webnovel

Friend and Rival

Keberadaanku di sekolah ini hanya karena sepucuk surat dan sebuah paksaan. Merasa kesal karena alasan masa lalu yang digunakan sebagai penempatan. Aku yang kini ditempatkan di kasta tertinggi merasa tak pantas. Karena kemampuan akademik maupun non akademikku hanyalah sebatas rata-rata. Waktu demi waktu membawaku kepada sebuah ambisi dan kejanggalan realita. Dimana terdapat kontradiksi yang nyata akan sebuah ingatan, dan juga ambisi antar perseorangan. Sempat berselisih dengan isi kepala namun tetap percaya akan memori yang tersisa. Hingga akhirnya, aku memiliki sebuah alasan tersendiri untuk tetap bertahan. Bertahan untuk mengungkap segala hal yang menyeretku ke dalam sebuah kegilaan. _____________________________________ Arc One : Uncontrolled Gathering of Students {Complete} Arc Two : Ringing Reality of Memory [-] _____________________________________ An original story by ZeroReikyuu aka Rei~ _____________________________________

ZeroReikyuu · War
Not enough ratings
24 Chs

Alcatraz

Aku benar-benar ingin melupakan masa laluku.

Masa dimana diriku tak seharusnya mengambil kekuasaan untuk suatu hal.

>===o===<

Mentari pagi bersinar lebih awal dibandingkan biasanya. Rafael baru saja terbangun dari tidurnya. Dia mencoba mengusap mata, lalu bangun dari kasurnya. Melepas baju tidur, pergi ke kamar mandi, dan membersihkan raga.

Setelah usai, dia langsung memakai pakaian sekolah, menyiapkan isi tasnya dan bersarapan. Sesekali dia mengecek HP-nya sambil berharap ada suatu hal yang didapatkannya setelah melalui hari kemarin.

"Isinya tenang seperti biasa," ucapnya sembari menatap layar HPnya.

Lalu mengantongi HP dan menyudahi sarapan pagi. Setelah itu, mengambil tas dan keluar dari kamarnya. Tak lupa mengunci kamar menggunakan kartu pelajarnya.

"Sudah kuduga, kartu ini tak hanya sebagai tanda pengenal belaka," ujarnya melihat ke kartu pengenalnya lalu mengantongi benda tersebut. Setelah itu, dia segera berangkat sekolah dengan berjalan kaki.

>===÷===<

Akhirnya Rafael sampai di depan gerbang sekolah. Waktu yang dia tempuh tak sampai satu jam. Meskipun begitu, Rafael masih merasa heran dengan mereka yang menaiki angkutan umum untuk sampai ke sekolah.

"Orang kaya mah bebas ...."

Ucapan tersebut dilontarkan oleh Rafael untuk para murid yang menggunakan angkutan umum agar cepat sampai ke sekolah. Di tengah ramainya suasana sekolah Wissenschaft, Rafael tidak peduli akan sekitar. Dia tetap berjalan dan sesekali merasakan hawa-hawa tatapan curiga dari beberapa murid yang hingga saat ini masih mencurigai keberadaannya.

Bahkan saat berada di sebuah lorong, dia tetap tak peduli dengan sekumpulan orang-orang di pinggiran kelas yang tengah asik membicarakan sesuatu. Hingga pada akhirnya dia sadar ada seorang gadis terlihat tengah kebingungan menentukan arah.

"Clarissa yaa?" gumam Rafael.

Rafael sedikit mempercepat langkah kakinya. Tak sempat sampai, gadis itu telah melangkah ke arah yang tak seharusnya. Rafael mengikutinya dan berusaha menggapai pundaknya. Saat dia memegang pundaknya, sontak si gadis terkejut, "eh? ada apa?"

Ternyata benar, gadis itu adalah Clarissa. Rafael heran dengan gadis yang satu ini. Dia mencoba memastikan suatu hal.

"Mau ke kelas, kan?"

"Hooh," jawabnya.

