Malam itu, di balik layar komputer, Liora duduk diam sambil menatap avatar barunya yang telah diunggah ke platform Lololope. Ia sudah melihat desain itu sebelumnya, tetapi kali ini berbeda. Saat avatar itu tersenyum dan melambaikan tangan di layar, ada perasaan asing yang muncul dalam dirinya: sebuah campuran rasa bangga, gugup, dan antisipasi.
"Apakah aku benar-benar bisa melakukan ini?" gumamnya. Telinga kelinci kecilnya yang asli sedikit bergerak, sebuah kebiasaan yang muncul setiap kali ia gugup.
Ia mengalihkan pandangan ke chat grup khusus kreator baru di Lololope. Pesan-pesan dari kreator lain muncul tanpa henti, sebagian besar berisi semangat dan antusiasme menjelang debut mereka. Namun, sebagian kecil komentar menunjukkan sisi lain dari dunia ini:
"Kalau debut pertama kalian gagal, jangan harap bisa naik di dunia ini."
"Tekanan dari penonton itu nyata, percaya deh."
Liora menggigit bibirnya. Pesan-pesan itu mengingatkannya bahwa dunia virtual ini tidak hanya menawarkan kebebasan untuk berkarya, tetapi juga ekspektasi besar dari para penonton.
---
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Liora telah mempersiapkan segalanya: jadwal siaran langsung, script singkat untuk perkenalan, dan bahkan beberapa eksperimen sains kecil yang akan ia tunjukkan kepada penonton. Dengan jantung berdebar kencang, ia membuka software streaming dan memulai siaran pertamanya.
Avatar Liora muncul di layar dengan animasi yang halus. Telinga kelincinya bergerak setiap kali ia berbicara, dan ekspresi wajahnya berubah sesuai dengan intonasi suaranya.
"Halo, semuanya! Aku Liora, ilmuwan dari Eluvia!" katanya dengan nada ceria. "Aku baru saja terdampar di dunia virtual ini, jadi aku butuh bantuan kalian untuk menjelajahi tempat ini. Oh, dan jangan lupa, jangan tarik telinga kelinciku, ya!"
Respons dari penonton langsung membanjiri ruang obrolan:
"OMG, avatarnya lucu banget!"
"Liora! Cerita latarmu keren banget. Apa kamu bikin semuanya sendiri?"
"Eksperimen sains? Ini baru unik!"
Liora merasa lega melihat respons positif tersebut. Ia melanjutkan dengan menjelaskan eksperimen kecil yang ia siapkan: mencampur larutan yang menghasilkan cahaya biru terang. Di layar, ia menggunakan animasi khusus yang menampilkan tabung reaksi dan gelembung-gelembung kecil.
"Aku menyebut ini 'Cahaya Eluvia'," jelasnya. "Di dunia asalku, ini digunakan sebagai sumber energi. Tapi di sini, kita bisa menikmatinya sebagai sesuatu yang indah."
Penonton tampak terkesan, dan jumlah mereka terus bertambah. Dari seribu penonton di awal siaran, angka itu melonjak hingga lima ribu dalam waktu kurang dari satu jam.
Namun, tidak semua komentar di ruang obrolan bersifat positif. Di antara pujian dan dukungan, beberapa pesan mulai mempertanyakan keaslian elemen-elemen dalam avatarnya:
"Telinga kelincinya kelihatan terlalu nyata. Itu filter atau apa?"
"Aku penasaran, suara Liora kayaknya nggak sepenuhnya disintesis. Apa ini orang asli?"
Liora membaca komentar-komentar itu dengan jantung berdegup. Ia tahu, mempertahankan rahasia identitasnya akan menjadi tantangan besar.
"Tenang," pikirnya.
Ia menyelesaikan debutnya dengan rasa lega. Ketika siaran berakhir, jumlah penonton terakhir tercatat lebih dari tujuh ribu orang, angka yang jauh melampaui ekspektasinya.
---
Beberapa minggu setelah debutnya, Liora mulai mendapatkan momentum. Video-video yang ia unggah terus menarik perhatian, dan jumlah pengikutnya meningkat secara signifikan. Namun, di balik layar, Liora mulai merasakan tekanan yang semakin besar.
Salah satu masalah terbesar muncul ketika seorang penonton mengunggah cuplikan siarannya di media sosial dengan komentar:
"Ada sesuatu yang aneh dengan Liora. Telinga kelincinya terlalu realistis untuk sebuah avatar. Apakah ini trik baru dari agensi?"
Cuplikan itu menjadi viral, memunculkan diskusi di berbagai forum. Sebagian besar penonton menganggapnya sebagai bagian dari gimmick agensi, tetapi beberapa orang mulai menyelidiki lebih dalam.
Di ruang obrolan khusus kreator, Liora menerima pesan dari Nina, perwakilan agensinya:
"Liora, kami telah memonitor situasi ini. Jangan khawatir, kami akan menangani rumor ini dengan cara yang bijak. Fokus saja pada kontenmu."
Meski Nina berusaha meyakinkannya, Liora tetap merasa cemas. Bagaimana jika seseorang benar-benar menemukan rahasianya?
---
Di tengah kecemasan itu, Liora menerima kabar baik: agensi telah mengatur kolaborasi dengan salah satu Vtuber terbesar di platform, Mika. Mendengar nama itu, Liora hampir tidak percaya. Mika adalah Vtuber yang telah menginspirasinya untuk memulai perjalanan ini, dan sekarang, ia akan bekerja sama dengannya.
Hari kolaborasi tiba, dan siaran langsung dimulai dengan sapaan ceria dari Mika:
"Halo, semuanya! Hari ini aku punya tamu spesial, ilmuwan kelinci favorit kita, Liora!"
Kolaborasi itu berlangsung penuh tawa dan momen-momen lucu. Di tengah permainan, Mika tiba-tiba bertanya, "Jadi, Liora, bagaimana rasanya jadi bagian dari dunia virtual ini? Apa kamu merasa seperti di rumah?"
Liora terdiam sesaat sebelum menjawab dengan senyum kecil, "Aku merasa seperti menemukan tempat di mana aku bisa menjadi diriku sendiri. Dunia virtual ini adalah tempat di mana aku bisa menciptakan sesuatu yang tidak mungkin di dunia nyata."
