webnovel

GADIS 100 MILIAR

Zizi tidak pernah menyangka papanya yang sangat menyayanginya telah menjualnya pada seorang pengusaha kenalannya. Hidupnya berubah dalam semalam. Dimulai dari pesta palsu yang berakhir tragis hingga hampir saja dia kehilangan keperawanannya, lalu dikurung di sebuah mansion. Pengusaha yang membelinya memiliki kepribadian ganda. Suatu waktu dia sejahat monster, di waktu yang lain dia menjadi sebaik malaikat. Pria itu selalu berhasil mengaduk-aduk perasaannya. Dia melukainya, namun dia juga yang menyembuhkannya. Pria bermata hijau juga berhasil memenangkan hatinya, membuatnya jatuh cinta dan mencintai dengan sepenuh hati untuk pertama kalinya dalam hidupnya. * Novel ini awalanya bercerita tentang Zizi, seorang gadis berumur 27 tahun, yang dijual ayahnya seharga 100 miliar rupiah pada kolega bisnisnya yang bernama Andres, seorang pria blasteran Indonesia-Spanyol berumur 31 tahun. Benih-benih cinta muncul sejak pertemuan pertama mereka di malam pertama Zizi diantarkan papanya ke rumah Andres. Zizi yang memimpikan pria bermata hijau dan Andres yang mencari perempuan bermata hitam menyuburkan benih-benih cinta yang tumbuh. Kisah cinta mereka diselingi kisah-kisah cinta dari orang-orang terdekat: sahabat Andres bernama Dika, adik Zizi bernama Betrand, sepupu perempuan Andres bernama Ariel dan banyak tokoh lainnya yang akan muncul secara bertahap.

Giralda_Blanca · Urban
Not enough ratings
170 Chs

CALON MENANTU

Andres telah kembali tenggelam dalam pelukannya dan pintu kamar tertutup rapat ketika dering handphone berbunyi.

"Bisa tolong ambilkan?" Pinta Andres.

Zizi mendongak untuk melihat handphone mana yang berbunyi di antara dua handphonenya di atas nakas. Tertulis 'Mama'. Di foto profilnya ada empat orang, dua perempuan dan dua laki-laki. Zizi tidak sempat melihat lebih jelas. Dia segera memberikannya pada Andres.

"Halo, ma." Andres menoleh pada Zizi dan menariknya.

"Hanya sedikit demam," katanya sambil menaruh kepalanya di dada Zizi.

Zizi mendengar gelombang suara perempuan itu yang berkata panjang lebar.

"Iya, ma. Ini juga sedang istirahat. Tidak. Aku di rumah. Sudah. Sudah tadi. Iya sudah. Sudah, ma. Iya. Iya. Tidak usah. Ada Zizi yang merawatku."

Kepala Andres terangkat. Dia menatap Zizi yang berbaring di bawahnya. Mata mereka saling menatap, sama-sama terkejut. Andres kemudian tersenyum.

Andres berbicara lagi pada mamanya, "iya."

"Zizi," Andres berhenti untuk menatap Zizi. Dia tersenyum lagi lalu berkata dengan pelan namun terdengar pasti, "Zizi calon menantu mama."

Zizi merasa sekujur tubuhnya tersengat. Andres memang gila. Zizi bertambah gemetaran ketika Andres melihat ke layar handphonenya. Panggilan ibunya tiba-tiba dimatikan. Zizi menghela napas. Ibunya Andres pasti sudah memiliki calon menantu sendiri. Handphonenya kembali berdering. Zizi melihat Andres mengusap layar lalu gambar seorang wanita seumuran ibunya berambut hitam pendek sebahu muncul di layar. Perempuan itu sedang tersenyum.

"Mama," kata Andres menyapanya.

Zizi baru sadar ini video call.

"Andres, kenalkan mama dengannya!" Teriak perempuan itu dengan senyum masih tersungging di bibirnya.

"Ah." Andres menjauhkan handphonenya ke atas. "Ma, ini Zizi. Zizi, ini mama."

"H-hai, tante." Suara Zizi seperti bisikan. Dia berusaha tersenyum.

