webnovel

Asal Nama Toni

"Kata orang tua. Aku pernah dengar bahwa makan di tengah pintu masuk itu pamali atau bisa dikatakan tidak boleh. Nanti lamaran dari calon suami kamu tidak bisa masuk, akhirnya dapatnya sedikit deh," jelas Surya. Dia sendiri tidak begitu mengerti mengenai penjelasan tersebut, dia hanya mendengar beberapa orang tua sering berkata demikian.

Sasa mengernyitkan kedua alisnya sambil bertanya, "Masa?"

"Ya begitulah yang sering aku dengar."

"Nggak akan ngaruh deh. Aku rasa itu hanya mitos, artinya tidak boleh makan di tengah pintu masuk karena membuat orang lain sedikit kesulitan ketika akan masuk," kata Sasa cuek. Dia kembali melahap makanan yang ada di piringnya tanpa sedikitpun menawari Surya.

Lauk yang Sasa makan lumayan enak, beda dengan lauk yang sering Surya makan. Secara beras yang dihasilkan oleh Siti saja dari sisa-sisa panen, sehingga tekstur berasnya tentu kecil-kecil. Rasanya juga kurang sedap. Apalagi soal lauk, tentu sangat jauh berbeda. Secara kehidupan Sasa saja berasal dari orang cukup berada. Beda dengan Surya yang hidupnya serba kekurangan.

Selain itu, perbedaan lebih lanjutnya karena Surya memiliki banyak saudara, sedangkan Sasa hanya anak tunggal. Bisa dipastikan bahwa segala sesuatu dari orang tuanya pasti akan dilimpahkan seluruhnya kepada Sasa. Nah, sedangkan Surya harus berbagi dengan enam saudaranya. Namanya juga makhluk hidup tentu memiliki banyak tanggungan dan kebutuhan, tinggal yang membedakan adalah kadarnya saja.

Surya menelan ludahnya sendiri ketika melihat Sasa makan ayam goreng bagian paha dipadukan dengan sambal. Surya tidak pernah makan seenak itu, tapi bisa dipastikan hanya di hari raya saja, itupun karena diberi oleh tetangganya. Makan dengan lauk enak itu hanya setahun sekali, yaitu makan daging sapi maupun kambing di saat hari raya idul adha, di mana pada hari tersebut banyak orang yang qurban.

"Jangan ngiler, Sur, hihihi," bisik Toni di telinga kanan Surya. Dia sengaja sedikit tertawa agar tidak terlalu mencurigakan. Takutnya kalau nanti Sasa dengar suaranya tertawa malah akan dimarahi Surya, apalagi Sasa sedang makan. Hal yang paling ditakutkan adalah panik hingga membuatnya tersedak dan yang paling utama karena Toni juga takut tidak akan diperbolehkan ikut main lagi. Dia masih ingat mengenai kata-kata Surya tadi ketika sebelum dirinya diperbolehkan ikut.

Surya pun menatap kesal ke arah Toni. Bagi Surya, Toni adalah hantu yang begitu menyebalkan. Pada umumnya hantu itu menyeramkan, tapi itu tidak berlaku bagi Toni menurut pendapat Surya. Jika tidak ada Sasa di depannya, maka kemungkinan Surya akan menyentil kepala Toni, tapi dia masih ingat suatu hal yang sudah terjadi dan dia tidak ingin hal tersebut terulang kembali, lebih tepatnya dia takut dikatakan gila lagi oleh orang lain. Dari kejadian itulah membuat Surya lebih hati-hati dalam bertindak karena tidak semua orang bisa mengerti dirinya. Kalau orang tua yang paham mengenai gandeng mayit pasti tahu bahwa Surya sedang berkomunikasi dengan makhluk gaib, tapi hal itu tidak berlaku bagi orang yang tidak mengerti arti gandeng mayit.

Kedua mata Surya membulat sempurna menatap ke arah Toni. Dia ingin Toni berhenti tertawa karena Surya merasa suara tawa Toni sangat mengganggu di indra pendengarannya. Hal itu justru malah memicu timbulnya kecurigaan terhadap Sasa.

"Kamu kenapa, Sur?" Tanya Sasa, padahal mulutnya masih penuh dengan nasi.

"Dihabiskan dulu, Sa! Nggak baik kalau lagi makan malah banyak ngomong gitu," Suruh Surya sambil mencoba untuk menenangkan dirinya. Namun, usahanya tersebut justru malah mendapatkan respon buruk dari Toni, dia semakin tertawa, meskipun suaranya tidak kencang. Namun, ekspresinya itu membuat Surya semakin kesal.

"Ah, nggak kok, aku nggak kenapa-napa," jawab Surya sedikit gugup.