"Kalau ke kelas, seharusnya ke arah sana," ucap Rafael menunjuk arah sebaliknya.

Clarissa berusaha memalingkan pandangan agar tak terlihat malu di hadapan Rafael. Dia segera berbalik badan dan berjalan menuju arah yang ditunjuk. Namun, sejenak dia berhenti dan melirik ke arah Rafael.

"Hei, apa yang kau tunggu?" tanya Clarissa masih menyisakan ekspresi malunya.

"Ehm ... tidak apa-apa," jawab datar Rafael segera menyusulnya.

Mereka berdua pun segera melangkah bersama menuju kelas. Saat di perjalanan, Clarissa nampaknya berusaha untuk mengatakan sesuatu. Namun, Rafael sendiri masih terdiam seakan-akan tidak menganggap keberadaannya. Hingga pada akhirnya Clarissa memberanikan diri.

"Rafael ...."

"Hmm?"

"Semalam-"

"Otakmu isinya uang aja ya? Bahkan jalan menuju kelas saja gak tau," potong Rafael tetap berjalan sambil menghadap ke depan.

"Iiiihhh ... mentang-mentang aku juara dua akuntansi," kesal Clarissa melihat ke arah Rafael.

"Mulai dah sombongnya ...," ucap Rafael memalingkan pandangan.

"Hah apa?"

"Bukan apa-apa ...."

Kesal karena merasa tidak dipedulikan, Clarissa memilih untuk tak memandanginya dan menghadap ke depan. Namun, dia tetap ingin menyampaikan sesuatu kepada Rafael. "Ish ... kemarin malam, aku mencoba mencari sesuatu tentang dirimu."

"Perhatian banget yaa sampe stalking gitu ...," ujar curiga Rafael melirik ke Clarissa.

Wajah Clarissa kembali sedikit merah, dia memain-mainkan rambutnya agar berusaha tenang dan tidak salah tingkah.

"Bukan berarti perhatian ya, hanya saja hampir setengah kelas mencurigaimu," balas Clarissa tersipu malu.

"Lalu?" tanya datar Rafael.

"Maka daripada itu, aku mencoba mencari-cari tentang latar belakangmu!" tegas Clarissa.

Setelah mendengar perkataannya, Rafael memberhentikan langkah. Tanpa menghadap kepadanya, dia mencoba memperingatkan sesuatu.

"Kalau begitu ... kamu harus tutup mulut," ujar Rafael memperingati Clarissa.

Rafael melanjutkan langkahnya, akan tetapi baru beberapa langkah lengannya ditarik Clarissa. Tatapannya sangat tajam, bahkan Rafael sendiri merasa sedikit terancam akan hal itu.

"Nama belakangmu Tendranatha, kan?" tanya Clarissa dengan nada suara pelan namun mencekam dengan tatapan mata yang tajam.

Mendengar pertanyaannya, Rafael dapat bernafas lega. Namun, Clarissa semakin curiga akan responnya.

"Iya ... memangnya kenapa?" tanya Rafael sembari melepaskan genggaman Clarissa dan melanjutkan perjalanan menuju kelas.

Clarissa tetap mengikutinya dan mengucapkan sesuatu, "tak kusangka dirimu ditempatkan di kelas A. Seharusnya anak dari keluarga kaya sepertimu lebih layak ditempatkan di kelas C."

"Memangnya ada apa dengan kelas C?" tanya Rafael penasaran.

"Kamu seharusnya tau jika kelas C itu diisi oleh murid-murid dari keluarga kaya," jawab Clarissa.

Rafael tidak terlalu antusias akan hal itu karena dia sudah tau lebih dahulu. Tak mereka sadari, kelas sudah dekat. Rafael lagi-lagi memberhentikan langkahnya untuk memastikan suatu hal lagi. "Apakah kamu curiga dengan nama belakangku? Kurasa itu bukanlah sebuah faktor pendukung diriku dimasukkan ke kelas ini."