Jawaban itu disambut tepuk tangan virtual dari para penonton. Namun, di balik senyum Mika.
---
Seiring popularitasnya yang terus meningkat, rumor tentang identitas asli Liora tidak mereda.
Suatu malam, saat membaca komentar di salah satu videonya, ia menemukan sebuah komentar yang membuatnya terkejut:
"Aku punya teori tentang Liora, Bagaimana jika dia bukan manusia biasa ? Bagaimana kalau elemen kelincinya bukan sekadar bagian dari avatarnya?"
Liora merasa jantungnya berhenti sejenak. Komentar itu mendapat ratusan balasan, dengan berbagai teori dan spekulasi.
Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya. "Aku harus tetap tenang. Selama aku tidak membiarkan mereka tahu, semuanya akan baik-baik saja."
Pagi itu, Liora terbangun dengan rasa lega yang jarang ia rasakan selama seminggu terakhir. Ketenarannya di dunia virtual terus melonjak. Dalam waktu singkat, ia telah mengumpulkan lebih dari satu juta pengikut di berbagai platform seperti Gram, Xixi, dan Saluran Whits. Setiap postingan dan video barunya selalu disambut dengan antusias oleh para pendukungnya.
Namun, di balik kesuksesan ini, Liora merasa kelelahan. Jadwal padatnya membuat ia nyaris melupakan acara kolaborasi penting Kedua dengan Mika yang dijadwalkan dua hari lagi. Semua ini membuatnya sadar bahwa meskipun dunia virtual memberi kebebasan untuk mengekspresikan diri, ada harga yang harus dibayar: waktu, energi, dan keseimbangan kehidupan nyata.
Sore itu, setelah menyelesaikan siaran langsung Q&A untuk merayakan pencapaian satu juta pengikut, Liora duduk di kursi kamarnya. Ia menggenggam secangkir cokelat hangat sambil memandangi layar laptopnya yang menampilkan daftar komentar penonton.
"Selamat, Liora! Kamu benar-benar menginspirasi banyak orang."
"Kapan merch Liora diluncurkan? Kami tidak sabar!"
"Semoga Liora terus sukses di dunia virtual !"
Komentar-komentar itu membuatnya tersenyum,
---
Keesokan harinya, tanpa sepengetahuan orang tuanya, Liora mengambil keputusan besar. Ia memutuskan untuk mendaftar ke SMA Cahaya Cendekia, sebuah sekolah yang cukup jauh dari rumahnya. Keputusan ini muncul tiba-tiba, seperti dorongan batin yang tidak bisa ia abaikan.
"Aku butuh keseimbangan," gumamnya sambil menatap formulir pendaftaran yang baru saja ia unduh dari situs resmi sekolah itu. "Aku tidak bisa terus hidup hanya di dunia virtual. Aku perlu sesuatu yang nyata."
SMA Cahaya Cendekia adalah salah satu sekolah yang terkenal dengan program seni dan teknologinya. Liora tertarik pada kombinasi tersebut, terutama karena ia percaya bahwa pengalaman di sekolah itu dapat membantunya mengembangkan kemampuan yang juga relevan dengan dunia Vtuber.
Tanpa membuang waktu, ia mengisi formulir pendaftaran dengan hati-hati. Untuk bagian alasan mendaftar, ia menulis:
"Saya ingin mengeksplorasi potensi diri saya lebih jauh, terutama dalam bidang seni dan teknologi. Saya percaya bahwa SMA Cahaya Cendekia dapat memberikan lingkungan yang mendukung untuk mencapai tujuan saya."
Setelah mengunggah formulir, Liora menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia merasa sedikit gugup, tetapi juga bersemangat.
---
Dua hari kemudian, Liora memutuskan untuk pergi ke sekolah itu sendiri. Ia sengaja tidak memberitahu ibunya, karena takut keputusannya akan dianggap sebagai langkah impulsif. Dengan mengenakan pakaian kasual dan tas kecil di pundaknya, ia naik bus menuju SMA Cahaya Cendekia.
Sekolah itu berdiri megah di tengah kota, dengan bangunan modern yang dihiasi kaca-kaca besar dan taman luas di sekitarnya. Liora berdiri di depan gerbang sekolah, mengamati siswa-siswa yang berlalu-lalang dengan seragam mereka.
"Ini dia," gumamnya sambil menguatkan diri.
Di ruang pendaftaran, seorang petugas administrasi menyambutnya dengan senyuman. "Selamat datang. Apa kamu datang untuk menyerahkan dokumen pendaftaran?"
Liora mengangguk dan menyerahkan map berisi dokumen yang telah ia persiapkan. "Ya, ini semua persyaratan yang diminta."
Petugas itu memeriksa dokumen-dokumen tersebut dengan teliti. "Semua dokumen sudah lengkap. Selanjutnya, kamu akan diminta untuk mengikuti wawancara singkat dan tes keterampilan."
Liora merasa gugup mendengar itu, tetapi ia mengangguk dengan tegas. "Baik, kapan tesnya diadakan?"
"Sekarang, jika kamu bersedia," jawab petugas itu.
---
Tes keterampilan yang dihadapi Liora ternyata cukup menantang. Ia diminta untuk membuat presentasi sederhana tentang bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mendorong kreativitas. Dengan spontan, Liora memanfaatkan pengalamannya sebagai Vtuber untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"Teknologi memberi kita kebebasan untuk menciptakan identitas baru dan berbagi cerita dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya," jelasnya. "Sebagai seorang kreator virtual, saya bisa menjangkau orang-orang dari berbagai belahan dunia, menginspirasi mereka, dan menciptakan komunitas yang positif."
Para penguji tampak terkesan dengan jawabannya. Salah satu dari mereka bertanya, "Apa kamu memiliki pengalaman langsung dengan teknologi semacam itu?"
Liora tersenyum kecil. "Saya pernah mencoba beberapa proyek kecil. Saya rasa saya cukup terbiasa dengan dunia teknologi dan seni digital."
Ia sengaja tidak menyebut identitasnya sebagai Vtuber, karena khawatir hal itu akan mengundang terlalu banyak perhatian.
