webnovel

Bab 9

"Ah, cuaca disini hot sekali. Sudah seperti video koleksiku saja, serba hot-hot."

Mata Dita kontan mendelik ke arah kakaknya Galen yang barusan mengeluh. Lelaki duapuluh tahunan itu mengipasi wajahnya yang berkeringat dengan tangan.

"Apa? Kau mau mengipasiku?" tanya Zio saat menyadari pandangan Dita. Tapi lelaki itu tiba-tiba teringat sesuatu, dia bergerak maju. "Hey, kau tadi belum mengatakan namamu."

Dita spontan memberi jarak ketika Zio duduk sangat dekat dengannya. Entah mengapa walaupun kakaknya Galen ini sangatlah tampan dengan penampilannya yang nyentrik, Dita masih saja memiliki firasat kalau dia harus menjauhi lelaki ini.

"Nama gue Dita." jawab Dita jutek. Bodo amat, dia tidak peduli kalau Zio ini adalah calon kakak iparnya nanti.

Mengernyit, Zio semakin bergerak mendekat. Matanya meneliti Dita dengan penuh seksama, dari atas sampai bawah berulang kali.

Dita merengut, "Kenapa sih?"

Zio tidak langsung menjawab pertanyaan dari Dita. Dia malah tersenyum lebar seraya menjauh, bergerak ke sofa lain. Duduk dengan kaki menyilang, Zio berujar santai. "Ternyata Galen suka yang kecil."

Otak Dita kontan langsung berpikir keras memikirkan ucapan Zio barusan. Tapi akhirnya dia mengalah dan bertanya, "Kecil?"

"Ukuranmu 34, kan?"

"Hah?" Dita masih loading tak mengerti. Tapi setelah sekian lama otaknya memproses, dia langsung menyilangkan tangannya di dada.

Zio yang melihat itu, tergelak di tempat. Dia menyugar rambut hijau terang miliknya, "Jangan khawatir! Aku itu nafsunya hanya 36 ke atas, yang bisa buat bantal untuk kepalaku yang dipenuhi oleh kecerdasan yang over normal ini."

Gigi Dita bergemeletuk menahan amarah. Pipinya memerah akibat malu dan juga tersinggung, berani-beraninya kakaknya Galen ini membahas tentang aset perempuan. "Hey, Bang Zio—"

"Siapa yang kau panggil Zio, huh? Namaku adalah Messi."

Andaikan saja membunuh orang itu diperbolehkan! Batin Dita meraung keras.

"Okay, Bang Messi gue mau—"

"Eitsss, tampan rupawannya tertinggal."

Dita memejamkan matanya, berusaha sabar menghadapi makhluk aneh di hadapannya ini. "Bang Messi yang paling tampan rupawan di seluruh jagat raya, gue mau nanya nih. Galen kenapa pindah kesini sendiri? Kenapa keluarga Galen nggak ikut?"

Kedua alis Zio terangkat naik, "Kenapa kau ingin tahu sekali? Jadi orang itu jangan terlalu kempo!"

Bola mata Dita tak bisa untuk tidak bergulir. "Kepo kali! Kempo mah beladiri."

Zio tak menerima pernyataan dari Dita. Dia mengibaskan tangannya, "Jangan sok pintar kau ya! Ayahku sendiri yang mengajariku. Dia adalah muridnya Pakde Einstein."

Bibir Dita kembali terbuka hendak memprotes, namun tidak jadi karena ia tidak ingin memperpanjang percakapan.

Namun nampaknya Zio tidak ingin mengakhiri percakapan ini. Dia malah merubah topik pembicaraan, "By the way, rambut dan matamu bagus."

Dipuji, Dita langsung mengibaskan rambutnya sombong. "Tentu saja, Galen saja langsung klepek-klepek setelah gue ubah penampilan."

"Oh." Zio hanya ber-oh ria. Dia menoleh ketika melihat kedatangan sosok Galen.

"Galen!"

Mata Dita beralih berbinar menatap Galen yang baru saja datang dengan rambutnya yang basah. Cowok itu setelah masuk ke dalam rumah, tanpa berkata apapun langsung melesat ke kamar mandi. Jadi tidak heran jika sedari tadi hanya ada Dita dan Zio di ruang tamu ini.

Setelah melihat secara seksama, rumah Galen terbilang cukup luas. Desain interiornya sangat menggambarkan sosok Galen dengan warna gelap yang dominan. Tapi selain itu, perabotan di ruangan ini bisa dihitung dengan jari. Di sini rupanya selain mereka bertiga, tidak ada orang lain lagi yang menghuni rumah ini. Apa Galen selama ini hidup sendirian di Indonesia?

"Pulanglah." ucap Galen setelah menempatkan dirinya di samping sofa Dita. Rambut Galen yang berantakan karena belum disisir berhasil membuat Dita meleleh di tempat.

"Nggak. Gue baru dateng, masa' lo usir sih? Jahat deh." ujar Dita dengan nada manja di akhir. Cewek itu memberanikan diri memeluk lengan Galen, dan bagusnya tidak ditepis sama sekali oleh cowok itu.

