webnovel

Bab 7 Summit Pertamaku

Summit kami lakukan pada sekitar pukul 04.15 WIB. Setelah shalat subuh, kami langsung mulai pendakian menuju puncak Gunung Gede. Rute yang kami tempuh tak begitu jauh dari tenda yang kami dirikan. Sekitar 30 menit kami melakukan perjalanan summit. Jalur summit melewati pepohonan yang rindang dan sudah berbentuk seperti anak tangga. Jalur yang tak begitu lebar membuat kami harus berjalan bergantian dengan para pendaki lain.

Summit pagi itu ditemani dengan rintik gerimis. Meskipun sempat pesimis, tapi tak lama setelah kami melangkahkan kaki dari tenda, rintik gerimis pun mulai reda dan langit mulai cerah. Sesampainya di puncak 2.958 MDPL Gunung Gede, mataku dimanjakan dengan pesona landcape Gunung Gede. Dari puncak, gunung aku bisa melihat Gunung Pangrango, kawah, dan hamparan pepohonan dan rerumputan dari atas sana.

Setelah menikmati keindahan puncak dan matahari terbit yang semakin meninggi, mengintip dan mulai menampakkan keseluruhan cahayanya kami pun memutuskan untuk kembali ke tenda dan bersiap untuk segera berkemas kembali ke ibukota.

Jalan setapak yang basah akibat rintik hujan membuat kami harus melangkah lebih hati-hati dan teliti. Langkah pelan, tapi pasti mengiringi kepergian kami meninggalkan puncak setinggi 2.958 MDPL Gunung Gede.

Banyak yang berkata, jangan ambil apa pun kecuali foto. Jadi, selain foto kami tidak mengambil apa pun. Kami pun tak meninggalkan sesuatu seperti sampah dan coretan-coretan fandalisme. Banyak pendaki yang meninggalkan sampah dan coretan-coretan fanalisme, karena tak semua pendaki adalah pecinta alam. Ada beberapa orang yang mendaki gunung hanya karena ikut-ikutan biar dibilang keren. Ada juga yang memang benar-benar melakukannya karena hobi dan menyukai pemandangan alam, sehingga ia pun menjaga alam di gunung yang didakinya.

Awalnya aku heran melihat tumpukan sampah yang berserakan selama perjalanan di jalur pendakian hingga sampai puncak gunung. Aku pikir sampah sebanyak itu datang dari mana, jika terbawa angin pasti tidak mungkin, mengingat letaknya ada di ketinggian dan berada di daerah yang tidak mudah dijangkau. Masyarakat sekitar yang membuang sampah ke gunung, tidak mungkin juga karena jauh dari pemukiman warga, apa lagi sampai puncak. Setelah berpikir sejenak, aku menduga bahwa sampah tersebut berasal dari para pendaki yang tidak dibawa saat turun gunung.

Tak hanya sampah dan coretan, ada juga pendaki yang meninggalkan "ranjau" sembarangan. Ranjau adalah istilah yang digunakan para pendaki untuk kotoran manusia. Sebagai manusia dan makhluk hidup normal, pastilah kita mengeluarkan sisa-sisa makanan dan minuman yang kita cerna. Nah, begitu pun dengan pendaki yang bukan lain yang juga merupakan manusia normal.

Selama di gunung, pastilah kita tidak bisa menahan diri untuk buang hajat alias Buang Air Kecil (BAK), bahkan Buang Air Besar (BAB) sekalipun. Tak hanya satu hari, terkadang para pendaki menghabiskan 2-3 hari dalam melakukan pendakiannya. Toilet umum pastilah tak bisa kita jumpai selama perjalanan dari awal mulai masuk jalur pendakian hingga puncak gunung. Tentulah para pendaki harus mencari lokasi yang paling tepat untung buang hajat atau urusan ke belakang ini.

Meskipun terlihat sepele, tapi hal ini perlu diperhatikan karena menyangkut orang banyak. Jalur pendakian akan dilewati banyak pendaki yang lalu lalang. Tak semua pendaki akan melihat langkah kakinya ketika berjalan, melainkan memandang ke depan. Sehingga, salah-salah dia akan menginjak "ranjau" yang dibuang sembarangan tersebut. Terutama jika malam hari, area yang gelap gulita dan hanya bergantung pada cahaya senter sebagai alat penerangan, membuat risiko terinjak "ranjau" akan semakin tinggi.

