webnovel

Friend and Rival

Keberadaanku di sekolah ini hanya karena sepucuk surat dan sebuah paksaan. Merasa kesal karena alasan masa lalu yang digunakan sebagai penempatan. Aku yang kini ditempatkan di kasta tertinggi merasa tak pantas. Karena kemampuan akademik maupun non akademikku hanyalah sebatas rata-rata. Waktu demi waktu membawaku kepada sebuah ambisi dan kejanggalan realita. Dimana terdapat kontradiksi yang nyata akan sebuah ingatan, dan juga ambisi antar perseorangan. Sempat berselisih dengan isi kepala namun tetap percaya akan memori yang tersisa. Hingga akhirnya, aku memiliki sebuah alasan tersendiri untuk tetap bertahan. Bertahan untuk mengungkap segala hal yang menyeretku ke dalam sebuah kegilaan. _____________________________________ Arc One : Uncontrolled Gathering of Students {Complete} Arc Two : Ringing Reality of Memory [-] _____________________________________ An original story by ZeroReikyuu aka Rei~ _____________________________________

ZeroReikyuu · War
Not enough ratings
24 Chs

After Machtkampf

Memory is the mother of all wisdom.

- Aeschylus

Playwright from Yunani BC 525-456

>===0===<

Masih memandangi sebuah permukaan licin yang dapat menciptakan pantulan bayangan benda dan mahluk hidup dengan sempurna namun maya, tegak, dan sama besar. Sembari melihat wujudku yang berambut hitam lebat acak-acak'an dengan tinggi kisaran kurang lebih 170cm. Berkulit putih dan memiliki proporsi tubuh yang lumayan berisi dan berbentuk meskipun para kerabat dulunya sering mengaitkanku dengan seorang atletik. Akan tetapi, ingatan mengatakan bahwa saat aku kecil sangatlah benci dengan olahraga dan lebih mementingkan permainan papan.

Mulutku mulai terbuka dan mataku sedikit terbelalak. Aku keheranan seakan menemukan hal baru.

Baru kali ini rasanya aku ingat masa kecilku.

Benar juga rasanya. belakangan ini aku hanya tenggelam ke dalam masa laluku yang kelam saat semasih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Mungkin akan kucoba mengingat beberapa hal lagi saat aku kecil. Kucoba perlahan memejamkan mata sembari berharap mengingat suatu kenangan.

Hasilnya nihil ....

Gelap ....

Kubuka mata dan yang ada di depanku masih saja tampang yang terlihat cukup serius namun sebenarnya penuh dengan banyak pemikiran. Sekilas mataku melirik ke arah jam dan sesaat setelah mengetahui kenyataan waktu. Tangan serta seluruh badan refleks menggapai dan memakai kemeja putih. Selepas usai membalut badan, aku langsung memasukkan tiap kancingnya ke dalam lubang. Setelah itu, diriku langsung memasukkan kaki ke dalam sebuah celana panjang dan menariknya ke atas lalu mengaitkan kancing dan memasukkan sabuk hingga akhirnya menguncinya. Tak usah khawatir, karena aku sebelumnya telah memakai celana dalam. Hingga langkah terakhir yaitu memakai jas dan dasi serta memasukkan jari telunjukku ke dalam sebuah cincin. Hingga selesailah gaya berpakaianku yang digadang-gadang sangatlah monoton.

Ting tong ....

"Rafaeeelll ...."

"Oke, seekor kutu sudah berada di depan kamarku," ucapku melihat ke arah pintu.

Pandanganku kembali ke hadapan cermin dan timbullah sebuah keinginan. Angan-angan yang rasanya tak pernah kulakukan sama sekali sebelumnya.

"Hmm ... sejak kapan yaa aku memiliki niat untuk merapikan rambut?" Aku merasa mendapatkan kebiasaan yang berbeda berkat kejadian kemarin.

Kini aku memikirkan beberapa hal sembari mulai merapikan rambut. Semenjak usainya Final Election kemarin, aku merasa mendapatkan sebuah ilham. Bukan karena acara tersebut. Namun, hal itu terjadi sebelum aku datang terlambat ke acara tersebut. Ah ... jika kuceritakan cukup panjang kejadiannya mengingat seekor kutu telah menungguku di depan kamar. Selepas dari hal itu, aku merasa bersyukur untuk berserah diri kepada brandalan kelas D pada waktu itu.