Galen hanya menatap datar Dita yang mengerjap genit padanya. Tangannya terulur merapikan poni rambut Dita yang mencuat. Dia sebenarnya ingin memeluk cewek ini, tapi ia urungkan. Disini ada makhluk abnormal.

Mahkluk abnormal yang tidak lain adalah Zio, tampak cuek dan tengah sibuk dengan ponselnya. Lelaki itu tiba-tiba menggerutu kesal saat dia mengetahui kalau situs plus-plus ternyata diblokir di negara ini.

"Ah, tidak bisa aku bayangkan jika aku tinggal disini. Setiap hari menderita karena tidak mendapat asupan hot-hot."

Celotehan dari Zio kompak membuat Dita mendelik dan Galen menatap dingin. Dengan nada suram, Galen berkata "Kalau begitu pergi kau dari sini."

"Tidak bisa, aku baru saja mendarat tadi pagi." tolak Zio setelah melemparkan ponselnya ke atas meja. Dia lalu berkata, "Kalau dipikir lagi, kenapa kau betah tinggal disini? Padahal cuacanya sangat panas dan akses video dibatasi."

"Karena aku bukan kau."

Jawaban dari Galen mendapat dukungan penuh dari Dita. "Bener tuh. Galen itu nggak mesum kayak lo, bang Zio."

Zio tak menjawab, malahan dia meratap sedih. Tapi matanya fokus melihat kaca lemari ruang tamu. Mengapa? Tentu saja untuk melihat wajahnya yang tetap tampan walaupun sedang meratap.

Melihatnya, Dita mendengus. Dia lalu mengalihkan perhatiannya pada Galen yang terlihat kurang nyaman. Kenapa dengan cowok ini? Apa karena kedatangan kakaknya?

"Galen, lo disini tinggal sendirian ya?" tanya Dita yang dijawab dengan deheman pelan. Lalu Dita kembali bertanya, "Kenapa?"

Kali ini Galen tidak menjawab. Cowok itu lebih memilih untuk bungkam, bahkan membuang pandangan ke arah lain. Membuat Dita merasa bingung akan sikap Galen ini.

"Dia itu pindah gara-gara frustasi, soalnya di rumah dia kalah saing sama ketampananku." Zio menyahut.

Dita langsung mencibir seketika. Kakaknya Galen ini sepertinya serba over ya? Over pede, over mesum, dan over-over yang lain.

"Yang ada Galen pindah gara-gara takut ketularan kejelekan lo, bang."

Zio langsung shock di tempat. Are you kidding me? Sudah lebih dari 22 tahun ia hidup, baru kali ini ada perempuan yang mengatainya jelek! Zio yang tampan dengan struktur wajah luar biasa sempurna ini sungguh tidak terima!

"Dari sudut mana aku jelek? Wajahku ini adalah idaman para lelaki di dunia. Bahkan saking tampannya aku, sekali lirik—wanita langsung pingsan!"

Bibir Dita terbuka karena tak percaya bahwa ada makhluk seperti ini di dunia. Kadar kepercayaan diri milik kakaknya Galen ini benar-benar menyebalkan.

"Pergi kau dari rumahku." usir Galen. Ekspresi wajah lelaki itu tidak datar atau dingin seperti biasanya. Terbersit rasa risih yang terpancar dari wajahnya.

"Okay, tapi buatkan aku milkshake dulu. Ah, aku haus sekali." Zio meraba lehernya dengan penuh kelebayan.

Dan Dita mengiyakan keinginan lelaki itu. Sebenarnya enggan, tapi demi kepergian Zio—tidak apa-apa. Setelah menanyakan letak dapur pada Galen, dia segera meluncur.

Sepeninggalan Dita, suasana di ruang tamu seketika langsung berubah. Senyuman di wajah Zio lenyap, digantikan dengan ekspresi datar yang sangat jarang ditampilkan oleh lelaki itu.

Zio berdiri dan mendekati Galen, berdiri menjulang tepat di hadapan adiknya itu. Mata mereka beradu pandangan dengan emosi yang berbeda-beda.

Bugh!

Satu pukulan mendarat dengan sempurna di wajah Galen. Pukulan telak yang membuat pipi Galen langsung lebam seketika. Pukulan yang membuat kursi roda Galen sedikit oleng dan untungnya tidak sampai membuat cowok itu terjatuh.

"Sejak kapan?"

Zio bertanya dengan nada dingin. Kedua tangannya mengepal erat menahan emosi. Tampak sama sekali tidak terganggu dengan lebam di pipi Galen.

Melihat Galen yang tidak merespon, Zio tersenyum sinis. "Sudah membuat keluarga kerepotan, dan sekarang kau malah berbuat bodoh seperti ini."

Lagi-lagi Galen hanya diam. Tidak berniat untuk berbicara karena perkataan Zio itu benar adanya.

"Sebuah kesamaan bukan menjadi alasan untuk kau egois dan menyakiti orang lain."

Setelah berkata demikian, Zio berbalik dan melangkah pergi. Namun saat di ambang pintu, dia berhenti.

"Besok ikut aku pulang ke Swiss, dan tinggalkan negara ini."