Hari ini bersama dengan datangnya Lebaran, seperti sebuah kebetulan Selaras yang sudah di ujung kepayahan akan kenyataan dan impian masa depannya mendapat tumpangan gratis mudik bersama 4 orang lainya yang sama sekali tidak ia kenal.
Tumpangan ini seperti menjadi jawaban bahwa dia akan menyerah untuk segala upaya meraih cita-citanya. Tutup buku untuk semua plan A, B atau plan apa pun tentang jalan yang akan dia tempuh. Dan perjalanan ini semacam jawaban bahwa sudah saatnya menyerah.
Sembari merapikan barang perlahan ia kais buku buku mata kuliahnya. Beberapa catatan awal masuk kuliah, menyeringai bak senyum miris menyayat hati.
"Ini akan jadi kenangan". Gumamnya
Dimasukkan semua buku itu ke dalam kardus. Baju-bajunya yang tak banyak mulai di kemas. Beberapa di antarannya ia tinggalkan pada kosan berukuran 3x3 meter tersebut. Tak memiliki banyak barang, semua sudah rapi di dalam kardus.
Gadis yang detik ini sedang menghirup nafas dalam-dalam tidak menyisakan apa pun, kecuali tas ransel hitam yang penuh sesak dengan barang bawaan. Baju, lepak make up seadanya, dan beberapa kebutuhan dasar seperti: dompet, handphone, termasuk barang paling berharganya, yaitu laptop hitam yang di penuh dokumen berharga versinya. Sembari memanggul ransel gadis bermata hitam pekat dengan rambut panjang terurai terlihat meraih bag paper berisikan snack khas ibu kota.
Si pemilik netra hitam menatap lekat kamarnya sekali lagi. Dari pantualan kornea matanya teramati kardus-kardus tertata rapi, berbaris di pojok kamar. Ranjang tidurnya yang kosong tanpa seprai. Seluruhnya kosong.
"Semoga ada keajaiban". Ucap Selaras lirih hanya untuk dirinya sendiri. Selaras sama seperti manusia-manusia pada umumnya yang mempercayai akan adanya keajaiban atau biasa di sebut kekuatan doa. Dan pintu itu di tutup rapat, sang pemilik menguncinya, meninggalkannya pergi.
***
"Kamu sudah bikin grup?". Perempuan berusia 21 tahun itu tak bisa menghentikan ocehannya.
"Tenang Na.. tenang... Aku sudah punya nomor mereka buat apa bikin grup". Jawab pemuda bermata kecil tanpa kelopak mata dengan kulit putih bersih tersebut santai.
"Sini teleponmu". Perempuan itu menodongnya dengan wajah jengkel. "Kau pikir punya nomor saja kita bisa komunikasi dengan mudah, kita harus punya grup, jadi kalau ada apa-apa langsung share di situ. Enggak WA satu-satu". Cekatan perempuan itu membuat grup baru. Dia beri nama 'mudik bareng' satu persatu dimasukkan nomor nya sendiri Nana PS (Psikologi) kemudian nomor dengan nama Rio arsitektur, Leandra Hukum, dan perempuan itu berhenti.
"Satunya siapa?". Tanyanya sembari mencoba menambahkan foto profil grup.
"Rio". Jawab asal Martin si wajah semi semi Tionghoa style ala Korea sembari mengemudi Toyota Rush putih, melintasi pintu masuk kampus UI (Universitas Indonesia).
"Bukan.. itu sudah, lainnya". Sela Nana atau lebih tepatnya gadis Jawa campuran Arab. Nama aslinya Najma namun lebih suka di panggil Nana.
"Oh Leandra?". Sahut Martin.
"Bukan, yang cewek satunya". Buru Nana
"Ah? Siapa ya?, Aku juga lupa, tanyakan Tania gih nomor anak itu berapa?".
"Aduuuh... Martin... Tuh kan kamu baru ingat". Ledak Nana jengkel. Dia hafal betul lelaki yang sedang menjadi sopirnya itu adalah manusia tersantai yang dia temui. Sering mengabaikan hal-hal kecil dan menganggap semua akan berjalan baik-baik saja asal tenang. Kebalikan dengan Nana, perempuan sejuta keribetan yang hobinya ngomong. Itulah Nana di mata Martin.
Beberapa kali Nana telepon Tania temannya di klub music yang telah mengusulkan sahabatnya untuk turut serta mudik gratis dengan mobil Martin.
Menurut Tania temannya itu akan senang sekali menerima tawaran mudik gratis. Dan Nana juga butuh teman perempuan di mobil Martin yang akan membawanya menuju Surabaya.
"Kita turun di sini". Martin menuruni mobil itu dan berjalan keluar dari tempat parkir. Nana mengikutinya di belakang sambil terus menempelkan telepon Martin di telinga tanda anak itu belum berhasil menghubungi Tania.
"Hai". Seorang pemuda dengan badan tegap dan paras tampan versi Indonesia. Pemuda itu tersenyum menyapa mereka. Garis tegas alisnya mengerut melihat wajah ngambek Nana.
