webnovel

Eps. 2 (DIGERAYANGI MAHASISWA PPL)

Kejadian malam itu di Salatiga telah mengubah hidupku. Fantasiku tentang laki-laki semakin liar dan berani. Bahkan saat perjalanan pulang ke Jakarta aku masih membayangkan Yudhi, remaja yang sudah aku nikmati. Ada rasa menyesal pada diriku, bukan sesal karena telah melakukan perbuatan itu, melainkan sesal karena aku tidak mampu bertindak lebih berani. Coba seandainya aku menyelipkan tanganku ke dalam celana Yudhi mungkin aku sudah dapat menikmati sentuhan kemaluannya yang malam itu benar-benar sudah mengeras.

Aku juga sempat berpikir, mungkin saja Yudhi sadar dan hanya pura-pura tertidur agar aku melanjutkan aksiku. Soalnya aku menindih tubuhnya dengan tubuhku yang sudah lumayan berat, masa dia tidak merasakan ada beban di atas tubuhnya? Apalagi kemaluannya terus mengeras dan membesar, bahkan ketika kemaluanku menindih kemaluannya yang hanya terbungkus celana tipis tanpa CD, aku merasakan ada denyutan beberapa kali. Apa mungkin dia sengaja membiarkan aksiku? Kalau dia hanya pura-pura tertidur artinya Yudhi juga menikmati aksiku malam itu. Apa mungkin dia juga menyukai laki-laki? Sesalku kembali bertambah dengan kesimpulan sementara ini. Coba aku lebih berani, seperti membangunkan Yudhi dari tidurnya dan mengajak melakukan hubungan seksual secara vulgar, mungkin saja kami bisa berpelukan sambil telanjang bulat.

Bus antar kota antar provinsi yang berpapasan dengan mobil kami membunyikan klaksonnya cukup keras membuat aku tersadar dari lamunan dan hayalanku tentang Yudhi. Perjalanan kami masih cukup jauh, karena kami menggunakan transportasi darat. Papa sendiri yang menyetir mobil sementara mama duduk di sampingnya menemani ngobrol supaya tidak mengantuk.

Aku kembali masuk ke dunia fantasiku dan berhayal sembari mengingat potongan-potongan peristiwa di rumah Pak Darmin. Aku membayangkan kalau seandainya ada waktu untuk kembali ke sana akan kucoba hal-hal yang belum aku lakukan malam itu. Sebenarnya bila papa tidak mendadak ada tugas kantor seharusnya kami masih menginap satu malam lagi. Aku bisa tidur di samping Yudhi lagi dan melakukan aksiku lebih jauh lagi. Bayangan Yudhi hanya menggunakan CD melayang-layang di atas kepalaku, menambah ramai imajinasiku tentang keindahan tubuhnya. Bayangan itu muncul bergantian dengan ingatan tentang tubuh Yudhi yang hanya tertutup singlet dan menampakkan perut serta pusarnya. Aku bisa menebak bagaimana bentuk kemaluan dan selangkangannya meski tertutup celana tipis. Kedua tangannya yang terangkat ke atas menampakkan bulu ketiak hitam nan lebat dengan aroma khas remaja laki-laki ikut timbul seperti potongan-potongan video pendek. Aduhai betapa indah imajinasiku memvisualisasikan ingatan dan keinginan dalam dunia penuh hayal yang telah aku bangun dan pada akhirnya berlabuh ke dunia mimpi. Lalu aku tertidur pulas.

*************

Peristiwa Salatiga (begitu aku mengingat adegan seks pertamaku) suda dua tahun berlalu. Aku sudah duduk di kelas X. Umurku telah bertambah, aku tumbuh menjadi remaja yang cukup menarik. Fantasiku tentang laki-laki sudah semakin berkembang jauh. Menurutku laki-laki itu harus macho dan mempunyai tubuh yang ideal agar terlihat seksi. Setelah peristiwa Salatiga suaraku mulai berubah, begitu juga bentuk tubuhku, semakin tinggi dan berotot. Aroma tubuhku juga mulai berbeda seiring bertambahnya hormon kelaki-lakian seperti aroma teman-teman sebayaku di sekolah.

