webnovel

Nol

Berada di dalam kamar setiap hari merupakan suatu hal yang membosankan. Segalanya dikerjakan di kamar. Setelah beraktifitas di luar rumah pasti akan kembali ke kamar. Mulai dari istirahat, ganti baju, makan, sampai mengerjakan tugas pun di kamar. Parah!

Memang, itu merupakan suatu kebiasaan karena kegiatan sehari-hari yang menuntut untuk seperti itu (mungkin hanya aku). Namun, hal itu sebenarnya bisa diatasi dengan berkumpul bersama keluarga, teman-teman atau kerabat tersayang. Hal-hal indah bisa kita lakukan bersama mereka di kala kita butuh refreshing. Tetapi, hal indah itu tak pernah kurasakan lagi karena something. Semua berubah di saat aku harus merantau atau lebih tepatnya pulang kampung. Ini adalah suatu kejadian yang tak pernah ku duga setelah kepergian mama.

***

Mama meninggalkan kami saat umur kami masih kecil. Pada tahun 2006, usiaku baru 13 tahun, sedangkan adikku masih berusia 8 tahun. Sangat tidak adil rasanya saat itu Allah mencabut nyawanya. Mama memang tak pernah mengeluh akan sakit diabetes yang ia derita. Ia merupakan sosok ibu yang tegar dan sangat menyayangi anak-anaknya. Mungkin itu adalah naluri setiap ibu di dunia ini. Namun, hal itu berbeda sekali kurasakan ketika mama yang cerewet, galak, dan suka marah saat perintahnya tak kulaksanakan, mengalami sesak napas yang amat sangatnya!

Layaknya seorang berpenyakit asma. Ia benar-benar membutuhkan oksigen tambahan dini hari kala itu. Aku yang tiba-tiba dibangunkan oleh papa pada pukul satu dini hari kala itu merasa heran dan tak menyangka mama akan mengalami hal kritis seperti itu.

"Nad, Nanad, bangun nak! Lihat Mama cepat! Kenapa tuh si Mama?!" Suara papa agak tergesa-gesa membuatku terbangun akhirnya.

Dengan mata yang masih agak terpejam dan kantuk yang tadinya menguasaiku tiba-tiba berubah menjadi terjaga seketika ketika melihat kondisi mama yang sulit benapas. Aku tak berani bertanya, hanya duduk di tepi tempat tidur. Aku tak bisa berpikir dengan tenang. Aku panik hingga asam lambungku naik dan membuatku menjadi mual. Akhirnya, kuputuskan untuk menelepon bidan terdekat yang kebetulan juga asli orang Minang.

"Pa, nomor bidan Asti ada gak? Kok di sini gak ada? Nad mau tanya, siapa tau dia punya oksigen." Sambil mencari daftar nama bidan tersebut di buku telepon rumah.

"Cari lah, cepat nak!" Sahut papa dari kamar.

"Aduh Pa, gak ada. Nomornya gak nyambung. Kita langsung ke rumahnya aja ya?!"

Dengan sangat kecewa dan sedih, aku pun segera menyiapkan segalanya. Mulai membukakan pintu dan menguncinya kembali. Yang membuatku sedih adalah mama yang tak berdaya untuk berjalan. Jangankan berjalan, bernapas pun ia kesulitan! Badannya seperti tak memiliki tulang untuk menopang dirinya sendiri. Amat, sangat, lemah.

Akhirnya, papa menggendong mama dengan punggungnya. Walaupun agak berat karena badan mama yang berisi, tapi papa tetap berusaha. Itu merupakan kejadian yang sangat miris yang tak pernah kulihat seumur hidupku; mama digendong oleh papa karena ia tak memiliki tenaga untuk berjalan sendiri.

***

Rumah bidan yang hanya sekitar 3 menit saja sampai jika berjalan kaki itu, membuat jantungku dag dig dug bukan kepalang. Asam lambungku pun bertambah naik sehingga membuatku mual. Amat mual.

***

Bidan yang terjaga tengah malam itu akhirnya membawa kabar yang tak menyenangkan.

"Oksigen sudah habis, sudah lama gak ibu isi-isi. Langsung sajalah bawa ke rumah sakit!" tukas bidan Asti.

"Ya Allah, cobaan apa ini??" Aku merintih dalam hati.

Akhirnya, papa segera pulang untuk mengambil sepeda dan menyusul taksi yang biasa ada di Jalan Baru; sebutan nama jalan raya yang membatasi antara jalan raya dengan perumahan di mana kami tinggal. Kami yang hidup sederhana memang hanya memiliki kendaraan sepeda. Papa tak pernah berniat untuk membeli kendaraan lain seperti sepeda motor misalnya, karena ia trauma katanya.

***

Aku sudah sangat cemas ketika melihat papa yang tak kunjung datang. Karena mama pun sedang terduduk lemas didampingi bidan Asti.

Sekitar lima belas menit lamanya, membuatku bertambah cemas karena mama yang selalu menyebutkan,

"Udahlah mati aja. Mati aja ini mah! Haah... Haaah!" Dengan tarikan napas yang berat.

Betapa pilunya hati ini mendengar seorang ibu menyebutkan kata mati di saat kondisinya yang kritis. Betapa pilunya seorang anak yang tak bisa melakukan apa pun di saat seorang ibu membutuhkan pertolongan darurat.

Asam lambungku membuatku tak bisa tenang. Di mana baru pertama kalinya aku seperti cacing kepanasan, mondar-mandir seperti setrikaan yang tak bisa diam sejenak. Aku benar-benar cemas dengan kondisi mama, juga cemas dengan papa yang lama sekali belum juga tiba. Lima belas menit saat itu seperti lima belas jam lamanya aku menunggu.

***

Akhirnya papa pun tiba. Segeralah mama dibawa ke rumah sakit dengan taksi ditemani papa dan bidan Asti. Aku yang hanya mampu berharap semoga mama segera mendapat pertolongan medis, langsung melaju dengan sepeda kembali pulang ke rumah. Setiba di rumah, aku luluh lantah, yang aku ingat hanya Allah. Aku pun memutuskan untuk shalat tahajud dan berdoa demi keselamatan mama.

***