***

Akhirnya, kami tiba lagi di tenda setelah melakukan summit. Sambil membereskan barang-barang bawaan yang sudah tak diperlukan lagi seperti sleeping bag, tenda, dan matras, aku dan Nindi memasak untuk santap sarapan kami. Kami memasak nasi, membuat mie goreng, telur dadar, bikin kopi dan teh untuk menghangatkan tubuh. Itu rencana awalnya, namun karena aku dan Nindi baru pertama kali memasak dengan nesting, kami jadi terlihat kesulitan. Akhirnya, setelah sebagian barang bawaan kami rapi, Indra menggantikan Nindi untuk membantuku memasak. Nesting adalah peralatan memasak sebagai pengganti panci selama camping.

Ketika memasak air untuk membuat kopi dan teh, aku kesulitan untuk mengangkat air panas dari kompor gas. Sehingga, tak sengaja sebagian air panas itu tumpah dan terkena tanganku. Dengan sigap Indra menolongku dan mengobati lukaku agar tidak semakin parah. Entah kenapa saat itu aku sempat berpikir bahwa semakin lama, perhatian Indra semakin berlebihan. Namun, aku tetap mencoba menepis pikiran negatifku, bahwa bisa jadi Indra memberikan perhatian dan kasih sayang lebih kepadaku. Bukan, sekedar perhatian dan kasih sayang sebagai adik atau pun teman masa kecil. Terlebih dengan apa yang dia berikan kepadaku semalam.

Secarik kertas yang diberikan oleh Indra semalam aku buka setelah Nindi terlelap. Dengan sedikit lamunanku akan sikap Indra yang sedikit berbeda, aku mulai mengambil secarik kertas pemberiannya tersebut dari saku celanaku. Aku pun mulai membukanya, lalu kubaca. "Mimpi indah, Ren. Sampai jumpa esok hari. Jangan lupa mimpiin Aku," tulis Indra. Tulisan itu membuatku susah tidur dan hampir terjaga sepanjang malam.

***

Setelah semua matang kami pun segera menyantap hidangan sarapan dengan menu seadanya, tapi nikmatnya luar biasa. Itulah yang kurasakan. Mungkin selama di rumah, menu makanan yang saat itu kunikmati sangatlah biasa, tapi karena rasa lelah, lapar, dan dinginnya udara gunung membuat menu sederhana itu menjadi sangatlah mewah dan nikmat.

Sekitar jam 8 kami selesai berkemas, kami melanjutkan perjalanan pulang. Sempat aku tersandung dan terluka, hingga akhirnya untuk mempersingkat waktu. Kami memutuskan untuk membagi rombongan menjadi dua. Aku hanya ditemani oleh Indra, sementara Andre, Nevan, dan Nindi kembali melanjutkan perjalanan mereka. Keputusan ini diambil karena Andre harus segera kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan pekerjaannya segera (dikejar deadline). Takutnya karena lama di perjalanan, Senin besok kami telat masuk kerja.

Jadi, aku pun akhirnya hanya berdua dengan Indra. Awalnya aku mencoba berjalan, tapi karna lukaku berada tepat di lutut, rasanya amat perih untuk digunakan berdiri tegak, apalagi berjalan. Jalan yang terjal dan licin akibat hujan membuatku terjatuh lalu tergelincir, mengakibatkan luka yang cukup parah. Akhirnya Indra memutuskan untuk menggendongku setelah mengobati lukaku dengan obat seadanya yang kami bawa. Carrier digendong di depan, sementara aku digendong di belakang.

Berhubung kami bawa dua HT (Handy Talky), jadi rencananya tim 1 (Andre, Nevan, dan Nindi) setelah tiba di pos penjagaan akan melaporkan ke petugas bahwa rombongan kami ada yang terluka. Meskipun terpisah, berkat HT kami masih bisa tetap berkomunikasi dan menyampaikan keberadaan terakhir aku dan Indra. Sehingga, mereka dapat menyusul dan membawakan tandu untuk membawaku turun. Sambil mempersingkat waktu dan mumpung jalur dirasa cukup aman dan landai, sehingga memungkinkan untuk berjalan dengan menggendongku. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sesekali jika jalur tampak agak terjal, kami berjalan lebih pelan dan sangat hati-hati.

***

Kakiku sudah mulai enakan, jadi aku meminta Indra untuk menurunkanku dari gendongannya. Aku turun secara perlahan, kemudian berjalan sambil tertatih-tatih. Kurang lebih 20 menit kami berjalan, ada pos peristirahatan. Cukup sepi kala itu, hingga suara burung-burung terdengar jelas dan merdu.

Tiba-tiba Indra bertanya apakah aku merasa senang. "Happy?" tanyanya padaku.