Setelah tes selesai, ia melanjutkan ke sesi wawancara. Kepala program seni dan teknologi sekolah itu, seorang pria paruh baya dengan kacamata tebal, memimpin wawancara tersebut.
"Apa motivasi terbesarmu untuk mendaftar di sini?" tanyanya.
Liora menjawab dengan jujur, "Saya ingin menemukan keseimbangan. Dunia saya saat ini penuh dengan kreativitas, tetapi sebagian besar bersifat digital. Saya merasa bahwa dengan belajar di sini, saya bisa mendapatkan perspektif baru dan memperdalam kemampuan saya di bidang yang saya cintai."
Wawancara berlangsung selama 30 menit, dan ketika semuanya selesai, Liora merasa lega. Ia mengucapkan terima kasih kepada penguji dan petugas sebelum meninggalkan gedung sekolah.
---
Setelah kembali ke rumah, Liora langsung menuju kamarnya. Hari itu, ia telah melewatkan jadwal persiapannya untuk kolaborasi dengan Mika, tetapi ia merasa bahwa waktu yang ia habiskan untuk mendaftar ke sekolah itu sangat berharga.
Ketika ia membuka laptopnya, notifikasi dari Nina, manajernya di Lololope, langsung muncul.
"Liora, ada update tentang kolaborasi dengan Mika. Kami butuh konfirmasi dari kamu besok pagi."
Liora mendesah panjang.
Sambil menatap layar laptopnya, Liora bergumam, "Aku tidak tahu apakah ini langkah yang benar, tapi aku ingin mencoba. Dunia ini terlalu luas untuk hanya berada di satu tempat."
Malam itu, suasana rumah Liora begitu sunyi. Kelelahan setelah hari yang panjang, ia tidak sadar ketika kantuk mulai mengambil alih tubuhnya. Dalam posisi menghadap laptop, Liora tertidur lelap di kursinya, masih mengenakan headphone yang menggantung di lehernya.
Di luar kamar, ibunya, Nadira, melewati pintu yang sedikit terbuka. Dengan penasaran, ia mengintip ke dalam. Ia melihat Liora tertidur dengan kepala bersandar di meja, layar laptopnya masih menyala terang, menampilkan halaman dashboard Vtube miliknya.
Nadira tersenyum kecil, kemudian mendekat untuk memastikan anaknya baik-baik saja. Namun, matanya teralihkan ke layar laptop, yang menunjukkan berbagai notifikasi, termasuk statistik performa siaran langsung terakhir Liora. Angka-angka itu memukau: jumlah penonton 1 juta, likes puluhan ribu, dan komentar-komentar positif yang terus bertambah.
"Anak ini… dia melakukan semua ini sendiri ?" gumam Nadira pelan.
Ia mendekati meja, tetapi pandangannya tertuju pada tumpukan dokumen di sudut meja. Nadira mengambil dokumen tersebut dan membaca sekilas. Matanya terbelalak saat melihat judulnya: Formulir Pendaftaran SMA Cahaya Cendekia.
"Dia… mendaftar sekolah favorit itu sendirian ?" Nadira berbisik pada dirinya sendiri, mencoba mencerna informasi ini.
Nadira segera menuju ruang tamu, di mana Arya, suaminya, sedang membaca berita di tablet. Dengan wajah yang masih terkejut, ia menunjukkan formulir tersebut kepada Arya.
"Arya, lihat ini. Liora mendaftar ke SMA Cahaya Cendekia sendirian, tanpa bilang apa-apa ke kita," ujar Nadira dengan nada bingung.
Arya mengambil formulir itu, membacanya dengan tenang. Alih-alih menunjukkan rasa terkejut, ia tersenyum tipis. "Biarkan saja, Nadira. Anak kita sudah besar. Dia tahu apa yang dia lakukan," katanya dengan suara penuh kebanggaan.
"Tapi dia tidak bilang apa-apa. Bagaimana kalau dia menghadapi masalah sendiri?" Nadira terlihat khawatir.
Arya meletakkan tablet di meja, menatap istrinya dengan lembut. "Liora bukan anak kecil lagi. Dia sudah membuktikan dirinya. Lihat saja performa Vtube-nya. Dia berhasil menarik jutaan orang. Aku yakin, dia bisa mengatasi ini."
Nadira terdiam sejenak, kemudian mengangguk perlahan. Meski sedikit khawatir, ia memutuskan untuk mendukung langkah anaknya.
---
Hari berikutnya, sekitar pukul 2:30 dini hari, Liora tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Ia merasa sedikit bingung, tetapi ponselnya yang bergetar di meja menarik perhatiannya. Sebuah notifikasi dari aplikasi Whits muncul: pesan langsung dari seseorang bernama Mika.
Liora memandang layar dengan alis terangkat. Mika? Sudah lama sekali aku tidak berbicara dengannya… pikirnya. Mika adalah sahabat dekat Liora saat masih SMP di MTS Raudlatul Qur'an, tetapi mereka kehilangan kontak setelah lulus.
Dengan cepat, Liora membuka pesan tersebut.
"Liora, aku ingin mengaku sesuatu. Aku baru sadar setelah melihat video-videomu di Gram dan Whits. Aku… sebenarnya adalah Mika, Vtuber yang kamu idolakan selama ini."
Jantung Liora seakan berhenti berdetak. Matanya menatap pesan itu dengan tak percaya. Mika? Vtuber terkenal itu adalah sahabatnya sendiri? Ia segera membalas pesan itu tanpa pikir panjang.
"Mika?! Maksudmu, kamu adalah Mika yang Vtuber itu? Bagaimana bisa? Kenapa kamu tidak pernah bilang apa-apa?"
Balasannya datang dengan cepat.
"Maaf, Liora. Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku merahasiakan ini sejak SMP, bahkan saat kita sering mengobrol. Aku takut hal ini akan mengubah persahabatan kita."
Liora membaca pesan itu dengan napas tertahan. Perasaan campur aduk memenuhi pikirannya: bingung, marah, tapi juga penasaran.
"Kenapa kamu menyembunyikannya? Apakah karena aku, atau ada alasan lain?" tanyanya.