"Kalian kenapa lagi?. Berantem". Lanjut Rio sembari meletakan tasnya.
"Ayo kita langsung ke mobil saja". Marti gesit membantu Rio membawakan tas tenteng ya, dan Rio pun bergegas merapikan kembali ransel yang ia panggul.
"Hu...h". Nana tampak menghela nafas menetralkan emosinya.
"Bagaimana kita menemukan teman Tania?". Nana mencoba mengatur nada suara.
"Kita akan menjemputnya tuan Putri Jasmin. Tenang... dan ikuti saja". Martin ikut menata nada suara sembari sedikit meledek.
"Oke Oppa". Sahut Nana dengan ekspresi Aegyo (emut, genit) ala Korea ditambah kedua tangannya bergerak-gerak di bawah dagu. Agak aneh dan menggelikan karena tidak cocok dengan wajah arabnya.
Rio melirik kedua temannya, jujur dia sedikit geli dan ingin tertawa melihat Nana. Namun konsentrasinya berubah melihat Martin yang tampak menunjukkan sikap cuek dan melangkah cepat menuju parkir.
Nana tampak berlari kecil membuntuti mereka.
***
"Tuh.. itu... Mungkin itu". Sahut Martin meyakinkan. Mobil itu sudah parkir selama 30 menit di tepi jalan, tidak jauh dari kampus mereka. Jalan dengan gang didepanya. Gang yang menurut Martin adalah tempatnya janjian dengan teman Tania. Janjian dengan orang melalui pihak ke-tiga. Dan tentu saja suara berisik Nana mengomeli Martin menjadi bumbu pelengkap sebuah kebisingan yang beradu dengan lalu lalang kendaraan serta anak-anak sekolah yang tampak berhamburan keluar dari pintu gerbang. Ya, di dekat gang itu ada sekolah SMA dan sepertinya mereka pulang cepat hari ini.
"Kali ini kamu yang keluar, dan tanya". Nana menghentikan omelannya. Martin tampak menurut dan tak berani membantah. "Tunggu... Tunggu". Nana meraih Martin sekenanya dan sedikit membuat geli karena yang dia dapatkan adalah celana. Tapi hal itu mampu menghentikan Oppa Korea keluar dari mobil. "Tania mengirim nomornya, ah.. syukurlah". Nana cekatan menyimpan nomor itu dan memasukkannya di Grup. 'Selaras'. "Anak jurusan apa ya dia, kenapa tidak memasang DP. Ah menyulitkan". Gumam Nana.
"Eh.. telepon aja ribet amat". Martin menyerobot teleponnya sendiri dari Nana.
Tiba-tiba dari arah samping belakang ada perempuan yg mengetuk pintu mobil. Rio yang berusaha tidur dari tadi seraya terbangun.
"Kamu Laras, Selaras". Seru Nana, sesaat setelah menurunkan pintu mobilnya. Nana yang duduk di kursi depan langsung meminta gadis itu menaruh barangnya di bagasi mobil. Cekatan Martin membuka bagasi itu secara otomatis dengan memencet tombol tertentu.
"Braak". Suara bantingan pintu bagasi, Walau tak begitu keras membuat Rio makin tersadar dari kantuknya. Dia mencoba mencari sumber suara. Dan mendapati perempuan sebayanya membuka pintu mobil lalu duduk disampinginya. Lebih tepatnya di kursi belakang dekat pintu mobil sisi kanan.
"Apa dia yang di cari Martin dan Nana". Gumam Rio. Rio tampak masih setengah sadar. Malas mengangkat tubuhnya, melekat santai di kursi, hanya menolehkan kepalanya melihat perempuan di depan berusaha mencari posisi nyaman, sembari melepas jaket yang ia kenakan. Rambut perempuan itu panjang, sedikit serserakan tak beraturan alami, dibiarkan terurai bergerak-gerak mengikuti gerakan tubuh pemiliknya. Kadang tampak keemasan terpapar matahari dari jendela mobil yang masih terbuka.
"Cukup Cantik". Rio melanjutkan gumamannya. "Tunggu.. sepertinya lebih dari cantik tapi bukan sangat cantik. Apa ya..??". Rio mencari-cari definisi untuk dirinya sendiri. Lamunannya berhamburan diterpa suara Nana.
"Selaras aku Nana, ini Martin sang Oppa dermawan. Dan dia...". Nana terhenti menatap Rio. "Ah lupakan, tidur saja dari tadi". Nana memutar tubuhnya lalu mengencangkan sabuk pengaman. "Tutup jendelanya Laras, kita berangkat". Seru Nana bersemangat, mengabaikan Rio yang masih berharap diperkenalkan.
"Jangan lupa berdoa kawan-kawan, perjalanan kita akan menjadi yang terbaik". Tambah Martin sembari menekan pedal gas perlahan kemudian mobil melaju menyusuri jalanan beriringan dengan mobil-mobil lain dan berbagai moda transportasi darat.