"He'em," jawabku sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Indra tiba-tiba mengeluarkan coklat dan membukakannya untukku. "Hah, kapan kamu bawa coklat?" Aku tak menyadari kapan Indra membawa coklat untukku.

"Ada, sengaja beli sebelum menjemputmu kemarin. Takut Kamu bosan dan pengin ngemil," jawab Indra begitu memikirkanku.

"Memanglah Kamu selalu tahu yang kumau!" salutku atas sikap Indra.

"Sayang … Kamu tak pernah tahu yang Aku mau." Ucapan Indra membuatku sedikit tidak enak hati.

"Hah? Maksudnya? Memangnya Kamu mau apa?" Aku jadi bingung karena pernyataan yang terlontar dari mulut Indra.

"Harus ya Aku jawab? Belum kelihatan selama ini?" Indra seakan memintaku menerka-nerka apa maunya.

"Kamu mau coklat ini juga?" tanyaku sambil menyodorkan coklat yang tinggal separuh itu.

Indra terlihat sedang menghela nafas dan tersenyum perlahan. "Aku mau Kamu!" jawab Indra sambil memakan coklat yang kusodorkan.

Mendengar itu, aku tak mampu berkata-kata lagi. Kami terdiam beberapa saat, hingga akhirnya Indra memulai percakapan kembali.

"Jadi, Kamu kapok enggak naik gunung?" Dia mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Enggak dong! Capek sih, tapi nagih. Mau lagi! Kapan, ya? Hehhehe." Belum juga menyelesaikan pendakian pertamaku, tapi aku sudah merasa ingin melakukannya lagi.

"Sampai rumah saja belum, sudah ngajakin nanjak lagi. Rasain dulu nanti sensasi kagak bisa jongkok setelah sampai rumah."

"Kenapa sampai kagak bisa jongkok? Ini sekarang bisa aja tuh jongkok," ungkapku sambil mempratikkan diri untuk berjongkok, sambil menahan sakit dari dengkulku yang sednag terluka.

***

Akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Tak lama setelah kami berjalan, bala bantuan datang. Aku pun melanjutkan perjalanan dengan berbaring di atas tandu. Untung pos penjagaan sudah tidak terlalu jauh. Selama berbaring di atas tandu, aku hanya menatap langit dan memikirkan perkataan Indra.

Aku bingung harus bersikap seperti apa. Entah senang, cemas, ragu, takut kehilangan, semuanya jadi campur aduk menjadi satu. Aku masih belum tahu akan menjawab apa kalau Indra menanyakan hal yang sama nantinya.

Akhirnya beberapa minggu berlalu begitu saja. Dengan kesibukanku di kantor, aku pun melupakan kisahku dengan Indra di Gunung Gede untuk sementara waktu. Setidaknya, sejenak aku tak perlu ambil pusing pernyataan cinta dari Indra waktu itu.

Karena masih ada rasa pegal-pegal dan linu hasil pertama kali mendaki gunung, aku pun berjalan bagaikan robot. Sangat kaku, akibat menahan rasa sakit. Namun, itu semua tak mengapa, karena pengalaman pertama mendaki ini membuatku merasa ketagihan ingin kembali lagi melakukan pendakian. "Selanjutnya aku bakalan ke Gunung mana lagi, ya? Enggak sabar deh! Tapi, kira-kira nanri bakalan sama siapa lagi dong mendakinya kalau bukan sama Indra. Pasti Ayah Bunda tidak akan mengijinkan. Sedangkan, kalau harus tetap bersama Indra rasanya … hm ... tuhkan malah teringat Indra lagi!" ucapku dalam hati.

***

Benar kata Indra. Sesampainya di rumah, aku tidak bisa jongkok karena kakiku berasa keram. Mungkin efek terlalu lama berdiri dan berjalan selama berjam-jam lamanya. Namun, meskipun rasanya sesakit itu, tidak ada kapoknya jika mengingat momen saat summit. Untung saat itu langit cerah, walaupun sebelumnya sempat gerimis dan mendung. Coba kalau pada saar di puncak cuaca masih tidak mendukung. Pasti nyesek banget rasanya.

Puncak itu layaknya cita-cita dan impian. Selama kita berusaha maksimal dan tetap merencanakan segala sesuatu untuk menggapainya dengan matang, maka kita pasti akan mampu menggapainya. Namun, jika sebelum sampai saja sudah merasa lelah dan menyerah, pasti kita tidak akan mencapai puncak tersebut. Begitu pun dengan cita-cita dan impian kita. Kita tidak akan dapat tercapai tanpa usaha dan kerja keras. Tak lupa, doa harus selalu mengiringi langkah kita agar Tuhan senantiasa meridai.