Clarissa tak bisa berkata apapun. Dia mencoba memikirkan sesuatu atas ucapannya. Gadis itu mulai meluncurkan argumen paling mendasar yang biasanya ditargetkan kepada golongan kaya.

"Apakah keluargamu membayar lebih agar anaknya dimasukkan ke kelas ini?"

Rafael berbalik dan menatapnya serta mengucapkan sesuatu, "meskipun keluargaku kaya, mereka tak peduli tentang hal itu, mereka hanya mengandalkan Relasi bukan Kapitalisasi."

Clarissa mencoba mencerna ucapannya. Rafael sendiri tak ingin menunggu respon darinya. Rafael langsung memasuki kelas dan disusul oleh Clarissa yang masih saja memikirkan ucapan tadi.

Setelah sampai di tempat duduknya, Rafael menggantungkan tas pada meja dan segera duduk. Baru saja dirinya melipat tangan di atas meja.

"Pagi ini dirimu bersama Clarissa ya, apakah kalian memiliki suatu hubungan?" tanya Hyuki dengan pandangan masih fokus terhadap bukunya.

"Tidak," jawab datar Rafael langsung menoleh ke arahnya.

"Jujur saja, apakah dia pacarmu?" tanya kembali Hyuki dengan pandangan yang sama.

"Tidak," jawab datar Rafael untuk kedua kalinya.

Hyuki menutup bukunya dan mulai memandangi Rafael dengan ekspresi penuh kecurigaan. "Bukankah aneh, seorang siswa dan siswi masuk kelas secara bersamaan?"

"Fakta yang kamu katakan relatif," jawab Rafael masih dengan ekspresi datar.

"Jujurlah saja, pasti ada sesuatu di antara kalian, padahal ini masih awal semester."

"Tidak ada, tadi dia salah arah saat menuju kelas, meskipun aku sudah menunjuk arah yang benar dia malah-"

"Jangan katakan dia buta arah," potong Hyuki dengan tatapan yang semakin tajam.

"Memangnya ada yang aneh?"

"YA ANEH LAH! siswi dengan prestasi akuntansi seperti dia bisa buta arah. Apakah isi kepalanya itu hanya dipenuhi oleh uang?!" sergah Hyuki.

Sejenak suara Hyuki menyita beberapa perhatian murid-murid lainnya. Namun, Hyuki tetap tak memedulikan hal itu dan berusaha menjaga imagenya.

Di sisi lain, sejenak Rafael berpikir untuk tidak memberitahu kelemahan Clarissa. Rafael mulai mencari-cari alasan.

"Berdasarkan penelusuranku di internet kebanyakan buta arah memang dialami oleh perempuan, bisa saja dirimu termasuk," jelas Rafael datar.

"Maaf saja, meskipun aku ini anak sastra setidaknya masih bisa membaca peta," jelas Hyuki setelah itu memalingkan pandangan ke arah lain.

"Ya sudah ... tidak baik rasanya membicarakan kejelekkan orang lain," balas Rafael sembari mulai mengambil beberapa buku dari tasnya.

"Ngomong-ngomong soal yang kemarin, aku akhirnya tahu-"

Kring!!! Kring!!! Kring!!!

Sayangnya ucapan Hyuki terpotong karena bunyi bel yang cukup keras dikarenakan tempat duduk mereka berdua dekat dengan bel yang terpasang di atas pintu masuk kelas.

"Oke bel sudah bunyi, tidak ada waktu lagi buat mengobrol," ucap datar Rafael menata rapi buku-bukunya.

>===o===<

Sama seperti kemarin. Meskipun bel sudah berbunyi, para murid tetap sibuk sendiri. Lain halnya denganku yang merasa terancam akan orang-orang di sekitarku.

Aku merasakan hal itu karena mereka mulai menggali-gali informasi tentangku. Jika memang disuruh untuk pindah kelas atau keluar dari sekolah ini. Dengan senang hati akan kuterima. Hanya saja, hal itu pasti tak mungkin terjadi.