Aku terobsesi dengan bentuk tubuh yang indah dan wajah yang menarik. Aku bersyukur dikaruniai wajah yang cukup tampan, berkulit putih dan halus tanpa jerawat serta hidung yang mancung. Mataku gelap dengan alis tebal yang simetris. Selain itu bentuk bibirku juga menggoda (menurut teman-teman sekolahku) selain warnanya yang sudah merah. Jadi untuk melengkapinya aku mulai rajin berolahraga terutama basket, badminton dan kadang aku cukup rutin ke tempat fitnes.

Hasilnya cukup menggembirakan, di kelas X aku sudah cukup menonjol di sekolahku, tentu tidak terkait prestasi akademik. Teman-temanku mengatakan aku ganteng, ada juga yang lebih suka memuji bentuk tubuhku yang atletis, bahkan segerombolan kakak kelasku yang kelihatannya cukup nakal beberapa kali menebak ukuran kemaluanku yang tergambar jelas di celana abu-abuku yang cukup sempit (atau mungkin itu hanya tebakanku saja).

Peristiwa Salatiga adalah adegan seksual pertama dan terakhir yang aku alami hingga tamat SMP. Aku tidak berani melakukannya dengan orang lain lagi. Itu disebabkan karena aku tidak mendapatkan kesempatan serupa di tempat lain. Aku sudah berusaha mencobanya, seperti sengaja tidur di masjid bersama teman-teman sekitaran rumah pada bulan Ramadhan. Aku sengaja tidur lebih lambat saat satu per satu teman-temanku merebahkan tubuhnya di atas karpet masjid. Mereka tertidur cukup pulas, tapi aku belum beruntung karena orang dewasa sudah banyak yang datang dan sholat malam di masjid hingga menjelang sahur sehingga rencanaku gagal total. Padahal si Fahmi anak tentanggaku yang saat itu kelas IX cukup ganteng dan menggoda untuk dinikmati. Tapi mau gimana lagi, dari pada ketahuan lebih baik dibatalkan.

Untuk melampiaskannya aku lebih banyak melakukan onani, bahkan bisa beberapa kali dalam seminggu. Supaya lebih nikmat seringkali aku lakukan sambil menonton video porno yang cukup banyak aku download dan ku simpan di laptop. Kadang aku membayangkan teman-teman sekolahku yang ganteng dan bertubuh seksi sambil mengocok kemaluanku dengan ritme yang berubah-ubah. Pada waktu tertentu aku kembali mengingat-ingat adegan seksualku dengan Yudhi beberapa tahun lalu. Dan entah mengapa membayangkan Yudhi ternyata membuat aku lebih cepat orgasme. Hmmm, aku tidak tau lagi tentang kabar anak itu, mungkin dia sudah kuliah atau juga bekerja, entahlah.

Di kelas X ini aku mempunyai sarana baru dalam membangun dunia fantasiku. Aku sengaja membuat akun facebook palsu untuk berhubungan dengan banyak sekali laki-laki penyuka sejenis. Aku sengaja membatasi pertemanan hanya dengan laki-laki. Bagi akun facebook perempuan akan langsung aku tolak permintaan pertemanannya. Selain itu teman-teman facebook yang aku terima hanyalah yang tinggal tidak terlalu jauh dari Jakarta.

Ternyata hampir semua teman-teman facebook palsuku adalah akun anonim yang sengaja dibuat untuk berinteraksi dengan laki-laki sesama jenis, tentu aku paham itu semua demi menjaga kerahasiaan dan nama baik pemilik akun.

Dengan semakin berkembangnya teknologi digital semakin mudah pula berkomunikasi. Bagi cowok yang memiliki dunia sendiri seperti diriku ini tentu tidak akan menyia-nyiakan media-media ini, salah satunya skype. Aku rutin melakukan video call dengan banyak laki-laki terutama dari luar negeri. Bahkan kadang sambil onani, meskipun aku tidak pernah memperlihatkan wajahku secara utuh. Karena bisa saja aktivitasku direkam dan disebarluaskan.