"Bukan karena kamu, Liora. Tapi karena aku ingin menjaga keseimbangan. Saat kita masih di MTS Raudlatul Qur'an, aku mulai tertarik dengan dunia virtual. Tapi sekolah kita cukup ketat, dan aku takut ini akan dianggap tidak pantas."
Liora terdiam. Ia mengingat masa-masa mereka di MTS, di mana aturan agama dan etika memang menjadi bagian penting dari kehidupan sekolah.
"Tapi kenapa kamu tidak pernah cerita? Bukankah kita sahabat?" tulis Liora lagi, kali ini dengan nada lebih emosional.
Mika membalas dengan jujur.
"Aku ingin cerita, tapi aku takut kamu akan melihatku berbeda. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa sukses dulu sebelum memberi tahu siapa pun. Aku pikir itu caranya. Tapi ternyata aku salah. Aku malah kehilangan kesempatan untuk berbagi ini denganmu lebih awal."
Liora menarik napas panjang. Ia tidak tahu harus merasa apa, tetapi satu hal yang ia yakini: ia harus mendengarkan Mika sampai selesai.
---
Percakapan mereka berlangsung lama hingga menjelang subuh. Mika menjelaskan bagaimana ia memulai perjalanan sebagai Vtuber di tahun-tahun terakhir mereka di SMP. Ia menggunakan waktu luangnya untuk mempelajari software animasi, desain karakter, dan bahkan teknik streaming, semuanya secara diam-diam.
"Aku takut ketahuan guru atau orang tua, jadi aku hanya melakukannya saat larut malam," tulis Mika.
Ia juga menjelaskan alasan mengapa ia terus menyembunyikan identitasnya meskipun sudah sukses. "Aku takut mereka tidak akan memahami apa yang aku lakukan. Tapi saat melihatmu menjadi seorang Vtuber juga, aku merasa ada harapan bahwa aku bisa jujur."
Liora membaca pesan itu dengan hati yang semakin terbuka. Ia mulai memahami tekanan yang Mika rasakan.
"Mika… aku tidak marah. Aku hanya merasa sedikit kecewa karena kamu tidak mempercayai aku. Tapi aku paham sekarang. Dan aku bangga padamu."
Pesan itu disambut oleh Mika dengan rasa lega yang besar.
"Terima kasih, Liora. Aku juga bangga padamu. Kamu berhasil menciptakan sesuatu yang hebat dalam waktu singkat. Kalau kamu butuh bantuan, aku selalu ada."
Liora tersenyum kecil.
---
Ketika pagi tiba, Liora duduk di mejanya, memandangi laptop yang masih menyala. Percakapannya dengan Mika memberinya banyak hal untuk dipikirkan.
"Aku ingin membuat sesuatu yang lebih besar. Tidak hanya untukku, tapi juga untuk orang-orang yang mendukungku," gumamnya.
Ia mulai merancang jadwal baru, menambahkan ide-ide konten yang lebih kreatif, dan bahkan mengusulkan kolaborasi dengan Mika.
Pagi itu, rumah Liora masih tenang. Matahari baru mulai muncul, menyinari tirai kamar yang sedikit terbuka. Di dalam kamar, Liora duduk di meja belajarnya, laptop menyala di depannya. Namun, raut wajahnya terlihat tidak biasa. Matanya sayu, tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba menggerakkan mouse.
"Kenapa aku pusing banget, ya?" gumam Liora pelan, sambil memijat pelipisnya.
Ia merasa kepalanya berputar-putar seperti sedang di atas komidi putar yang rusak. Tapi, dengan keras kepala, ia tetap memaksakan diri. Tangannya mengarahkan kursor ke salah satu folder di layar, namun sebelum sempat mengklik, pandangannya gelap.
Liora langsung jatuh ke lantai dengan bunyi berdebam pelan.
Nadira, yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, langsung mendengar suara itu. Perasaan panik menyelimutinya. Ia bergegas ke kamar Liora, membuka pintu dengan cepat. Di sana, ia melihat putrinya terbaring di lantai, tidak sadarkan diri.
"Ya Allah, Liora!" Nadira berlutut, mengguncang tubuh Liora dengan cemas. Ketika tidak ada respons, ia langsung mengambil ponselnya dan menghubungi ambulans.
---
Di rumah sakit, Liora segera dibawa ke ruang gawat darurat. Nadira mengikuti dengan napas terengah-engah, hatinya penuh kekhawatiran. Beberapa perawat memintanya menunggu di luar ruang pemeriksaan.
Nadira berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, menggigit kuku jari telunjuknya. "Kenapa dia nggak bilang kalau sakit? Apa dia terlalu sibuk sampai lupa jaga kesehatan?" pikirnya.
Ia tidak memberi tahu Arya tentang kejadian ini. Bukannya tidak percaya pada suaminya, tapi Nadira tahu Arya sedang sibuk dengan proyek besar di tempat kerja. Ia tidak ingin menambah beban pikiran Arya sebelum tahu kondisi Liora lebih jelas.
Setelah hampir satu jam menunggu, seorang dokter keluar dari ruangan. Nadira langsung menghampiri.
"Gimana kondisi anak saya, Dok?" tanyanya cepat.
Dokter itu tersenyum tipis. "Kondisi Liora stabil, Bu. Tapi sepertinya dia kelelahan parah. Kemungkinan karena kurang tidur dan stres berlebihan. Kami sarankan dia istirahat total dulu, ya."
Nadira menghela napas panjang, antara lega dan masih cemas. "Baik, Dok. Saya akan pastikan dia istirahat."
---
Liora terbangun perlahan di ruang rawat inap. Pandangannya masih buram, tapi ia bisa merasakan tempat tidur empuk di bawah tubuhnya. Kepalanya masih terasa berat, seperti ada batu besar yang menindih.
Ia mencoba mengingat apa yang terjadi, tapi yang muncul hanyalah potongan-potongan kabur: suara ibunya, lampu terang di rumah sakit, dan bunyi mesin monitor yang berdetak.
Ketika ia hendak memejamkan mata lagi, ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur mulai bergetar. Liora melirik layar, yang menampilkan nama penelepon: "Lololope Management".