Awalnya ingin kuurungkan niatku ini. Akan tetapi, ingin sekali rasanya menyisir rambut ini menjadi klimis ke kanan.

"Ya sudah kurapikan saja."

Namun, setelah kulakukan. Rasanya sangat culun. Tanpa pikir apapun lagi, jari-jemari tangan kananku mendarat di atas rambut lalu mengacaknya kembali. Selepas itu mulai menyapu hanya dengan tangan kosong ke arah kanan.

Kurasa ini lebih baik.

Aku segera bergerak menjauh dari cermin dan menggapai tas yang ada di sebelah kasur. Setelah kugendong, aku langsung menghampiri pintu dan membukanya. Terlihat jelas sesosok lelaki yang kuanggap kutu. Meskipun kutu tapi jika dilihat penampilannya sendiri sebenarnya dapat menarik hati seorang gadis seperti Clarissa. Jika kulihat-lihat, berperawakan barat berkulit putih dengan warna rambut coklat kepirangan nan gelap. Yaa kupanggil kutu karena sifat dan sikapnya sih. Tapi, jujur saja dia ini bidak yang cukup berguna.

"Oke, ayo kita berangkat," ajakku.

Dia hanya mengangguk dengan raut wajah gembira. Yah dia selalu gembira sih kalau pagi pagi begini. Kalau sampai dia terlihat murung atau sedih di pagi hari. Mungkin aku akan ....

Nembak Clarissa atau menggaet Hyuki?

Hadeh ... kurasa ini kebiasaan baru yang diciptakan dari kejadian kemarin.

>===x===<

Suatu pagi dengan raga merasakan tak panas maupun tak dingin serta cerahnya terik matahari masih menampakkan warna seperti hari yang telah terlewati. Hari ini, aku telah siap untuk berangkat sekolah dengan mengemban sebuah amanah satu tingkat di bawah jabatan yang pastinya diriku telah memegang hal tersebut di masa lampau. Kini masih berada di depan pintu kamar dan segera menggeser kartu nama pada slot yang berada di samping gagang pintu. Hal itu kulakukan guna mengunci kamar. Setelah usai, kulanjutkan melangkah menuju tempat penuh pertanyaan dan sebuah kejanggalan.

Selepas berada di lantai dasar. Diriku masih memacu langkah hingga akhirnya berhenti di depan gerbang asrama. kucoba berhenti sebentar karena merasakan sesuatu akan datang.

Jam keberangkatan kami kali ini bertepatan sekali dengan murid-murid lainnya. Tak heran jika banyak sekali murid yang telah melewati kami berdua. Namun, aku merasakan satu hawa keberadaan seorang gadis sedang mendekat.

Berani kah aku menyapanya? Aku merasa ragu hanya karena kejadian tiga hari lalu. Namun, hanya dua kemungkinan. Kesal dan tidak dianggap.

Dia akhirnya melewatiku begitu saja dari belakang. Kurasa dia seperti tak menganggap diriku yang berdiri di sini. Waktu yang tepat karena dia nampaknya sendirian saja. Kucoba untuk memberanikan diri.

"Yurika," panggilku datar tanpa bumbu tersenyum maupun cemberut. Hal tersebut juga membuat Riki kebingungan akan tindakanku.

Langkahnya terhenti namun tetap tak melihatku. Aku hanya bisa terdiam menatapnya dari belakang. Seketika badannya memperlihatkan ciri-ciri membuang nafas. Sesaat setelah hal itu dilakukan, dirinya mulai menengok ke arah kanan serta tatapan matanya lah yang melihat ke arahku. Posisinya membuatku hanya dapat melihat setengah dari wajahnya.

Berkulit putih seperti salju, rambut hitamnya lurus panjang membentai hingga perut, dan yang paling kuingat adalah poni sampingnya yang manis itu. Namun, tak begitu manis seperti sebelumnya karena raut wajah yang ia tunjukkan kepadaku. Melihat tatapannya saja bisa membuatku terdiam hanya karena bingung ingin mengucapkan apa.

