webnovel

Pagi yang Membingungkan

"Surya, bangun!" Teriak Siti membuat tidur Surya terusik.

Rasa kantuk terus menyerang Surya, sehingga kedua matanya sulit untuk dibuka, dia memilih untuk melanjutkan tidur karena kepalanya juga terasa berat dan sedikit pusing. Bukannya tidak patuh perintah orang tua, hanya saja memang tubuhnya tidak bisa diajak kompromi, di antara kondisi tubuh dan keinginan yang berbeda membuatnya sedikit bingung dan ragu untuk melanjutkan tidurnya. Namun, rasa kantuk yang mendominasi membuat Surya lebih memilih untuk melanjutkan tidur dibandingkan harus membuka mata karena dia secara sadar jika dirinya memilih membuka mata maka akan dengan paksaan. Segala sesuatu yang yang berjalan terpaksa itu akan ada banyak kendala maupun penundaan kegiatan karena tidak ada bedanya dengan pemalas.

"Surya!"

Byur!

Siti mengguyur Surya menggunakan satu gayung air dari mulai kepala hingga sampai ujung kaki, dia meneliti dengan pelan agar tidak terjadi hal buruk maupun sesuatu yang bisa saja memicu timbulnya masalah. Air yang digunakan untuk mengguyur Surya sangat dingin sekali, rasanya seperti menggunakan es batu yang mencair, tapi kemungkinan besar air tersebut berasal dari air hujan yang ditampung menggunakan ember ketika tadi malam. Oleh karena itu, Surya langsung bangkit karena siraman air tersebut membuatnya terkejut dan basah kuyup di pagi buta. Angin pagi yang masuk melalui celah-celah pagar membuat dia sedikit menggigil dengan bibir yang sedikit berwarna biru disertai getaran kecil.

"Bangun! Siapa yang ngajarin kamu tidur di dalam kamar mandi?!" Sentak Siti sambil berkacak pinggang.

Bukannya menjawab, Surya malah termenung sambil mengamati lingkungan sekitar, dia tidak tahu kenapa dirinya bisa tertidur di dalam kamar mandi. Hal ini tidak wajar karena di luar nalar manusia. Satu hal terakhir yang dia ingat adalah ketakutan mendengar suara guntur dan kilatan petir yang mampu membuat kamarnya terang sementara. Selebihnya dia tidak tahu apa-apa dan sekarang dia malah terlihat seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.

"Jawab pertanyaan Ibu, kenapa kamu tidur di dalam kamar mandi?" Tanya Siti. Dia menjewer telinga kanan Surya, kesabarannya sudah berada di ambang batas. Jika Siti sudah merasa di puncak emosi maka dia tidak segan-segan untuk melakukan sesuatu yang melibatkan kontak fisik dan sekiranya ada sedikit rasa yang bisa mewakili dirinya dalam menghadapi anak yang hanya bisa memancing emosi. Padahal Surya itu hanya sedang kebingungan memikirkan nasibnya yang cukup sulit untuk dimengerti oleh dirinya sendiri.

Sakit ataupun luka fisik akibat perbuatan Siti sudah menjadi hal biasa. Memiliki orang tua temperamental tidaklah mudah. Melakukan kesalahan sedikit saja bisa langsung memancing emosi. Setiap kali Surya berbuat salah maka Siti akan mengajarnya sampai merasa puas.

"Jawab pertanyaan Ibu, Surya!"

"Aku tidak tahu, Bu. Tiba-tiba saja aku sudah berada di sini dan aku sadar setelah dibangunkan Ibu," jawab Surya sambil berusaha menyingkirkan tangan Siti yang terus menjewer telinganya.

Bukannya berhasil menyingkirkan tangannya, Siti justru semakin kuat menjewer. Daun telinga Surya dipelintir ke depan sampai memerah. Luka bekas jeweran sebelumnya kembali lecet dan sedikit basah, mungkin karena mengeluarkan cairan putih dan hal itu tentunya membuat Surya meringis menahan sakit. Saat jari Siti mengenai luka tersebut membuat Surya memejamkan mata menahan perih.

"Ini masih pagi, nggak usah ngomong yang macam-macam!"

"Benar, Bu. Aku tidak tahu apa-apa!"

"Sana masuk kamar!" Suruh Siti dengan sedikit mendorong tubuh kecil Surya. Andai saja tidak imbang maka Surya akan tersungkur di atas tanah mengingat lantai rumah Siti itu masih terbuat dari tanah.