Selain itu beberapa aplikasi khusus kaum pelangi sudah menjamur di palystore, hal ini menambah semarak perburuan laki-laki pecinta sesama jenis. Kadang aku merasa cukup beruntung tumbuh besar sebagai remaja lelaki pecinta sesama jenis di zaman teknologi sedang berkembang pesat. Tanpa perlu repot-repot berhubungan dengan orang-orang yang berorientasi seksual sama meskipun hanya di dunia maya.

Di kelas X ini juga instingku tentang penyuka sesama jenis semakin tajam. Beberapa kali aku memperhatikan remaja laki-laki di mall dari penampilan dan gerak-geriknya membuat aku yakin kalau dia itu sama sepertiku. Yakin deh, kalau kamu penyuka sesama jenis, akan dapat mendeteksi penyuka sesama jenis lainnya meskipun dia tampil super macho. Coba aja!.

Di kelas X aku mempunyai banyak teman baru, karena di tahun pertama aku sudah masuk tim basket sekolah, walaupun tim sekolah kami tidak terlalu terkenal dan diperhitungkan di sekolah-sekolah Jakarta. Tapi kalau dipikir-pikir tidak banyak prestasi yang digapai sekolahku belakangan ini kecuali Tim Renang yang beberapa kali menjuarai lomba antar sekolah.

Bicara tentang renang aku memiliki kenangan lain di dalamnya. Hal itu semakin memantapkanku untuk berjalan maju di dunia pelangi ini. Cerita itu bermula setelah ujian semseter satu. Beberapa mahasiswa dari perguruan tinggi sekitar Jakarta melaksankan PPL di sekolahku, jumlah mereka sepuluh orang, enam diantaranya laki-laki. Celakanya menurutku beberapa di antara mereka cukup ganteng dan masuk kriteria dunia fantasiku.

( Wiranata, 21 tahun mahasiswa PPL tahun 2016. Gambar hanyalah ilustrasi yang disadur dari google)

Aku belum bercerita tentang tipe laki-laki yang aku suka. Nah aku tidak tahu bagaimana hal ini bermula, yang jelas setelah Peristiwa Salatiga aku cenderung menyukai laki-laki yang lebih tua dari umurku. Tapi anehnya entah mengapa perasaanku lebih memilih posisi dominan dan agresif meskipun berpasangan dengan orang yang lebih tua, tentu saja itu semua hanya ada dalam dunia fantasiku. Tapi rasanya bila jadi kenyataan tidak akan jauh berbeda dengan hayalan yang selama ini aku bangun.

Hari itu ketika jam pelajaran matematika aku dipanggil ke ruang Kepala Sekolah. Awalnya aku cukup cemas karena seumur hidupku tidak pernah dipanggil Kepala Sekolah. Aku berpikir keras selama perjalanan ke ruang Kepala Sekolah tentang apa kesalahanku sehingga harus mendapat panggilan begitu. Biasanya panggilan itu hanya untuk anak-anak bandel yang punya dosa besar. Kekesalan mulai muncul setelah aku gagal mengingat pelanggaran apa yang membuatku mendapat panggilan "keramat" meski telah berusaha keras sepanjang perjalanan yang hanya beberapa puluh meter itu.

"Silahkan duduk!" ucap Kepala Sekolah ramah tidak lama setelah aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

Sambil mengangguk aku memilih duduk di salah satu kursi kosong yang berjejer tepat depan meja Pak Mulia, Kepala Sekolah kami. Dalam ruangan yang terkenal cukup angker di kalangan siswa sekolah ini ternyata ada Pak Cipto Guru Olahraga dan dua orang mahasiswa PPL yang salah satunya lebih dari cukup itu diberi label ganteng.