Di lain hal, keluargaku pasti sudah merencanakan sesuatu, mengingat relasi keluargaku yang begitu luas dan kuat.

Pak Saragi terlihat memasuki kelas. Dia membawa sebuah koper. Kemungkinan saja hasil test kemarin ada di dalam koper itu.

Tak ada aba-aba hormat, tak ada salam, dan nampaknya setengah kelas masih sibuk dengan urusan mereka. Aku hanya bisa terdiam dan berpikir secara wajar, mereka semua kan belum mempunyai ketua kelas.

"Hari ini kita tidak akan masuk ke dalam pelajaran," ujar Pak Saragi selepas menaruh koper tersebut.

Kulihat ada salah satu murid mengacungkan tangannya. Berbadan kekar dan berparas layaknya orang asia tenggara serta berkulit kuning langsat berambut hitam lebat di sisir rapi. Dia adalah Ivan Megantara, aku baru ingat kalau orang itu mempunyai prestasi bela diri, hanya saja diriku masih tak ingat bela diri apa yang dia kuasai.

"Yaa ada apa Ivan?" tanya Pak Saragi.

"Hari ini kan hari pertama KBM, kenapa bapak tak memulai pelajaran?" tanya Ivan heran.

Fyi, KBM singkatan dari Kegiatan Belajar Mengajar.

"Masih banyak yang perlu diurus mengenai administrasi serta struktur kepengurusan di kelas ini."

Setelah mendengarkan ucapan Pak Saragi. Semua murid mulai penasaran, termasuk juga diriku yang mulai merasa bosan dengan suasana ini.

"Hasil test kalian semuanya memuaskan, hanya saja masih ada beberapa murid yang nilainya masih standar," ungkap Pak Saragi.

Beberapa murid tetap terlihat santai setelah mendengar hal itu, akan tetapi ada juga di antara mereka yang terlihat khawatir. Aku sendiri hanya bisa pasrah dengan apa yang akan dikatakan oleh Pak Saragi.

"Nilai awal ini sebagai tolak ukur tingkatan status kalian di kelas. Tak akan ada remidial dan pengulangan untuk tes ini," tegas Pak Saragi.

Beberapa murid tersenyum seakan-akan mereka sudah menyadari lebih awal mengenai tingkat diskriminasi yang akan melanda kelas mereka.

Pak Saragi membuka kopernya. Keluarlah selembar kertas yang lebar, lalu ditempelkannya kertas tersebut di papan. Terlihatlah sebuah urutan nama dan nilai. Aku menempati urutan 19, sungguh hasil yang tak memuaskan bagiku. Sudah dipastikan aku mendapatkan status terendah di kelas ini.

BRAK

Tak perlu dicari lagi sumber suara itu. Seorang gadis cantik dengan perpaduan warna rambut merah dan coklat sepundak, berkulit putih, selain itu parasnya seperti seorang penyanyi yang belakangan ini menjadi topik hangat pembicaraan. Matanya dipenuhi oleh amarah, tangan mengepal seakan-akan kapan saja akan melesat. Sudah tak diragukan lagi dia tidak puas dengan hasil pengumuman itu.

Luna lusiana, seorang siswi yang masuk ke sekolah ini dengan prestasi olah suaranya. Meskipun dia seorang idola, Akan tetapi siapa sangka, jika dia memiliki kepribadian ganda. Sehari sebelum penerimaan murid kelas satu, aku sempat diberitahu teman SMP-ku jika akan ada penyanyi yang satu sekolah denganku. Selain itu, dia juga menjelaskan seluk beluk tentang gadis itu. Kurasa gadis yang dia maksud adalah Luna. Meskipun begitu, kurasa saat ini yang menguasai tubuhnya adalah pribadi buruknya.

"PAK!! Bagaimana bisa saya ditempatkan di peringkat akhir?!" bentak Luna.

