webnovel

Bab 8

Tubuh Dita kontan mematung di tempat. Wajahnya berubah menjadi linglung sekejap sebelum akhirnya menjadi merah padam. Thea? Siapa dia? Mengapa Galen bermimpi tentang perempuan itu?

Dengan sedikit paksa, Dita melepas pelukan Galen hingga membuat lelaki itu terbangun dari tidurnya. Mata hitam kelam milik Galen bergulir menatap Dita, ada sedikit kilatan terkejut di wajah lelaki itu.

"Siapa Thea?"

Dita bertanya dengan nada cemas. Apakah Thea itu orang yang dicintai Galen? Tapi kalau benar, mengapa lelaki itu mau berpacaran dengannya?

Galen sempat terdiam sesaat. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya memalingkan muka. "Adikku."

Jawaban tenang dari Galen spontan membuat perasaan risau di hati Dita menjadi sirna. Ah, dia kira mantan pacar atau cinta pertama Galen, tapi ternyata hanyalah adik.

Senyuman secerah mentari kini timbul di wajah Dita. Cewek itu bergegas duduk di kursi sebelah Galen. "Lo punya adik? Umur berapa sekarang? Tinggal disini juga?"

Galen melirik Dita sekilas sebelum kembali memandang lurus ke depan. Dia menjawab, kali ini dengan nada sedikit lembut. "Umurnya 16, dia di Swiss."

Dita manggut-manggut. Jauh sekali, tapi mengapa Galen berasal dari pindahan Manhattan?

"Tapi kenapa lo pindahan dari Manhattan?" tanya Dita kepo, namun kali ini tidak ditanggapi oleh Galen. Ingin mencibir, tapi Dita urungkan. Ingat Dita! Galen itu pacarmu!

"Galen, lo nggak pesen makan?" tanya Dita mengalihkan topik pembicaraan. Di atas meja memang tidak ada tanda-tanda bekas makanan seperti piring atau hal semacamnya.

Galen sepertinya sudah kembali ke dalam mode cuek. Cowok itu diam tak menjawab, malahan dia mendorong kursi rodanya pergi. Meninggalkan Dita yang terkejut, anjir! Jadi Galen cuman numpang tidur doang gitu?

Tapi Dita tak mau berpikir lebih jauh, dia lebih memilih untuk segera mengejar Galen yang sudah keluar dari restoran. Dan Galen sudah bersiap masuk ke dalam sebuah taksi dengan dibantu oleh sopir.

"Galen!" panggil Dita sembari mendekat. "Gue ikut ya!"

Tanpa menunggu persetujuan dari Galen, Dita sudah terlebih dahulu masuk ke dalam taksi dan duduk sejajar dengan cowok itu. Galen hanya menatap Dita dingin.

"Tujuan mana, dek?" tanya pak sopir seraya melihat dari spion.

"White Orchid Street. Twelve."

Bibir Galen segera terkatup setelah menjawab dingin. Tanpa memedulikan sopir taksi yang kebingungan karena tidak mengerti maksud dari penumpangnya.

"Jalan anggrek putih nomor 12, pak." Dan akhirnya Dita-lah yang menjelaskan kepada sopir yang dibalas dengan anggukan.

Akhirnya taksi pun melaju ke alamat yang Dita sendiri tidak tahu dimana itu. Masa bodoh mau kemana, yang terpenting dia bisa bersama Galen.

"Len, itu alamat rumah lo?" tanya Dita sembari menoleh. Dari sini dia bisa melihat garis wajah Galen dari samping yang sangat mempesona. Terutama hidungnya yang seperti perosotan, mancung sekali.

"Hm.

Galen menjawab cuek, malahan cowok itu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Tapi, tangannya yang dingin memegang tangan kanan Dita.

Membuat aliran listrik seolah menyengat tubuh Dita saat itu juga. Debaran jantung yang mulai tak beraturan melingkup Dita yang tengah terkejut. Tapi terlepas dari itu, dia sangat senang. Galen mau skinship dengannya!

Dita menggigit bibirnya, berusaha untuk tidak berteriak heboh dan menghancurkan suasana.

Perjalanan sudah menempuh sekitar lima belas menitan, tapi mereka belum juga sampai di rumah Galen. Dita yang awalnya sumringah, lama-lama juga dilanda serangan kantuk. Dia sudah menguap beberapa kali dan mencoba untuk tidak tertidur, tapi tidak bisa.

Tanpa bisa dicegah, Dita akhirnya tertidur dengan kepala jatuh menimpa bahu Galen. Membuat Galen menoleh saat merasakan beban di bahunya.

Galen tak mendorong Dita menjauh. Cowok itu hanya diam meneliti struktur wajah Dita. Tapi itu tidak lama, sebelum dia mengingat sesuatu. Tangannya terulur untuk mengguncang Dita beberapa kali hingga membuat Dita kembali terbangun.

Dita mengucek matanya sebelum akhirnya mengerjap bingung. Mengapa Galen membangunkannya? Padahal ia sudah mau terlelap.

Seakan mengetahui pikiran Dita, Galen berkata pelan. "Softlens."

Ah, iya!

Dita kontan menepuk keningnya. Dia kan memakai softlens, jadi tidak boleh tidur. Untung saja Galen membangunkannya. "Makasih udah dibangunin."

Ekspresi datar menjadi tanggapan Galen untuk Dita. Bersamaan dengan itu, sopir taksi mengatakan bahwa mereka sudah sampai tujuan.

Setelah membayar, Dita dan Galen segera turun dari taksi. Dita terkejut, rumah Galen ternyata cukup sederhana. Tidak terlalu besar dan juga tanpa pagar, namun pekarangannya cukup luas.

"Apa kau hanya ingin diam seperti orang bodoh?"

Perkataan dingin Galen membuyarkan keterkejutan Dita. Dia terkekeh garing lalu mendorong kursi roda Galen. Saat akan mencapai pintu, benda itu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Menampilkan sesosok lelaki berambut hijau terang yang wajahnya tidak kalah tampan dari Galen.

Dita mengernyit bingung. Apalagi saat melihat raut wajah Galen yang semakin mendingin dengan mata berkilat tak suka.

"Kekasih Galen?" tanya lelaki asing itu yang dijawab anggukan samar. Dia tersenyum lebar lalu dengan cepat memegang tangan Dita, menjabatnya.

"Perkenalkan, namaku Verlon Fawzio. Kau bisa memanggilku Messi. Aku kakaknya Galen yang tertampan. Salam kenal!"

.

.

.