Mataku mengamati satu per satu benda-benda dan orang-orang yang ada di ruangan itu. Tidak banyak benda yang istimewa selain beberapa piala lusuh. Tapi untuk "orang" tentu saja ada yang menarik untuk diamati, Nata namanya, mahasiswa PPL yang aku sebut tadi. Kami tidak pernah berada dalam satu ruangan sedekat itu, karena dia tidak praktek mengajar di kelasku, bahkan jujur saja aku tidak tahu apa yang mereka praktekkan di sekolahku. Yang jelas aku sudah tahu namanya dari cewek-cewek kepo di sekolah, jadi tidak perlu repot-repot lagi.

"Reza masuk tim renang sekolah ya." ucap Pak Mulia dengan intonasi tegas mengisyaratkan tidak ada ruang untuk berdiskusi apalagi menolak, dan aku cukup bijaksana untuk tidak langsung menjawab.

Melihat reaksiku tidak sesuai harapan, Pak Mulia akhirnya mulai berpidato panjang. Sebenarnya isinya tidak begitu menarik, tapi inti dari apa yang disampaikannya hanya beberapa poin saja diantaranya bahwa sekolah kami beberapa tahun terakhir belum mendapatkan prestasi yang menggembirakan. Hal itu berimbas pada nama baik sekolah.

Menurut Pak Mulia, meskipun jumlah siswa di sekolah kami setiap tahunnya bertambah, bukan berarti sekolah kami adalah sekolah favorit. Kebanyakan siswa yang masuk ke sini adalah siswa yang tidak berhasil masuk sekolah negeri dan sekolah swasta unggulan, bisa dibilang sekolah kami adalah alternatif terakhir.

Aku mendengus mendengar ucapan Kepala Sekolahku itu, tentu saja aku tidak setuju. Sekolah ini merupakan pilihan pertamaku saat mendaftar, alasannya sederhana karena biayanya lebih murah dibanding biaya sekolah rata-rata SMA di Jakarta yang sudah seharga satu unit rumah sederhana di pedesaan. Dan dari cerita teman-temanku juga hampir sama denganku, meskipun jarak rumah kami cukup jauh. Dengan fasilitas yang terbilang cukup lengkap, iuran dan biaya lainnya yang harus orang tua kami keluarkan tidak terlalu besar.

Adapun prestasi, menurutku itu tergantung Kepala Sekolah dan tenaga pendidiknya bagaimana mengelola sekolah agar dapat bersaing di tingkat daerah. Bisa dikatakan kemunduran sekolahku lebih banyak disebabkan ketidakmampuan Kepala Sekolah. Jadi seharusnya Pak Mulia introspeksi diri alih-alih mencari kambing hitam lainnya.

"Kamu kan ikut eskul renang" tanya Pak Mulia membuyarkan lamunanku.

"Ini bapak lihat di dokumen siswa" tambahnya sambil mencari-cari sesuatu di antara berkas yang berserakan di atas meja kerjanya.

"Itu waktu SMP pak. Sekarang saya anggota tim basket." jawabku ketus.

"Ya sama saja. Masih anget toh. Baru tahun lalu, pasti masih ingat tehnik-tehniknya. Kalau basket peluang tim kita kecil banget, tapi kalau renang bapak yakin kita bisa menang di lomba bulan depan" ucapnya dengan senyum yang tampaknya dipaksakan.

"Bulan depan pak? bukannya tiga bulan lagi?" tanyaku terkejut.

"Lombanya dimajukan, sebentar lagi pemilihan Gubernur. Apa kamu nggak pernah nonton TV? Sekarangkan lagi heboh tuh, ada demo berjilid-jilid lagi " jawab Pak Mulia masih dengan raut wajah yang sama. Aku dan dua mahasiswa PPL di ruangan itu saling padang mendengarkan cerita politik panjang lebar Pak Mulia yang sebenarnya tidak penting. Dan kelihatannya dia sadar kami tidak tertarik dengan ucapannya.

"Tenang saja, masalah waktu latihan adik-adik mahasiswa PPL akan membantu kalian" ucap Pak Mulia sebelum aku membantah lagi.

