webnovel

Awal Ketertarikan Bara

Bugh!

"Aw, gila kalau jalan pake mata dong! Punya mata kan?" bentak Beatrice mengungkapkan kekesalannya. Merasa sangat sangat kesal dan ingin marah ketika seseorang tidak memperhatikan jalan dan berakhir menabraknya. Ini sangat sakit!

"Eh sorry, gue ga sengaja. Lo jadi cewek galak amat?" cibir orang yang baru saja menabraknya, pelan. Namun telinga Beatrice sangatlah peka, ia memincingkan mata menatap pria yang baru saja mencibirnya itu.

"Yang galak gue ini bukan lo. Masalah buat lo?" seru Beatrice berapi-api.

"Dih, sumvah. Lo cewek tergalak yang bisa marah-marah ke gue. Sebelumnya belum ada cewek marah-marah gini sama gue yang ada mereka itu ngejar-ngejar gue. Bukan kayak lo gini."

"Ih ga ada kerjaan ngejar-ngejar lo. Cape iya, rugi iya, untung enggak."

"Nama lo siapa sih?" tanya cowok itu terang-terangan.

"Kepo amat lu jadi cowok. Penting gitu gue ngasih tau nama gue?" Cowok itu tak menggubris ucapan Beatrice tadi. Ia malah bertanya persoalan lain pada Beatrice.

"Kenalin nama gue Bara Ardani. Panggil gue Gara. Gue minta maaf soal tadi. Giliran lo sekarang, nama lo siapa?"

"Gue gak nanya nama lo kali."

Beatrice membalik badan dan bergegas pergi meninggalkan Gara. Gara malah tersenyum miring. "Baru kali ini gue nemu cewek kayak dia. Galak jutek tapi kayaknya asik, dia beda dari cewek lain gue harus tau dia siapa." Bara menggumam penuh ketertarikan.

***

Kring kring kring.

Bel pulang berbunyi seluruh siswa bergegas membereskan buku-bukunya untuk pulang.

"Bea, gue pulang duluan ya soalnya gue mau ke ulang tahun sodara gue," pamit Vidia pada Bea - panggilan Beatrice.

Vidia adalah sahabat Bea. Sejak Bea duduk di bangku SMA. Menurut Bea, Vidia adalah sosok sahabat yang sangat baik, perhatian, dan paling pengertian di antara yang lain.

"Oh iya, Vid. Lo duluan aja, gapapa kok. Hati-hati, ya," balas Bea maklum, bibirnya menampilkan senyum menawan.

"Iya, Bea. Bye, Bea."

Bea hanya membalasnya dengan senyuman. Bea terus memperhatikan punggung Vidia yang mulai menjauh.

Tak terasa kelas Bea mulai kosong, hanya ada dia seorang diri. Bea bergegas merapihkan semuanya untuk segera pulang. Saat Bea keluar, Bara terlihat sedang berdiri di hadapannya, menatapnya dengan kedua tangan Bara yang di lipat di depan dada.

"Elah. Lo lagi. Maunya apaan sih?" sentak Bea tak suka.

Dahi Bara mengernyit, "Galak amat jadi cewek. Sebagai permintaan maaf gue, mau gak pulang bareng gue?"

"Makasih, gue bisa pulang sendiri."

"Please, sekali ini aja sebagai permintaan maaf gue ke lo."

"Nggak pulang bareng juga udah gue maafin, tenang aja."

Bara menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan kasar, "Please."

"Yaudah, tapi sekali ini aja, ya," pungkas Bea tak tega melihat wajah Bara yang terus-terusan memohon.

"Yes, oke siap." Bara tersenyum kegirangan.

Bea melangkah duluan meninggalkan Bara. Bea langsung bergegas menuju parkiran. Bara menyusul dan berusaha menyejajarkan langkahnya dengan Bea.

"Hei, nih pake dulu helm-nya biar aman," ungkap Bara sembari menyodorkan helm pada Bea. Bea tak menggubris ucapan Bara, ia langsung menarik helm-nya dari tangan Bara dengan kasar.

"Ayo naik," suruh Bara lagi. Lagi lagi dan lagi, Bea tak menggubris ucapan Bara. Bea masih saja bungkam. Ia hanya berusaha naik pada motor ninja merah milik Bea yang tinggi dengan susah payah.

"Pegangan. Takut jatoh. Kalau lo jatoh kan gue juga yang repot," peringat Bara serius.

