1 Bab 1 Laju Langkah Ibukota

"Mau jadi apa Kamu, Ren? Naik gunung itu berbahaya dan tak semudah yang Kau pikirkan selama ini. Apalagi Kamu tidak ada pengalaman sedikit pun di bidang itu. Sudahlah, tak perlu berpikir macam-macam. Di rumah saja atau jalan-jalan saja ke mal kalau Kau merasa bosean," kata Bunda yang tidak mengizinkan aku melakukan pendakian.

"Aku sudah bosan, Ma. Sejak kecil selalu saja jalan ke mal kalau lagi bosan. Rena mau menghirup udara segar pegunungan," jawabku tidak ingin menuruti keinginan Bunda untuk tetap di rumah atau di mal saja.

"Terserah Kamu sajalah! Sana tanya pada ayahmu. Kalau memang ayahmu mengizinkan, silahkan saja. Namun, Rena harus berlatih dulu sebelum melakukan pendakian. Belajar dengan yang memang sudah ahli di bidang itu. Persiapkan dirimu dengan matang. Apalagi Kamu jarang sekali berolahraga. Setidaknya kalau Kamu sudah siap, Kamu sudah ada modal untuk mendaki. Tinggal menunggu restu dari ayahmu," kata bunda mengkhawatirkanku dan terlihat mendukungku, tetapi tetap saja enggan memberiku izin.

Seperti kata bunda, aku pun mencoba meminta izin pada ayah untuk melakukan pendakian. "Ayah … Bunda bilang Aku harus minta izin Ayah untuk mendaki gunung. Bunda tidak mau memberiku izin, katanya mau ikut kata Ayah. Boleh ya, Ayah?" Aku mulai merayu ayah yang tampak memasang wajah galaknya.

"Mau mendaki dengan siapa? Berani-beraninya mengajak anak gasid orang mendaki gunung seenaknya. Apa dia tidak tahu bagaimana kami sebagai orang tuamu berusaha sekuat tenaga untuk menjagamu selama ini? Jangankan mendaki gunung … baru digigit nyamuk saja kami sudah sangat khawatir pada kesehatanmu," ungkap ayah yang memberikan jawaban tak jauh berbeda dengan bunda.

Ayah dan bunda memberiku nama Rena. Aku adala seorang karyawan swasta di sebuah perusahaan multinasional di Indonesia. Sebagai seorang gadis yang sejak lahir tinggal di ibukota, aku selalu berkutat dengan hiruk pikuk ibukota. Mulai dari membuka mata hingga mataku kembali terpejam, seakan keramaian dan kemacetan menemaniku menghabiskan waktu.

Perasaan bosan dan penat sudah barang tentu aku rasakan setiap harinya. Namun, apalah dayaku karena tempat tinggalku memang di sini. Demi mencari sesuap nasi pun, aku tetap menjalaninya demi perut laparku yang sering berbunyi. Aku masih beruntung karena masih tinggal bersama ayah dan bunda. Jadi, mereka masih merawatku dengan sangat baik, meskipun sebenarnya sudah waktunya gentian aku yang merawat mereka.

Orang tuaku adalah seorang rantau. Di kala muda, mereka dipertemukan ketika melanjutkan pendidikan di sebuah perguruan tinggi negeri di kota tetangga, lalu memutuskan untuk bekerja di ibukota dan hidup bersama melalui bahtera rumah tangga.

Kadang aku berfikir, apa nantinya kisah cintaku akan sama seperti mereka. Atau kami akan bertemu ditempat kerja? Ah sudahlah, yang tahu hanyalah pemilik skrenario hidupku. Aku yakin, Tuhan telah mempersiapkan yang terbaik untukku di masa depanku nanti.

Orang-orang sering menyebut aku dan anak seusiaku sebagai anak milenial. Sebagai anak milenial, banyak tuntutan yang harus aku jalankan. Salah satunya lebih cepat dalam bekerja, lebih cepat dalam beradaptasi, bisa menerima pendapat ataupun masukan rekan kerja yang sering kali pemikirannya jauh kurang sesuai dengan perkembangan teknologi masa kini karna faktor usia dan harus bekerja secara multi tasking.