Kelihatannya aku tidak punya pilihan lain selain menerima saja, terlebih lagi aku sudah cukup bosan mendengar pidato panjang laki-laki berkepala lima di depanku itu.

Pak Mulia menjelaskan beberapa hal di sisa pertemuan kami, yang intinya kami akan berlatih keras agar dapat tampil secara maksimal. Guru olahraga kami akan membuat jadwal latihan selama satu bulan sampai dengan waktu perlombaan. Berhubung pelatih renang di sekolah kami tidak punya asisten pelatih maka kedua mahasiswa PPL akan mengisi posisi itu selama mereka bertugas di sini.

( Tim renang sekolah. Gambar hanyalah ilustrasi yang disadur dari google)

Setelah tiga minggu berlatih, kekompakan tim kami sudah lumayan terlihat. Tapi untuk dipertandingkan dalam lomba masih jauh dari harapan. Dengan sisa waktu hanya satu minggu lagi bisa dipastikan kami hanya akan jadi pecundang di antara sekolah-sekolah unggulan lainnya.

Setelah dievaluasi Pak Cipto memutuskan untuk menambah jadwal latihan kami, bahkan kami akan menginap di sekolah pada malam minggu yang rencananya akan kami habiskan untuk berlatih.

Aku sudah pamit sama papa dan mama untuk menginap di sekolahku pada malam minggu dan merekapun mengizinkannya. Rencananya kami akan tidur di salah satu ruang rapat guru yang ada karpetnya. Semua meja sudah kami geser di salah satu sudut ruangan menyisahkan tempat kosong yang lumayan luas untuk tidur sembilan orang.

Sore itu sebelum latihan Kak Nata (salah satu mahasiswa PPL di sekolahku) mengumpulkan kami. Dia memainkan permainan dalam bentuk dinamika kelompok, tujuannya agar kami bisa lebih saling mengenal lagi.

Menurut Kak Nata penyebab kami belum mampu menampilkan yang terbaik karena kami masih egois dan tidak bisa bekerja sama sebagai tim. Kelihatannya apa yang dimaksud Kak Nata memang benar.

Kami menikmati permainan-demi permainan dalam dinamika kelompok itu. Kami tertawa bersama, bercanda bersama dan kadang melakukan tindakan-tindakan konyol layaknya anak-anak SD. Aku sendiri baru menyadari bahwa ke delapan temanku dalam tim ini sebenarnya anak-anak yang asik. Hanya saja kami jarang berinteraksi seperti ini, apalagi kami tidak berasal dari kelas dan angkatan yang sama.

Setelah selesai dinamika kelompok kami berkumpul di pinggir kolam renang bersiap untuk memulai latihan kami sore itu. Aku kembali ke dunia fantasiku setiap ada kesempatan mengamati tubuh teman-teman satu timku yang kebanyakan sudah kelas XI. Tidak banyak yang ganteng di antara mereka, tapi dengan hanya menggunakan celana renang yang tidak ada bedanya sama celana dalam tentu saja mampu membuatku menelan ludah. Apalagi setelah dinamika kelompok, anggota tim ini terasa jauh lebih ganteng dan seksi dari sebelumnya, mungkin karena kami sudah mulai akrab.

Dunia hayalanku buyar ketiak Kak Nata berjalan ke arah kami yang sudah bersiap latihan. Dia berjalan laksana malaikat yang turun dari langit. Selama tiga minggu latihan kami tidak pernah melihat Kak Nata ikut renang bersama kami. Dia lebih banyak mendampingi pelatih dari tepi kolam.

Tapi sore ini dia hanya menggunakan celana yang sama seperti yang kami pakai. Aku bengong cukup lama memandanginya. Terus terang saja ini di luar dugaanku. Selama di sini Kak Nata selalu berpakaian formal dibalut almamater kampusnya yang dia kenakan hampir setiap hari, bahkan ketika mendampingi kami latihan.