Meski tubuhnya masih lemah, Liora mengulurkan tangan dengan perlahan untuk mengangkat telepon.
"Halo…" suaranya pelan, hampir seperti bisikan.
Di seberang, suara seorang wanita terdengar ceria tapi juga profesional. "Halo, Liora! Ini aku, Vina, wakil dari agensi Lololope. Apa kabar? Eh, kamu lagi sibuk nggak?"
Liora menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku lagi… istirahat. Ada apa ya, Kak Vina?"
"Oh, syukurlah kamu bisa angkat. Kita mau kasih update soal beberapa perubahan penting, nih. Jadi gini, ya. Tim kita udah diskusi sama desainernya, dan kita pikir desain avatar kamu bakal lebih keren kalau dibuat sedikit beda."
Liora mengerutkan kening. "Maksudnya diubah gimana, Kak?"
Vina menjelaskan dengan antusias, "Jadi, kita bakal kasih elemen yang lebih mencerminkan tema ilmuwan kamu. Contohnya, lab coat kamu bakal kita ganti jadi sweater yang lebih kasual tapi tetap keliatan keren. Trus, ada tambahan efek hologram di sekitar karakter kamu, biar nuansa 'laboratorium' makin kuat."
Liora mendengar itu dengan setengah bingung, tapi ia mencoba membayangkan. "Sweater? Tapi aku udah suka sama desain jaketku yang sekarang…"
"Iya, kita ngerti," kata Vina cepat. "Tapi desain ini bakal bikin karakter kamu keliatan lebih relatable buat penonton. Kamu tetep bakal punya vibe ilmuwan, tapi lebih santai dan fresh."
Liora tidak langsung menjawab. Ia merasa pendapatnya terpotong, tapi di sisi lain, ia tahu agensi hanya ingin yang terbaik untuknya.
"Kalo aku nggak setuju, gimana?" tanyanya akhirnya.
Vina terdiam beberapa detik sebelum menjawab, "Kita bisa negosiasi, kok. Ini kan kolaborasi antara kreator sama tim desain. Tapi aku saranin kamu coba lihat dulu konsep baru ini, ya. Nanti aku kirim draft-nya ke email kamu."
"Ya udah, aku liat dulu aja nanti," jawab Liora lemah.
---
Setelah telepon berakhir, Liora menatap langit-langit kamar rumah sakit. Kepalanya masih terasa berat, tapi pikirannya kini dipenuhi berbagai hal.
"Kenapa aku harus terlalu sibuk sampai begini ?" gumamnya pada diri sendiri.
Liora mulai menyadari bahwa selama ini ia terlalu memaksakan diri untuk menjalani semuanya: jadwal siaran, mengelola media sosial, memenuhi ekspektasi agensi, hingga memikirkan kehidupannya di dunia nyata. Ia merasa bahwa dirinya terjebak di antara dua dunia tanpa tahu bagaimana menyeimbangkannya.
Beberapa menit kemudian, Nadira masuk ke kamar dengan membawa termos kecil berisi teh hangat. Wajah ibunya terlihat lega melihat Liora sudah bangun.
"Kamu tuh kenapa, sih? Kok bisa sakit sampe pingsan? Mama khawatir banget, tau nggak," kata Nadira sambil menuangkan teh ke dalam cangkir kecil.
Liora hanya menunduk. "Maaf, Ma. Aku nggak jaga kesehatan. Aku cuma pengen semuanya berjalan lancar, itu aja…"
Nadira duduk di samping tempat tidur, menatap putrinya dengan lembut. "Liora, apa pun yang kamu lakuin, kamu nggak perlu memaksakan diri. Mama sama Papa nggak pernah maksa kamu harus jadi yang terbaik. Yang penting kamu bahagia, ngerti?"
Mata Liora mulai berkaca-kaca. Ia mengangguk pelan. "Iya, Ma. Aku ngerti."
Nadira tersenyum, lalu menyentuh kepala Liora dengan lembut. "Sekarang kamu istirahat dulu. Kalau kamu mau cerita atau butuh bantuan, Mama ada di sini, oke?"
"Oke, Ma…" jawab Liora dengan suara pelan.
Beberapa jam berlalu sejak Liora sadar di kamar rawat inap. Nadira, ibunya, duduk di samping tempat tidur dengan wajah penuh kecemasan sambil memperhatikan setiap gerak-gerik Liora yang masih lemah. Suara mesin monitor kesehatan di sudut ruangan menjadi satu-satunya pengisi keheningan.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Seorang dokter, pria berusia lima puluhan dengan jas putih bersih dan clipboard di tangan, masuk dengan ekspresi serius. Nadira langsung berdiri, mencoba membaca ekspresi dokter itu, tetapi sulit ditebak.
"Bu Nadira, saya mau bicara soal kondisi Liora," ujar dokter dengan nada pelan tapi tegas.
Nadira mengangguk cepat. "Gimana, Dok? Dia baik-baik aja, kan ?"
Dokter itu menarik napas dalam. "Kami sudah melakukan beberapa tes tambahan untuk memastikan kondisi Liora. Ternyata, ini bukan sekadar efek kelelahan biasa. Liora mengalami anemia aplastik, yaitu kondisi di mana sumsum tulangnya tidak menghasilkan cukup sel darah merah."
Nadira tertegun. Kata-kata dokter itu seperti petir yang menyambar di siang bolong. "Anemia… aplastik? Maksudnya, ini serius banget, Dok?"
Dokter mengangguk perlahan. "Iya, Bu. Ini cukup serius. Kalau tidak ditangani dengan baik, bisa menimbulkan komplikasi. Untuk sekarang, dia butuh pengobatan intensif, termasuk transfusi darah dan obat-obatan tertentu untuk mendukung fungsi tubuhnya."
Air mata mulai mengalir di pipi Nadira. "Tapi kenapa bisa sampai begini, Dok? Apa karena dia terlalu capek?"
"Salah satu penyebabnya memang bisa dari kelelahan kronis, pola makan yang tidak teratur, atau bahkan stres yang berlebihan. Saya sarankan Liora harus benar-benar istirahat total. Jangan ada aktivitas berat dulu, termasuk hal-hal yang bikin dia stres," jelas dokter dengan nada lembut.