Terkadang pekerjaan menumpuk pada kami karena dianggap mampu bekerja lebih cepat daripada senior-senior kami yang sudah tua, terlebih yang telah berkeluarga. Kesal memang, dengan jabatan dan gaji yang sama, tetapi beban kerja kami berbeda. Bodoh memang, karena kami tetap saja menerima dan merasa sungkan jika menolak permintaan itu. Takut dibilang sombonglah, takut dibilang tidak menghormati seniorlah, banyak sekali ketakutan yang akhirnya membuat kami kerepotan sendiri.

Masih beruntung aku tak menjadi milenial seorang diri di devisiku. Ada Irene dan Lukas yang hampir bernasib sama denganku. Jadi, kami bertiga sering pulang kantor bersama dan berpisah di lobi. Karena Lukas yang selalu membawa sepeda motornya, Irene yang setia dengan abang ojolnya (ojek online), dan aku dengan kereta listrikku.

Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan deras dengan angin kencang mengiringi langkahku menuju stasiun kereta. Aku pun bergegas tanpa peduli dengan sekitarku. Tak pelak sesekali bahuku bergesekan dengan bahu calon penumpang lainnya.

Kereta pun datang, tapi gerbong khusus perempuan sudah tak mampu menampung penumpang lagi. Dengan segera aku pun berlari menuju gerbong lain yang masih muat kumasuki. Pintu kereta pun tertutup tak lama setelah aku menaikinya. Kereta pun berangkat menuju stasiun berikutnya.

Sayup-sayup terdengar seseorang memanggil namaku. Suasana yang tak sepadat biasanya pun seakan memudahkanku untuk menemukan sumber suara itu. Niko, pria yang dulu sempat mengisi hati dan mewarnai hari-hariku.

Mata kami pun bertemu dan aku pun menyambut tatapannya dengan senyuman penuh rindu. Berharap malam tak berlalu begitu cepat dan laju kereta seakan inginku hentikan. Namun aku sadar, itu tak mungkin kulakukan.

Seketika gerbong kereta saat itu bagaikan hanya ada kami berdua. Orang-orang tak kukenal yang kuabaikan, lantai kereta yang basah akibat langkah para penumpang dan baju lembab dan dingin yang kukenakan seakan berubah menjadi penuh kehangatan.

Tak lama setelah kami bertutur sapa, bercerita tentang kesibukan kami akhir-akhir ini, kereta yang membawa kami telah sampai di titik pemberhentianku. Dengan terpaksa aku mengucapkan kata pisah dan melambaikan tangan kepada Niko. Sebelum langkah kakiku benar-benar berakhir meninggalkan gerbong kereta, Niko menarik tanganku dan meninggalkan kartu namanya di saku jaketku. Dengan senyuman hangat yang selama ini kurindukan dan lambaian tangan yang mengharapkan pertemuan, Niko memintaku untuk menghubunginya kembali dengan meninggikan ibu jari dan kelingkingnya.

Akhirnya langkah kakiku malam itu berakhir di istana tempatku tinggal (rumah). Setelah membersihkan diri dan bersiap untuk menutup mata, aku mengambil kartu nama yang diberikan Niko sewaktu di atas kereta. Aku pun tak mampu menahan senyuman atas kebahagiaan yang diberikan Tuhan malam ini.

Pasalnya, selama ini aku tidak pernah bermimpi untuk bertemu dengannya lagi setelah kejadian sore itu. Bukan karena tak ingin, tapi aku hanya tak berani bermimpi. Namun, setelah semua berlalu, semakin banyak kisah yang kulalui, akhirnya kini aku tak merasakan ketakutan itu lagi.

Malam itu, mau tak mau aku harus mengingat kejadian di suatu sore yang penuh dengan air mata itu lagi. Niko adalah mantan kekasihku. Hubungan kami baik-baik saja saat itu, bahkan bisa dibilang sangat baik. Karena setelah hampir 3 tahun kami menjalin hubungan kekasih, kami tak pernah meributkan sesuatu dan berujung saling menyalahkan.

Namun sore itu berbeda, Niko memang tak menyalahkanku, dia pun tak mengajakku bertengkar, tetapi dia memberikan undangan pernikahannya dengan orang lain kepadaku. Bayangkan saja, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba dia memberikan undangan itu padaku. Pahit memang menerima kenyataan saat itu. Tanpa alasan sebelumnya, hubungan kami pun berakhir begitu saja.

avataravatar
Next chapter