Akhirnya Bea buka mulut setelah beberapa saat tadi bungkam tak angkat bicara.

"Lo ikhlas gak sih anter gue pulang?" tandas Bea kesal. Wajahnya memerah menahan kekesalan yang menggerogoti gara-gara pria itu.

"Ya, gue kan cuma takut lo jatuh doang. Gitu aja marah. Lo kalau marah lucu juga ya." Bara tersenyum lebar menunjukkan giginya yang putih.

Bea mendengus kesal setelah mendengarkan ucapan Bara, "Cepetan jalan. Ngomong mulu."

Bara melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Hingga tanpa sadar, Bea memeluk Bara dari belakang.

Bea menjerit ketakutan. Namun teriakan Bea sama sekali tidak di gubris oleh Gavin. Bara tetap melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

"Eh, lo bawa motor pelan-pelan dong. Gue takut," ungkap Bea tegang.

Bara terbahak melihat ekspresi ketakutan Bea.

"Ternyata, cewek galak kayak lo punya rasa takut juga ya. Akhirnya pegangan juga los sama gue," balas Bara penuh kemenangan.

"Eh, ga lucu ya. Kalau Lo gak pelan, gue minta turunin gue di sini," tandas Bea setengah kesal, selebihnya ia di dominasi ketakutan yang luar biasa hebatnya.

"Gue bakal pelan kalau lo kasih tahu nama lo siapa. Karena dari tadi kan gue gak tahu nama lo siapa."

"Yaudah iya. Nama gue Beatrice Arletta. Panggil aja Bea. Udah dong, pelanin motornya, gue takut." Raut wajah Bea sekarang telah memucat.

"Muka lo pucat amat Bea, Lo beneran takut?" tanya Bara yang mulai khawatir, pria itu mulai memelankan laju motornya.

"Iyalah, gue takut. Masa gue takut bohongan."

"Maafin gue ya, gue gak maksud."

"Iya gapapa, santai aja. Guenya aja yang penakut."

Bara hanya diam, ia merasa bersalah karena sudah membuat Bea ketakutan. Sepanjang jalan ia terus memikirkan kebodohannya tadi yang sudah membuat wajah seorang wanita memucat.

"Bara, itu rumah gue berhenti di sini."

"Elah. Lo lagi. Maunya apaan sih?" sentak Bea tak suka.

Dahi Bara mengernyit, "Galak amat jadi cewek. Sebagai permintaan maaf gue, mau gak pulang bareng gue?"

"Makasih, gue bisa pulang sendiri."

"Please, sekali ini aja sebagai permintaan maaf gue ke lo."

"Nggak pulang bareng juga udah gue maafin, tenang aja."

Bara menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan kasar, "Please."

"Yaudah, tapi sekali ini aja, ya," ungkap Bea tak tega melihat wajah Bara yang terus-terusan memohon.

"Yes, oke siap." Bara tersenyum kegirangan.

Bea melangkah duluan meninggalkan Bara. Bea langsung bergegas menuju parkiran. Bara menyusul dan berusaha menyejajarkan langkahnya dengan Bea.

"Hei, nih pake dulu helm-nya biar aman," ungkap Bara sembari menyodorkan helm pada Bea.

Namun, ucapan Bea sama sekali tidak di acuhkan oleh Bara. Bara malah terus melajukan motornya.

Lamunan Bara buyar saat Bea menepuk pundaknya, "Bara, itu rumah gue mundur dikit. Lo kebablasan, melamun terus, untung ga jatoh."

Bara terhenyak kaget, "Hah, oh iya. Sorry gue kebablasan ya."

"Iya, ngelamunin apa sih, Bar?"

"Enggak ada apa-apa kok."

"Yaudah, makasih ya. Mau mampir dulu, Bar."

"Sama-sama. Gue langsung balik aja, nanti nyokap malah nyariin lagi."

"Yaudah, hati-hati."

Bara tersenyum sembari menyalakan motornya dan pergi meninggalkan rumah Bea.

Bea tetap berdiri di tempat tadi, tanpa beranjak sedikit pun untuk masuk ke rumahnya. Ia terus memperhatikan Bara yang sudah jauh dari pandangannya, jauh hingga tak terlihat.

Tanpa Bea sadari, sebuah senyum mengembang di wajahnya sejak ia memperhatikan Bara.

***

Bersambung.