Nadira mengangguk, mencoba menahan tangisnya. Ia menatap Liora yang terbaring di tempat tidur, terlihat begitu rapuh. Dalam hati, ia berjanji akan melakukan apa pun untuk memastikan anaknya pulih.
---
Beberapa saat setelah dokter keluar, ponsel Liora kembali bergetar di meja samping tempat tidur. Meski tubuhnya masih lemah, Liora meraih ponselnya dengan perlahan. Nadira memperhatikannya dari dekat, tapi tidak menghentikannya.
Liora membuka notifikasi pertama yang muncul dari email agensinya, Lololope. Judulnya mencuri perhatiannya: "Pembaruan Kebijakan Agensi dan Desain Avatar Baru".
Meski kepalanya masih terasa berat, Liora mulai membaca email itu.
Pembaruan Desain Avatar
"Desain baru untuk avatar kamu sudah selesai. Sweater lab yang lebih kasual dengan aksen hologram berhasil menonjolkan sisi ilmuwan modern tanpa menghilangkan keimutan karakter. Kami juga menambahkan efek visual baru: hologram molekul dan tabung reaksi yang muncul saat kamu bergerak. Ini akan bikin karakter kamu lebih unik dan stand out di antara kreator lain."
Kebijakan Baru Agensi
Di bawah pembaruan desain, ada poin-poin baru yang bikin Liora sedikit kaget:
1. Kewajiban Konten Mingguan: Setiap kreator diwajibkan membuat minimal tiga video baru per minggu, baik siaran langsung maupun unggahan rekaman.
2. Kolaborasi Wajib: Kreator dengan performa tinggi harus berpartisipasi dalam kolaborasi yang ditentukan oleh agensi, minimal satu kali dalam sebulan.
3. Kontrol Desain Karakter oleh Agensi: Mulai sekarang, perubahan desain avatar tidak hanya ditentukan oleh kreator, tapi juga harus mendapat persetujuan penuh dari tim desain agensi.
4. Penalti untuk Keterlambatan: Jika ada jadwal yang terlewat tanpa alasan jelas, kreator akan menerima penalti berupa pemotongan pendapatan atau pengurangan prioritas promosi.
Liora mengernyit membaca poin-poin itu. Perubahan ini terasa jauh lebih ketat daripada yang ia bayangkan.
---
Saat Liora masih mencoba mencerna kebijakan agensi itu, notifikasi lain muncul di ponselnya. Kali ini dari email resmi SMA Cahaya Cendekia. Dengan napas pelan, ia membuka email tersebut.
"Selamat! Anda telah diterima sebagai peserta didik baru di SMA Cahaya Cendekia untuk tahun ajaran ini."
Liora tersenyum kecil. Di tengah semua kekacauan dan tekanan yang ia rasakan, kabar ini seperti cahaya kecil di ujung terowongan gelap. Namun, senyum itu segera memudar ketika ia menyadari sesuatu: bagaimana ia akan menjalani kehidupan sekolah dengan kondisi kesehatannya yang sekarang?
Nadira, yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya bertanya. "Ada apa, sayang? Kok kelihatan bingung lagi?"
Liora menatap ibunya dengan tatapan lemah. "Aku diterima di SMA Cahaya Cendekia, Ma. Tapi… aku nggak yakin bisa sekolah di sana sekarang."
Nadira tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan Liora. "Kamu nggak perlu pikirin itu dulu. Fokus sembuh dulu, ya. Sekolah itu kan bisa menunggu, tapi kesehatan kamu yang utama."
"Tapi, Ma… kalau aku nggak mulai sekarang, aku takut kesempatan itu hilang," ujar Liora pelan.
"Kamu denger Mama dulu. Semua ini bisa kita atur nanti. Sekarang, yang penting kamu sembuh. Mama sama Papa pasti bantu kamu buat ngejar mimpi kamu lagi nanti," Nadira menegaskan.
---
Malam itu, Liora hanya bisa terbaring sambil menatap langit-langit kamar rawat inap. Pikirannya dipenuhi berbagai hal: kebijakan baru agensinya, desain avatar yang diubah tanpa persetujuannya, dan penerimaan di sekolah yang selama ini ia impikan.
"Gimana caranya aku bisa ngejalanin semuanya ?" gumamnya pelan.
Ia merasa seperti berada di tengah lautan, ditarik ke segala arah oleh ombak besar. Dunia virtual yang awalnya menjadi pelarian dari tekanan hidup kini justru menjadi sumber stres baru. Di sisi lain, dunia nyata memberinya tantangan yang tidak kalah berat: kesehatannya, sekolah barunya, dan harapan orang tuanya.
Sambil memejamkan mata, Liora menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa ini bukan akhir dari segalanya, tapi ia harus membuat keputusan besar dalam waktu dekat.
"Aku harus belajar bilang tidak… aku nggak bisa terus-terusan memaksain diri," pikirnya akhirnya.
Malam itu, Liora akhirnya tertidur setelah semua kekacauan yang menguras fisik dan pikirannya. Lampu kamar rawat inap sudah diredupkan, suara mesin monitor kesehatan berdetak pelan, menemani tidurnya yang tampak gelisah.
Namun, di dalam mimpi, ia merasa berada di dunia yang sama sekali berbeda.
Liora berdiri di tengah taman yang begitu indah, dipenuhi bunga-bunga berwarna-warni yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Langit biru tanpa awan, dan angin sepoi-sepoi membawa aroma segar dari bunga-bunga itu. Di depannya, berdiri seorang laki-laki. Sosok yang begitu tampan, dengan senyum yang cerah, seperti matahari pagi.
Laki-laki itu memegang tangannya dengan lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Liora, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi, aku nggak bakal ninggalin kamu."
Liora tersenyum, merasakan kebahagiaan yang sulit dijelaskan. Hatinya terasa hangat, seperti dunia ini diciptakan khusus untuknya. Mereka berdua berjalan menyusuri taman, berbicara tentang mimpi-mimpi, harapan, dan masa depan yang cerah.