"Memangnya ada apa? Ingin protes? Bapak punya bukti nilai-nilai yang mendukung alasanmu ditempatkan di peringkat akhir," tegas Pak Saragi.

Luna semakin mengepalkan kedua tangannya dan masih tidak terima akan hal itu.

"Seharusnya kamu mencontohi Rafael, meskipun saat ini dia berada di status yang sama denganmu. Dia tetap tenang," ujar Pak Saragi melihatku.

"Ayolah Pak!!! Apa hubungannya dengan orang misterius seperti dia!! Bahkan murid-murid di sini tak ada yang tahu tentang kemampuan dan prestasinya!" teriak Luna membentak Pak Saragi.

Namun, Pak Saragi tetap tenang setelah menerima amarah dari muridnya sendiri. Selain itu, semua perhatian murid tertuju kepadaku seakan-akan diriku menjadi tersangka atas sebuah perkara.

Luna terlihat seperti sedang bergumam, "padahal aku ini seorang idola ... kenapa diriku bisa dikalahkan oleh orang seperti dia ...."

Aku mengerti akan perasaannya itu. Sebagai murid yang berprestasi pasti merasa tertindas jika peringkatnya di dahului oleh murid biasa sepertiku.

"Luna ... apakah kamu ini Luna Devilia? Setau bapak Luna Lusiana adalah siswi yang baik hati dan murah senyum," ujar Pak Saragi mencoba untuk menenangkan Luna.

"Tapi kan pak-"

"Diam Dulu!!!" bentak Pak Saragi.

Seisi kelas terkejut akan gertakkan dari Pak Saragi. Mungkin hal ini sebagai pertama kalinya Pak Saragi menampilkan kemarahan di kelas ini. Luna hanya bisa terdiam menundukkan kepalanya.

Pak Saragi melanjutkan penjelasannya, "bagi kalian yang mendapatkan peringkat di bawah 15. Satu-satunya cara menaikkan status adalah dengan mengambil alih kepengurusan kelas ini."

Mungkin kedengarannya bagus. Akan tetapi, dengan mengambil alih kepengurusan kelas, artinya kembali ke diriku yang dulu. Pak Saragi mulai memandangiku dengan tatapan tajamnya.

"Rafael!" panggilnya.

"Iya pak?" jawabku datar.

"Nilaimu sama rendahnya seperti Luna."

"Lalu?" balasku datar.

"Meskipun kamu mengosongkan kolom kemampuan. Bapak tau kamu memiliki kemampuan yang dapat menaikkan statusmu saat ini. Bahkan kemampuanmu masih tak diketahui oleh murid-murid lainnya," jelas Pak Saragi.

Kenapa Pak Saragi harus mengungkit hal tersebut? Aku tak harus meladeninya.

"Penempatanmu di Kelas A bukanlah sebuah kebetulan. Selain itu, bukan juga karena kekayaan serta relasi yang dimiliki oleh keluargamu," sambung Pak Saragi.

Apakah aku perlu melawan perkataannya? Kurasa tidak.

Diam dan mendengarkannya adalah pilihan yang tepat untuk saat ini. Seisi kelas mulai membicarakanku. Murid pada umumnya tak akan merasa tenang jika berada di posisiku.

"Hanya diam saja? Mungkin bapak perlu mengungkit kejadian tragedi dua tahun yang-"

"Jadi apa yang bapak inginkan dariku?"

Dia tersenyum licik. Kuakui kemampuan Pak Saragi. Sudah kutebak dengan jelas apa yang diinginkannya adalah ....

"Mungkin sebagian murid di kelas ini akan menolak, akan tetapi ... demi memenuhi alasan penempatanmu di kelas ini."

Sudah kuduga dia akan menyuruhku untuk menjadi,

"Kau harus menjadi Ketua Kelas A."

>===o===<

Cerita ini adalah Fiksi.

Semua orang, kelompok, tempat, dan nama yang muncul di cerita ini.

Tidak ada kaitannya dengan dunia nyata.

Nächster?

Status quo