai menyantap baksonya.

Baru beberapa sendok menyuap bakso ke mulutnya, suara mangkok pecah menyela. Riana yang sejak tadi memperhatikan Reygan juga terlonjak kaget, bukan karena suara pecahan itu. Tapi karena lelaki itu mengangkat wajahnya, bersitatap dengannya sebentar sebelum menoleh ke sumber suara.

"Gue cuma pengen makan bakso gue," kata Reygan sedih.

"Udah, Rey. Nggak usah diurusin. Udah biasa juga Maura bikin ulah." Kiki di sebelahnya menahan kalau-kalau Reygan ikut kalap.

"Gue nggak sengaja!" Suara itu familiar. Reygan segera berdiri. Memaksa lagi agar Kiki dan Ari memberi jalan.

"Nggak sengaja? Rabun ya lo?" Suara Maura terdengar kencang, membuat beberapa pasang mata menatap ke arahnya dan sebagian mengambur membuat kerumunan.

"Gue udah minta maaf, Maura! Kurang jelas?" Aneska yang tidak terima dibentak, semakin meninggikan nada suaranya.

Rani merangkul sahabatnya, jaga-jaga kalau Aneska bertindak lebih. Juga menghalangi Maura yang takutnya menyerang Aneska.

Semua orang di sekolah ini tahu reputasi Maura seperti apa. Orang bahkan segan untuk mencari masalah dengannya. Di saat yang lain memilih aman, Aneska justru membuat masalah dengan Maura.

"Minta maaf bisa ganti baju gue yang basah?" Maura berteriak nyaring. Sampai seisi kantin merasa ngeri.

"Bisa. Biar gue yang beliin. Cuma baju, kan?" Reygan tiba-tiba muncul, mencoba menengahi. Dia meraih tangan Maura dan berniat menariknya keluar dari kantin.

"Bukan cuma baju, Reygan. Tapi harga diri!" Maura menepis tangan lelaki itu. Dia tidak terima diseret begitu saja. Masalahnya dengan Anes belum selesai.

"Kena tumpahan bakso nggak bikin harga diri lo hancur, Ra."

Kiki kelepasan tertawa mendengar kalimat menusuk Reygan.

"Tapi gue malu!"

"Masih punya malu? Sikap lo yang begini justru bikin malu."

Maura menatap Reygan tidak percaya. Dia sudah terbiasa dengan sikap Reygan yang ketus padanya. Tapi meski sudah terbiasa, masih saja terasa menyakitkan. Apalagi ini dihadapan para siswa-siswi yang berada di kantin. Biasanya Reygan tidak pernah mau ikut campur.

Dengan sekali gerakan, dia menepis kasar tangan Reygan hingga lepas dari tangannya. Maura dan teman-temannya melangkah meninggalkan kantin. Membuat bubar kerumunan yang sejak tadi memperhatikan mereka.

"Maaf ya, Bu Mar. Saya nggak sengaja. Mangkoknya saya ganti." Aneska ikut membantu membersihkan keributan yang dia buat barusan.

"Nggak usah, Mbak Anes. Lagian cuma satu mangkok yang pecah."

Aneska menggeleng. "Nggak, Bu. Pokoknya saya akan ganti."

Bel masuk berbunyi. Reygan mengeluh tertahan. Kapan Aneska tidak membuatnya kesal? Baru semalam dia merasa nyaman bicara dengan gadis itu, belum ada 24 jam, dia harus dihadapkan pada kenyataan kalau Aneska tetap menyebalkan.

****