Tapi kebahagiaan itu tiba-tiba berubah. Langit yang tadinya biru mulai gelap, bunga-bunga layu, dan angin yang sejuk berubah menjadi dingin menusuk. Liora merasa dunianya berguncang.
Ia melihat bayangan dirinya yang lebih muda. Seorang Liora kecil, duduk di sebuah sudut ruangan gelap dengan wajah penuh air mata. Di kejauhan, ia melihat sosok Nadira dan Arya, orang tuanya, berjalan menjauh. Mereka tidak menoleh, hanya terus berjalan hingga menghilang dari pandangan.
"Mama… Papa… Jangan pergi!" teriak Liora, mencoba mengejar mereka. Tapi kakinya seperti tertahan oleh sesuatu.
Ruangan itu berubah menjadi gelap gulita. Hanya ada satu cahaya di tengah ruangan, menyoroti seorang laki-laki yang mendekatinya. Liora kecil yang menangis diangkat oleh laki-laki itu, tapi tidak dengan pelukan seorang ayah. Laki-laki itu tersenyum dengan cara yang aneh, bukan seperti senyum hangat yang ia lihat sebelumnya.
"Aku akan menjagamu, Liora," katanya. "Tapi bukan sebagai anak… melainkan sebagai istriku."
Liora merasa seluruh tubuhnya merinding. Suara laki-laki itu bergema di seluruh ruangan. Dalam mimpi itu, ia merasakan rasa takut yang begitu nyata.
Namun, sebelum ia bisa memahami apa yang terjadi, adegan berubah lagi.
---
Sekarang, Liora berada di sebuah ruangan besar yang tampak seperti laboratorium. Tapi ini bukan laboratorium biasa. Di tengah ruangan, berdiri sebuah meja emas yang memancarkan cahaya aneh. Di atas meja itu, ada sosok bayangan hitam, berdiri dengan aura mengerikan.
Bayangan itu memegang sesuatu—seperti tabung reaksi besar yang berisi cairan berwarna merah darah. Di sebelahnya, ada tumpukan catatan penuh dengan simbol dan diagram yang membingungkan. Liora merasa ngeri saat melihat salah satu catatan itu: sebuah ilustrasi tentang DNA yang dipisah-pisahkan dan digabungkan dengan sesuatu yang tidak ia kenali.
"Penciptaan sempurna tidak membutuhkan moral. Sains adalah kekuatan sejati," suara bayangan itu menggema di ruangan.
Liora merasa dirinya tidak bisa bergerak, hanya berdiri di sudut ruangan sambil menonton. Cairan dalam tabung reaksi itu mulai mendidih, dan Liora mendengar suara jeritan yang memekakkan telinga—bukan suara manusia, tapi sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
Bayangan itu berbalik, menatap langsung ke arah Liora. Meski wajahnya tidak jelas, tatapan itu membuat darah Liora seperti membeku.
"Kamu… adalah bagian dari eksperimen ini," kata bayangan itu, suaranya berat dan penuh ancaman.
---
Liora terbangun tiba-tiba. Nafasnya terengah-engah, keringat membasahi dahinya meski AC di kamar rumah sakit terasa dingin. Ia memegang dadanya, mencoba menenangkan diri.
"Mimpi apa barusan ?" gumamnya pelan, suaranya gemetar.
Pandangannya menyapu ruangan, memastikan ia masih berada di dunia nyata. Mesin monitor kesehatan berdetak stabil, dan suara langkah perawat di koridor mengingatkan bahwa ia masih aman. Tapi perasaan takut dari mimpinya belum hilang.
Nadira yang sedang duduk di sofa kecil di sudut ruangan segera mendekat. "Liora, kamu kenapa? Mimpi buruk, ya?"
Liora mengangguk pelan, masih mencoba memahami apa yang barusan ia alami. "Ma… tadi aku mimpi aneh banget. Rasanya kayak nyata banget."
"Mimpi apa?" tanya Nadira lembut sambil membelai rambut Liora.
Liora menggeleng. "Aku nggak tahu… tapi kayaknya itu bukan mimpi biasa. Ada yang aneh… ada yang salah."
Nadira hanya menghela napas, berusaha menenangkan putrinya. "Udah, nggak usah dipikirin. Itu cuma mimpi, kok. Mungkin kamu terlalu banyak mikir, jadinya kebawa ke tidur."
Tapi bagi Liora, mimpi itu terasa seperti lebih dari sekadar bunga tidur. Bayangan di atas meja emas itu terus terngiang-ngiang di pikirannya, bersama dengan wajah laki-laki yang mengatakan akan menjadikannya istri.
"Apa arti semua ini?" gumamnya dalam hati.
---
Pagi harinya, meski tubuhnya masih terasa lemah, Liora memutuskan untuk mencoba bangun. Ia menatap jendela kamar rumah sakit, tempat sinar matahari masuk dengan lembut. Tapi bukannya merasa tenang, ia malah merasa ada sesuatu yang mengintainya, bahkan di bawah sinar terang pagi ini.
Ia menyalakan ponselnya, mencoba mengalihkan perhatian dengan membuka email dari SMA Cahaya Cendekia dan notifikasi desain baru dari agensinya. Tapi setiap kali ia mencoba membaca, bayangan dari mimpinya kembali muncul di pikirannya.
Liora menutup matanya dan mengambil napas dalam-dalam. "Mungkin aku butuh waktu buat ngerti semua ini," pikirnya.
Hari dimulai seperti biasanya, tapi perasaan aneh terus membuntuti Liora.
Mimpinya malam tadi masih terbayang jelas di kepala, seperti film yang diputar ulang tanpa henti. Setelah mandi cepat dan berganti pakaian, ia duduk di kursi dekat jendela kamar rawat inap, menatap keluar. Pemandangan kota yang sibuk terlihat biasa saja, tapi bagi Liora, semua terasa berbeda.
"Nggak mungkin cuma mimpi," pikirnya.
Nadira masuk membawa sarapan. "Liora, makan dulu, nanti obatnya nggak bisa diminum kalau perut kosong."
Liora menoleh, tapi tidak langsung meraih piring yang disodorkan Nadira. "Ma, aku serius deh. Aku mimpi aneh banget. Dan kayaknya itu bukan cuma mimpi biasa."