Andres benar-benar gila. Zizi tidak pernah membayangkan akan diperkenalkan dengan calon ibu mertuanya dengan posisi seperti ini. Berbaring di atas kasur. Kepala anaknya berbantal dadanya. Jika ibunya yang melihat ini, dia akan berteriak histeris dan marah-marah pada Zizi. Tapi ibu Andres malah tersenyum dan mengajaknya berbicara.

"Bagaimana kabarmu?"

"Baik, tante." Suara Zizi sudah kembali normal.

"Kamu saja yang pegang," kata Andres.

Zizi mendengar ibunya berbicara lagi, "Andres tidak pernah bercerita. Kalian sudah lama kenal?"

Handphonenya sudah berpindah ke tangan Zizi. Zizi melirik pada Andres yang sekarang telah memiringkan kepalanya di dadanya dan memejamkan mata. Ya Tuhan.

"Baru beberapa hari."

"Oh, ya? Bagaimana kalian bisa bertemu?"

"Maaaaa!" Andres berteriak.

Perempuan itu tertawa.

Andres menarik handphone yang dipegang Zizi dan mengarahkan pada wajahnya.

"Ma, aku mau tidur siang," katanya lalu sambungannya diputus.

"Andres! Kamu membuatku malu!" Zizi mengangkat tubuhnya dan kembali ke posisi semula karena tubuh pria di atasnya terlalu berat.

"Mengapa malu?" Tanya Andres sambil menoleh ke wajahnya.

"Apa?!"

Andres mengulangi lagi, "mengapa harus malu?"

Zizi menjelaskan, "kamu video call dengan mamamu saat kita dalam posisi seperti ini."

Andres membela diri, "bukan aku yang melakukan video call."

"Iya, tapi setidaknya kamu bisa mengarahkannya ke sudut lain dan menyembunyikan aku." Zizi mendesah kesal.

"Mengapa aku harus menyembunyikanmu?"

"Agar mamamu tidak melihatku."

"Memangnya kenapa kalau mamaku melihatmu?"

"Ya," Zizi menghelas napas dan melanjutkan, "ini bukan posisi yang tepat untuk memperkenalkanku pada mamamu."

"Harusnya bagaimana?"

"Kita duduk di kursi."

Andres menggeleng. "Aku malas berpindah ke kursi."

Zizi mendesah.

"Jika kamu khawatir mama akan berpikir macam-macam tentangmu, itu tidak akan terjadi. Aku yakin sekarang dia sedang kegirangan."

***

13.000 km dari kota Zizi dan Andres berada, Maria membuka pintu kamarnya dan membangunkan suaminya.

"¡Cariño! ¡Pronto tendremos un nuevo bebé! [Sayang, kita akan segera memiliki bayi baru!]"

Andres terduduk dari posisi tidurnya, "¿estás embarazada? [Kamu hamil?]"

"No, que no. [Tidak, tidak.]"

Andres menghela napas. Pria paruh baya ini bukan tidak mau memiliki bayi lagi, tapi dia merasa di usianya yang sekarang menginjak 58 tahun dia lebih merindukan kehadiran cucu.

"Dime [Katakan padaku]," pintanya pada istrinya.

Andres kembali diliputi perasaan khawatir. Dia takut mendengar Alba yang sedang hamil. Putrinya yang berusia 17 tahun itu terlalu muda untuk menjadi seorang ibu. Dia tidak mengharapkan anak itu memberinya cucu sekarang. Dia lebih mengharapkannya dari anak laki-lakinya, Andres.

Maria duduk di samping suaminya dan mulai bercerita dengan penuh semangat bahwa anak laki-lakinya yang tidak pernah tertarik membahas seorang gadis, tidak pernah berkencan, dan selalu menolak ketika dijodohkan dan sempat mereka sidang karena mereka mengira dia seorang gay, pagi ini sedang tidur di atas payudara seorang gadis dan dia mengatakan gadis itu calon menantunya.

Mata hijau terang Andres membulat.

"¿Todavía estoy durmiendo? [Apa aku masih tertidur?]" Tanyanya tidak percaya.

"Creo que todavía estoy durmiendo tambien, me siento como en un sueño. ¡Pero es real! [Aku juga berpikir masih tertidur, aku merasa ini seperti mimpi. Tapi ini kenyataan!]" Maria memeluk suaminya lalu mencium bibirnya.