( Wiranata, 21 tahun mahasiswa PPL tahun 2016. Gambar hanyalah ilustrasi yang disadur dari google)

Tapi sore ini mataku benar-benar disuguhkan pemandangan dahsyat, hingga otakku terasa stag. Fantasi yang biasanya selalu muncul ketika aku melihat cowok-cowok ganteng sore itu tidak muncul sama sekali. Aku tak tahu apa penyebabnya.

Kak Nata menyapa kami, aku menarik nafas panjang dan memulai latihan bersama teman-temanku. Rencananya kami akan latihan sembilan puluh menit, namun hanya satu jam yang benar-benar serius sisanya hanya berenang bebas bersama Kak Nata. Moment itu adalah moment paling dekat antara aku dan Kak Nata.

( Wiranata, 21 tahun mahasiswa PPL tahun 2016. Gambar hanyalah ilustrasi yang disadur dari google)

Kami sudah berkumpul di ruangan rapat untuk beristirahat dan rencananya besok pagi akan kembali latihan. Kami bersembilan mengobrol cukup lama sementara Kak Nata dan Pak Cipto masih mengobrol di luar ruangan. Aku kurang tahu apa yang mereka obrolkan, yang jelas Pak Cipto sudah ijin tidak menginap karena ada urusan keluarga, hal itu disampaikannya saat kami makan malam di warung nasi goreng depan sekolah.

Satu per satu tema-temanku mulai tertidur d iatas karpet. Udara malam terasa dingin, untungnya ada celana pramuka yang aku pakai tadi siang karena tidak satu pun diantara kami membawa selimut atau kain sarung. Belum lagi suara nyamuk berterbangan dan hinggap seenaknya. Setidaknya celana pramuka ini sudah cukup untuk menghindari gigitan nyamuk.

Aku tidak sempat bermimpi dan berhayal tentang laki-laki macho seperti kebiasaanku setiap sebelum tidur. Mungkin terlalu capek latihan hari ini.

Aku tersadar entah pukul berapa ketika ada yang memegang tanganku. Ruangan cukup gelap karena lampu sudah dimatikan entah oleh siapa. Hanya cahaya bulan yang masuk dari sela-sela jendela kaca yang tidak ada gordennya dan ventilasi ruangan yang cukup besar.

Aku sengaja tidak bergerak dan membiarkan mataku tetap terpejam dengan membukanya sedikit untuk mengintip. Ternyata Kak Nata sedang duduk di sampingku. Aku baru sadar kalau tangan kananku masuk ke dalam celana pramuka sambil memegang kemaluanku, dan itu kebiasaanku saat sedang tidur.

Perlahan Kak Nata menarik tanganku keluar sambil sesekali menatap wajahku. Kelihatannya dia sedikit cemas. Aku masih dalam posisi diam ketika Kak Nata menarik tanganku, dari celah mataku terlihat Kaka Nata menggunakan jaket dan celana panjang. Aroma parfumnya sudah cukup untuk mengetahui kalau laki-laki di sampingku itu benar-benar dia.

Nafasku mengalir lebih cepat ketika Kak Nata perlahan meletakkan jari-jarinya di atas kemaluanku yang masih terbalut celana cokelat itu. Mahasiswa ganteng itu mengelus kemaluanku secara perlahan sementara matanya mengamati wajahku, kelihatannya untuk memastikan kalau aku masih tertidur.

Tanpa perlu berimajinasi lagi penisku sudah mulai mengeras. Kak Nata mulai meremas-remas lembut kemaluanku yang ukurannya sudah tumbuh berkali lipat dibandingkan ketika Peristiwa Salatiga yang entah kenapa mulai membayangiku kembali, hanya saja dalam bentuk yang berbeda.

Sebenarnya aku terkejut dengan kejadian ini. Jujur saja aku beberapa kali berfantasi ria dengan tubuh Kak Nata dalam imajinasiku. Aku tak menyangka ternyata tak perlu bersusah payah mewujudkannya.