Nadira tersenyum tipis, mencoba menenangkan. "Sayang, kadang mimpi itu cuma hasil dari apa yang kita pikirin sebelum tidur. Kamu capek, jadi otak kamu mainin hal-hal random aja."
"Tapi kenapa rasanya nyata banget? Aku kayak... ada di sana beneran," Liora bersikeras, suaranya sedikit bergetar.
Nadira menghela napas, lalu duduk di tepi tempat tidur Liora. "Kamu inget apa aja dari mimpi itu?"
Liora mengambil napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita. Dia menggambarkan taman yang indah, sosok pria tampan, bayangan dirinya yang kecil, hingga laboratorium aneh dengan meja emas dan sosok menyeramkan. Setiap detail ia ceritakan, lengkap dengan rasa takut yang ia alami.
"Dan yang paling nggak bisa aku lupain, Ma... bayangan itu bilang aku bagian dari eksperimen. Eksperimen apa? Kenapa aku?"
Nadira terdiam. Ada sesuatu di matanya yang Liora tangkap—sesuatu yang ia kenali sebagai kebingungan bercampur ketakutan. Tapi sebelum Liora bisa bertanya lebih jauh, Nadira tersenyum lagi, kali ini lebih lemah.
"Mungkin kamu terlalu banyak baca cerita fiksi atau nonton film. Udah, sekarang makan dulu. Jangan terlalu dipikirin, ya."
Liora tahu, Nadira tidak ingin membahas lebih lanjut. Tapi ada sesuatu dalam sikap ibunya yang membuatnya semakin yakin: mimpi itu bukan sekadar bunga tidur.
---
Setelah Nadira pergi untuk membeli sesuatu di luar, Liora membuka laptopnya. Ia mulai mencari informasi tentang simbol-simbol yang sempat ia lihat di laboratorium mimpi itu. "Simbol DNA dipisah-pisah..." gumamnya, mengetik kata kunci dengan hati-hati.
Satu per satu hasil pencarian muncul, sebagian besar artikel ilmiah tentang rekayasa genetika. Tapi ada satu artikel yang menarik perhatiannya: "Eksperimen Genetika dan Etika: Saat Sains Menabrak Batas Moral."
Liora mengklik artikel itu. Tulisan itu membahas tentang eksperimen rahasia yang melibatkan modifikasi DNA manusia. Salah satu paragraf menyebutkan organisasi misterius bernama Genovate, yang kabarnya melakukan eksperimen ilegal di berbagai belahan dunia.
"Genovate..." Liora mengulang nama itu, mencoba mengingat apakah ia pernah mendengarnya sebelumnya.
Di tengah membaca, sebuah pesan pop-up muncul di layar laptopnya:
> "Kamu mencari sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi, Liora?"
Liora terkejut. Pesan itu muncul tanpa ia membuka aplikasi chat atau apa pun. Sebelum ia sempat bereaksi, layar laptopnya mendadak mati.
"Apaan ini?!" Liora memukul laptopnya, berharap bisa menyala lagi. Tapi tidak ada respon.
---
Saat malam tiba, Liora duduk diam di tempat tidurnya, mencoba menghubungkan titik-titik antara mimpinya, artikel tentang Genovate, dan pesan misterius di laptopnya.
Ketika ia hampir menyerah, seseorang mengetuk pintu. Seorang pria muda dengan hoodie hitam masuk setelah Nadira yang baru kembali membukakan pintu. Nadira terlihat ragu, tapi pria itu memberikan isyarat tenang dengan senyuman tipis.
"Liora, ada yang mau ngobrol sama kamu," kata Nadira dengan nada penuh teka-teki.
Pria itu mendekat. Wajahnya agak asing, tapi sorot matanya terasa akrab bagi Liora. "Nama gue Raka. Lo mungkin nggak kenal gue, tapi gue tahu tentang lo."
Liora menyipitkan mata. "Tahu tentang gue? Maksud lo apa?"
Raka duduk di kursi dekat tempat tidur, menatap Liora serius. "Mimpi yang lo alami itu... bukan cuma mimpi. Gue tahu karena gue juga ngalamin hal yang sama."
Liora terkejut. "Apa ?! Lo serius?"
Raka mengangguk. "Dan bukan cuma lo sama gue. Ada banyak orang di luar sana yang pernah 'dikunjungi' sama bayangan itu. Bayangan itu... dia bukan manusia. Dia lebih kayak entitas yang terhubung sama eksperimen tertentu."
"Entitas? Eksperimen apa?"
Raka menghela napas. "Susah dijelasin dalam satu kalimat. Tapi lo harus tahu, mimpi lo itu kemungkinan ada hubungannya sama organisasi bernama Genovate. Mereka nggak main-main, Liora. Mereka bikin sesuatu yang seharusnya nggak ada di dunia ini."
Kata-kata itu membuat darah Liora berdesir. "Tunggu... lo tahu semua ini dari mana?"
"Gue punya akses ke data mereka. Gue hacker, dan tugas gue adalah ngebongkar apa yang mereka sembunyiin," jawab Raka sambil menunjukkan tablet kecil yang ia bawa. Di layar terlihat peta digital dengan titik-titik merah yang tersebar di berbagai lokasi.
"Ini lokasi-lokasi fasilitas mereka. Dan tebakan gue, salah satunya ada kaitannya sama lo."
Liora terdiam, pikirannya berkecamuk. Ia tidak tahu apakah harus percaya atau tidak. Tapi dalam hatinya, ia merasa ini adalah langkah pertama untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi.
---
Setelah Raka pergi, Liora merasa ada secercah harapan sekaligus ketakutan baru. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tapi ia juga sadar bahwa ia tidak bisa terus berdiam diri.
Dengan tangan gemetar, ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan ke Raka.
> "Kalau lo tahu sesuatu tentang mimpi gue, gue mau bantu ngebongkar ini semua."
Pesan terkirim, dan beberapa detik kemudian, ada balasan masuk:
> "Siap. Tapi lo harus siap ngadepin kenyataan yang mungkin nggak akan lo suka."
Liora menatap layar ponselnya, lalu menarik napas panjang.