Sasa malah mengernyitkan kedua alisnya dan semakin menajamkan tatapannya seakan sedang mencari kejanggalan di dalam diri Surya. Hal itu semakin membuat Surya grogi. Sebisa mungkin Surya menahan raut wajahnya agar tetap terlihat biasa saja seakan tidak ada hal aneh terjadi.

"Nggak kenapa-napa kok kelihatannya panik?" Tanya Sasa masih tetap penasaran.

"Aku nggak panik."

"Kalau nggak panik kenapa malah gelagat tubuh kamu terlihat gusar gitu?"

Pertanyaan Sasa kali ini adalah kesempatan bagi Surya untuk memberikan pelajaran kepada Toni. Apalagi kondisi Toni saat ini sedang lengah menjadikannya memiliki banyak kesempatan. Dia pun menginjak kaki Toni hingga membuat Toni menjerit kesakitan.

"Aduh, otak kamu di mana, Sur?!" Teriak Toni. Dia berusaha melepaskan injakan Surya dengan kekuatannya, yaitu membuat dirinya menjadi transparan untuk bisa menembus kaki Surya.

Setelah terlepas dari injakan Surya, Toni pun jongkok untuk melihat kondisi kakinya. Ada sedikit lecet dan salah satu kuku di jari kakinya ada yang lepas. Hal itu diakibatkan karena Toni sudah meninggal, sehingga tekstur daging tubuhnya seperti daging yang sudah busuk. Dia pun merintih kesakitan.

"Aduh, gila ini sakit banget," keluh Toni.

Surya hanya tersenyum melihat Toni kesakitan, tapi dia memposisikan dirinya menghadap ke arah Sasa, sehingga kesan yang ditimbulkan seakan dia tersenyum kepada Sasa. Kini gantian Toni yang kesal. Untung Toni masih memiliki batas kesabaran menghadapi tingkah Surya.

"Nggak kok, nih buktinya aku biasa saja kan? Lagian aku ke sini dengan tangan kosong. Jadi, tidak ada yang perlu dicurigai," kata Surya.

"Maksud aku bukan gitu, Sur, pokoknya tadi itu kamu terlihat aneh banget tahu!"

"Sudahlah nggak perlu memikirkan hal yang tidak penting. Kamu mau ikut aku ke lapangan tidak?" Tanya Surya.

"Ngapain?"

"Mainlah."

"Ikut," kata Sasa.

"Nah, ayo! Makanya makannya jangan sambil ngobrol."

Toni memutar bola matanya malas. Mendengar ajakan Surya kepada Sasa membuat perutnya muak. Namun, sayangnya dia tidak bisa memuntahkan isi perutnya, secara setelah dirinya mati saja tidak pernah makan maupun minum dan segala isi perutnya sudah dibersihkan ketika jenazah dirinya sedang dimandikan.

"Ketika sama perempuan saja langsung disetujui buat ikut. Nah, aku mau ikut saja harus ada persyaratannya dulu, huft!" Sindir Toni pura-pura tidak melihat Surya. Dia duduk di teras rumah Sasa sambil bersandar di tembok dengan kedua tangannya bersedekap di depan dada.

Begitupun Surya hanya memutar bola matanya sebagai respon malas mendengar ucapan Toni. Dia kesal karena seakan diri Toni itu merasa bahwa dirinya masih hidup seperti manusia pada umumnya. Padahal sebenarnya dia sudah mati.

"Dasarnya mau cari perhatian ya gitu, teman sendiri malah dilarang," kata Toni lalu sedikit melirik ke arah Surya. Namun, Surya malah pura-pura tidak mendengar. Dia pun memutuskan untuk duduk di sebelah Toni.

"Sebentar ya, Sur. Aku mau cuci tangan dulu," kata Sasa ketika selesai makan.

"Iya," sahut Surya.

"Tuh kan buktinya mau saja disuruh nungguin, kalau aku tadi malah ditinggal. Dasar ya manusia!" Ketua Toni.

"Diam kamu, Ton Syaiton. Dasar hantu tidak sadar diri! Padahal kan nggak semua orang bisa lihat kamu. Nanti yang ada malah kamu bikin panik orang lain!"

"Syaiton bapak kau! Namaku Toni, bukan Syaiton."

"Iya tahu kok, Syaitoni kan?" Tanya Surya.

"Terserah kamu lah, Sur. Aku memang sudah mati, tapi bukan berarti aku Syaiton. Kesannya macam hantu saja," sangkal Toni semakin kesal.

"Nah, terus kalau bukan hantu apa coba? Orang yang sudah mati lalu gentayangan macam kamu ini disebut hantu kali dan Syaiton artinya setan atau bisalah dikatakan hantu juga."