***

9 km dari rumah Andres, Dika membuka sebuah pintu kamar inap. Seorang gadis yang berbaring di atas kasur rumah sakit meliriknya sekilas lalu kembali menekuri buku yang sedang dia baca. Dika berjalan masuk dan menaruh seikat bunga mawar merah di atas meja di samping kanan tempat tidurnya. Seikat bunga mawar kuning yang ditaruhnya tadi pagi masih tergeletak di tempat yang sama. Dia kemudian menarik kursi dan duduk. Gadis itu terus membaca novelnya seakan tidak melihatnya.

"Bagaimana keadaanmu?" Tanya Dika.

Mata gadis itu melirik ke bawah satu detik lalu kembali melihat pada bukunya. Itu cukup bagi Dika sebagai tanda gadis itu mendengar apa yang baru saja dia tanyakan.

"Aku minta maaf," ucapnya lagi.

Gadis itu tidak bergeming, terus berkutat dengan bukunya. Dika menghela napas sambil memberitahu dirinya sendiri dia tidak akan pernah menyerah. Dia akan terus meminta maaf sampai gadis itu memberinya maaf. Dia menatap wajah gadis itu yang berpura-pura tidak merasakan tatapannya. Gadis itu bahkan berpura-pura menganggap dia tidak ada di sampingnya. Dia kemudian berdiri. Mata gadis itu meliriknya sekilas.

"Kenapa pipimu?" Dua kata itu lolos dari mulutnya.

Dika membeku. Dia tidak percaya baru saja mendengar gadis itu berbicara padanya. Gadis itu berbicara padanya setelah dua puluh empat hari mendiamkannya. Dia belum membuka mulutnya untuk bersuara, gadis itu telah menutup matanya dan menaruh bukunya di atas perutnya. Dia pura-pura tidur. Dika kembali duduk.

"Aku tadi mendapat telepon Andres sakit dari asistennya. Dia tidak mau dibawa ke sini. Aku membuatnya menunggu lama karena menunggu dokter lain menggantikanku. Dia marah. Aku menjelaskan alasanku datang terlambat. Kami berdebat sambil bercanda, tapi gadis, kekasihnya menganggap candaan itu serius. Kekasihnya mengira dia sedang sekarat dan akan segera mati."

Dika tertawa sebentar.

"Gadis itu menangis. Andres lalu memeluknya dan menciumnya di depan kami. Aku mengingatkannya kedatanganku ke sana tidak untuk menonton drama percintaan. Dia malah memarahiku. Setelah itu, aku memeriksanya. Andres melarangku melirik pada kekasihnya. Dia bahkan menolak mengenalkanku padanya. Dia marah ketika aku mengajaknya berbicara. Aku tidak tahu kalau Andres sangat posesif."

Dika berhenti sebentar untuk memandangi gadis itu yang bernapas dengan teratur dengan tarikan tipis, sangat tipis di ujung bibirnya lalu Dika melanjutkan ceritanya.

"Aku memberinya saran agar mengambil cuti sampai akhir pekan. Aku bilang padanya agar pergi berlibur dengan kekasihnya. Andres yang keras kepala itu menolak. Dia memberiku beribu alasan untuk tetap bekerja besok pagi. Aku lalu mengancamnya akan menculik gadisnya kalau besok dia masuk kerja. Dia marah dan meninjuku."

Dika melihat tarikan napas gadis itu memanjang, berhenti dua detik lalu perlahan menghembuskannya dan kembali bernapas normal.

"Tapi kamu tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku tidak apa-apa. Aku malah merasa senang. Karena ini, kamu mau berbicara denganku."

Gadis itu menggerakkan kepalanya ke samping, membelakanginya.

"Aku punya ide. Mungkin aku akan mengganggu seseorang atau membuat keributan, jadi aku bisa mendapat luka yang lebih serius."

"Jangan gila," gumam gadis itu.

Dika tertawa. Gadis itu berbicara dua kali hari ini.

"Aku akan mampir lagi sebelum pulang," janjinya kemudian.

Dika bangkit berdiri. Dia mengambil buku di atas perut gadis itu lalu menaruhnya di atas meja di samping dua ikat bunga mawarnya. Dia lalu berjalan keluar dan menutup kembali pintu kamarnya.