Setiap melangkahkan kaki, otaknya memutar balik fakta pagi ini. Dia teringat sempat jalan kaki ketika memejamkan kedua mata. Entahlah itu hanya firasat saja atau memang kenyataan karena yang jelas dia itu memejamkan mata karena ketakutan ada suara guntur dan kilatan petir yang masuk ke dalam kamarnya sehingga memberikan cahaya penerang sejenak.

Semakin dipikirkan maka semakin tidak masuk akal. Ketika akan disebut hanya mimpi, tapi tiba-tiba tidur di dalam kamar mandi. Sebaliknya, ketika akan disebut kenyataan, tapi dilakukan di luar kesadaran. Dia memijit kedua pelipisnya untuk menghilangkan sedikit rasa pusing yang terus menyerang kepala, ada kemungkinan bahwa dia masuk angin.

Akhirnya Surya mencoba berusaha untuk bodo amat. Memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal sama saja menyiksa diri sendiri karena memaksa untuk berpikir sesuatu yang seharusnya tidak harus dipikirkan. Lebih baik Surya memutuskan untuk mandi agar pikirannya kembali fresh. Tujuannya sekarang adalah mengambil baju di lemari kayu yang disusun dengan bentuk kotak, seperti bentuk kubus. Lemari tersebut terbuat dari kayu bekas. Maklum lah karena Surya bukan dari kalangan keluarga berada. Langkahnya terhenti karena mendengar suara tangisan. Dia memutuskan berjalan mengendap-endap untuk mencari asal suara tersebut. Semakin melangkahkan kaki maka semakin jelas pula suara tangisan tersebut, tepat di depan kamar Anes. Tiba-tiba tubuhnya merinding mengingat Anes jarang sekali menangis.

"Masuk? Tidak?" Batin Surya bertanya-tanya.

Ada sedikit rasa penasaran dalam diri Surya. Akhirnya dia mencoba untuk mengambil keputusan dengan cara menghitung menggunakan jari selang seling antara masuk atau tidak. Dia memulai berhitung menggunakan jari jempol tangan kiri.

"Semua jari ada sepuluh, aku mulai dari tidak atau masuk ya?" Tanya Surya Pada diri sendiri. "Ya sudahlah dari kata 'tidak' saja. Tidak, masuk, tidak, masuk, tidak, masuk, tidak, masuk, tidak, masuk." Tepat berhenti di jari kelingking tangan kanan. "Masuk? Ya sudahlah, aku masuk saja daripada semakin penasaran.

Ketika Surya masuk ke dalam kamar Anes, dia melihat Anes sedang menangis sambil memeluk buku. Dia merasa iba atas keinginan Anes yang tidak akan terwujud sampai kapan pun. Terlahir dalam keluarga serba kekurangan membuatnya sulit untuk menempuh pendidikan. Selain faktor biaya, Siti selalu menganggap bahwa pada akhirnya wanita akan menjadi ibu rumah tangga yang mengurus anak dan dapur. Andai saja Surya sudah kerja maka dia kan membantu Anes untuk mengenyam pendidikan. Namun, umur Surya dan Anes hanya terpaut 5 tahun saja.

Langkah Surya berhenti tepat di sebelah Anes. Otomatis Anes mendongakkan kepala sambil menatapnya. Surya berjongkok di depan Anes.

"Loh, ini kan masih pagi. Kenapa nangis, Nes?" tanya Surya Mencoba untuk menghilangkan pikiran negatif.

"Hiks, aku- a- aku tadi malem, hiks," suara Anes terpotong-potong. Mungkin karena dia masih saja menangis.

"Udah dong jangan nangis. Coba tarik napas dulu lalu hembuskan perlahan agar agak lega," ujar Surya dengan sorot matanya tak lepas dari Ana yang sedang menjalankan saran sesuai dengan apa yang dikatakan Surya.

Surya mencoba untuk menghapus jejak air mata Anes. Ada sedikit rasa merinding dan hal tersebut juga membuat tangannya agak bergetar. Surya mencoba untuk tenang, karena sekaligus memastikan bahwa bocah di depannya sekarang ini benar-benar adiknya.

Akhirnya Surya bisa bernapas lega saat tahu bahwa dia adalah Anes. Kondisi pipi utuh saat dia melakukan hal menghapus jejak air matanya. Satu hal keadaan itu langsung membuat diri Surya sangat yakin.

"Tadi malam aku mimpi," ujar Anes.

"Mimpi apa?"

"Aku mimpi kalau aku masih sekolah ikut pelajaran dan mendengarkan apa yang Bu guru bilang saat mengajar. Aku kangen sekolah, Kak. Aku ingin sekolah lagi," ujar Anes yang semakin erat memeluk bukunya.