Aku merasakan nafas Kak Nata yang tidak beraturan, persis seperti yang aku rasakan ketika menyentuh kemaluan Yudhi. Tapi kali ini sangat berbeda, Kak Nata sudah cukup dewasa serta tampaknya sudah berpengalaman.

Aku sudah tidak sabar menantikan apa yang akan dilakukan Kak Nata selanjutnya. Sementara Kak Nata dengan sabar memainkan tangannya. Bukan hanya tangan kanan yang sedang bermain dengan kemaluanku, tangan kiri Kak Nata juga sudah mendarat di perutku setelah dia menyingkap baju kaos yang aku pakai sehingga perut mulusku terlihat.

Aku berusaha mengendalikan tubuhku yang mulai bergetar karena sentuhan tangan kanan Kak Nata di kemaluanku dan tangan kirinya mengelus perutku. Aku semakin bergairah ketika jari-jari tangan Kak Nata mulai bermain di atas pusarku, dan perlahan-lahan turun masuk ke dalam celanaku. Ada sensasi yang begitu berbeda yang tidak pernah aku rasakan, antara geli dan nikmat. Bahkan ketika jari-jari Kak Nata melewati bulu-bulu lebat yang sudah mulai tumbuh di pangkal kemaluanku ingin rasanya aku menggeliat dan mendesah, untungnya aku masih bisa mengendalikannya.

Aku baru tahu ternyata Kak Nata cukup berani melakukannya. Mungkin saja dia berpikir bahwa aku masih tertidur pulas akibat kelelahan. Sentuhan pertama jari-jari Kak Nata dengan batang kejantananku menambah gairah luar biasa. Rasanya aku ingin bangun dan memeluk Kak Nata dan menindihnya, lalu berhubungan seksual tanpa menggunakan selembar pakaianpun.

Untungnya akalku masih sehat seraya memerintahkanku untuk diam saja, tidak perlu bereaksi. Sedangkan kemaluanku tetap saja menegang sempurna akibat di elus-elus tangan Kak Nata.

Kelihatannya Kak Nata sudah tidak tahan lagi, dia mulai melepaskan kancing dan resleting celanaku lalu membukanya lebar-lebar sehingga memamerkan celana dalamku yang melapisi batang kejantanan yang terlihat telah tegang sempurna.

Kak Nata menekan-nekan kemaluanku yang sudah mengeras dengan telapak tangannya sambil mengamati mataku. Aku masih diam sama seperti tadi, bahkan aku sengaja membesarkan volume nafaskan agar lebih meyakinkan kalau aku masih belum sadar. Sebenarnya aku sudah mengeluarkan percume, cairan kental bening dari ujung penisku, mungkin Kak Nata tidak menyadarinya karena cukup gelap.

Tiba-tiba saja Kak Nata berdiri dan meninggalkanku. Tentu kejadian mendadak itu membuat aku terkejut. Apa mungkin dia sudah puas dan sudah orgasme, ada rasa kecewa dan kesal muncul. Ingin rasanya aku bangun dan memanggil Kak Nata untuk mengajaknya berhubungan seks tanpa harus malu-malu lagi.

( Wiranata, 21 tahun mahasiswa PPL tahun 2016. Gambar hanyalah ilustrasi yang disadur dari google)

Belum sempat aku melakukannya terdengar suara pintu terkunci, dan beberapa saat kemudian Kak Nata sudah berdiri di ujung kakiku. Mahasiswa ganteng ini hanya menggunakan celana dalam ketat tanpa baju. Aku menelan ludah dan nafsuku kembali membara. Tubuh yang dari tadi sore hanya ditutupi beberapa senti celana renang dengan susah payah aku curi-curi pandang, saat ini aku dapat memandangnya dengan puas meskipun hanya disinari cahaya bulan yang masuk melalui jendela dan ventilasi.

Aku memandang kedua otot lengannya yang tampak begitu indah, dadanya yang bidang dan perut mulusnya yang menggoda. Ketika pandanganku mulai turun ke arah senjatanya, detak jantungku bertambah cepat. Aku menyaksikan batang kejantanan Kak Nata yang sudah tegang sempurna. Berdiri lurus mengarah ke pusar. Bahkan bagian ujung penis Kak Nata tampak menyembul dari celana dalamnya yang sempit, kelihatannya ukuran penis Kak Nata cukup panjang.

Kak Nata mulai melebarkan kedua kakiku secara perlahan, sementara tanganku sudah terangkat ke bagian atas. Posisiku terlentang dengan jarak antar kedua kaki cukup jauh. Kak Nata mulai merebahkan tubuhnya di atas tubuhku secara perlahan seperti posisi push up. Aku masih pura-pura tertidur, meskipun kemaluanku masih tegang seperti tadi.

Perlahan tubuh Kak Nata semakin dekat, dan akhirnya penis Kak Nata yang terbungkus celana dalam mendarat di atas penisku. Rasa nikmat tiba-tiba saja mengalir begitu kemaluan Kak Nata bersentuhan dengan kemaluanku.

Dengan perlahan Kak Nata mengesek-gesekan kemaluannya di atas kemaluanku dengan ritme yang begitu teratur. Sesekali penis Kak Nata menekan penisku, bulu-bulu kemaluan Kak Nata yang tembus keluar dari dalam celana dalamnya menambah rasa nikmat ketika saling bergesekan. Penisku semakin mengeras dan mulai melumasi dirinya dengan cairan bening.

Kak Nata mulai berkeringat, karena menahan tubuhnya dalam posisi push up. Tanpa menggunkan baju kedua lengan Kak Nata tepat berada di depanku. Aroma keringat dan ketiaknya terasa begitu tajam, membuat aku semakin terangsang.

Kak Nata terus menggesek-gesekan penisnya di atas penisku dalam posisi push up. Dia semakin mempercepat gesekannya, dan kelihatannya dia sudah dikuasai nafsu birahinya, tiba-tiba saja dia menurunkan tubuhnya hingga tubuhku tertindih seutuhnya. Dia semakin beringas ketika selangkangan dan penisnya menggesek-gesek penisku dengan lebih cepat. Kelihatannya kesabaran dan rasa takutnya telah dikalahkan oleh nafsu birahinya. Bahkan dia meletakkan kepalanya melalui samping leherku dan mencium bagian telingaku.

Aku sudah berada pada puncak birahiku, dan tiba-tiba tubuh Kak Nata bergetar dan menggeliat lalu penisnya berdenyut hebat cukup lama bersamaan dengan denyutan penisku yang juga baru saja menyemburkan sperma kental. Celana dalam kami sama-sama basah, aroma amis spermaku dan Kak Nata menyeruak dalam ruangan itu. Kelihatannya Kak Nata tidak sadar kalau sperma kami bercampur, mungkin saja dia mengira itu semua adalah sperma miliknya. Setelah puas Kak Nata bangun dan mengambil tisu lalu perlahan membersihkan cairan basah yang lengket di celanaku dan mengancingnya kembali seperti semula.

Aku sangat puas malam itu, meskipun Kak Nata tidak sadar bahwa aku menikmatinya. Aku akan melanjutkan tidurku dengan lebih nyenyak setelah bersetubuh dengan Kak Nata. Tubuh yang cukup sering aku bayangkan dalam dunia fatasiku akhirnya aku nikmati malam itu. Aku berkata dalam hatiku, mungkin bila sudah waktunya aku akan menceritakan kejadian malam ini pada Kak Nata dan mengajaknya benar-benar bersetubuh layaknya suami istri. Tapi untuk malam ini, peritiwa tadi sudah cukup, kapan lagi aku digerayangi mahasiswa ganteng, Untuk urusan pertandingan renang, biarlah besok aku memikirkannya.

Bersambung

NB:

Jujur saja saat menulis bagian ini aku sambil membayangkan adegan demi adegan dan ternyata cukup banyak cairan yang keluar dari kemaluanku. Sumpah.

Tinggalkan komentar anda di bawah ya. Terimakasih.