Setelah beberapa murid melewatiku dan dirinya. Dia mulai kembali melihat ke depan dan mengambil langkah kembali. Kesal sih rasanya. Meskipun diriku ini yang kemarin telah menganggap dia adalah orang yang berbeda. Akan tetapi, mendapatkan perlakuan apatis dari dirinya adalah sumber kekesalanku saat ini.

"Woi ketua kelas E!"

Sudah kuduga dia akan memberhentikan langkahnya lagi. Namun, kali ini sama sekali tak melihat ke arahku.

"Aku masih ingat janjiku pada waktu-"

Ucapanku terhenti karena baru sadar pada waktu itu dia tak sadarkan diri. Ah betapa gegabahnya aku.

"Meskipun waktu itu aku merasa setengah sadar, aku tau apa yang kamu katakan mengenai diriku yang di bawah perlindunganmu," ucapnya bernada halus dan tak memandang ke arahku.

Berarti pada waktu itu dia masih memiliki kesadaran ya. Syukurlah kalau begitu. Namun, aku masih tak begitu memahami tentang dirinya dan diriku yang masih saja menaruh perhatian kepada gadis yang bahkan melupakanku.

"Jadi?"

Dia terlihat mulai menunduk dan mengepalkan jemarinya.

"Bukankah kau terlalu serakah jika hanya ingin melindungiku?" tanya Yurika masih dengan posisi dan nada yang sama.

Jadi apa maksud dia ini? Aku? Serakah? Bukankah niatku baik? Beranikah aku menanyakan lebih lanjut mengenai perkataannya.

"Tapi kan sudah dari dulu aku-"

"Kau masih tak sadar diri bahwa telah memiliki tunangan?"

"SUDAH KUKATAKAN AKU TIDAK BERTUNANGAN DENGAN MARIE!"

Dia terlihat terkejut selepas itu mengambil langkah terburu-buru untuk meninggalkanku. Sementara itu, murid-murid di sekitar kami menghentikan langkah dan mulai melihat ke arahku. Sebagian dari mereka berbisik dan ada yang menatapku sinis.

"Wah Rafael ... ini kedua kalinya loh kamu membuat seorang cewek meninggalkanmu dengan kesan buruk," ujar Riki menampakkan wajah keheranan.

Apakah sikapku ini aneh? Ah kurasa aku hanya terbawa suasana.

"Ya, lalu kenapa rik?" tanyaku keheranan.

"Baru kali ini aku melihat seorang lelaki yang mempermainkan perasaan gadis tanpa ampun," ujarnya blak-blakan.

"Maksudmu ...," balasku menatap tajam.

"Ah ahaha lupakan raf, aku lupa kalau kamu dulunya mantan diktator hehe," sahutnya sedikit menggaruk kepala.

"Ckh kau tak perlu menyebutkan hal itu lagi." Setelah itu aku langsung mengambil langkah lebih dahulu dan berniat meninggalkannya.

"Eh tunggu raf!"

Aku masih melanjutkan perjalanan bersama seekor kutu menuju sekolah. Pagi yang sangat tak terduga. Mungkin ini kali pertamanya aku lepas kendali dalam ucapanku. Selain itu, kali ini aku berhasil menarik perhatian tanpa direncanakan. Kurasa hal itu dapat menambah reputasiku.

Di sisi lain, tumben sekali riki tak banyak omong seperti biasanya. Aku berjalan selangkah di depannya. Makanya aku tak tau pasti seperti apa raut wajahnya kali ini. Namun, kurasa memperhitungkan kebiasaannya sama sekali tak memberikan manfaat kepadaku.

>===÷===<

Srregg ....

Selepas menggeser pintu kelas. Hal pertama yang kulihat adalah tatapan mereka yang merasakan kehadiranku. Namun, hal itu tak bertahan lama dan beberapa dari mereka langsung kembali pada aktivitas masing-masing. Ya ... beberapa dari mereka masih ada yang suka berkumpul dengan kelompoknya sih. Namun, kurasa relasi antar gadis begitu cepat ya. Contoh saja pada bangku itu yang kurasa adalah tempat duduk Luna. Ga heran gadis sepertinya mampu menarik perhatian murid lainnya.

"Sampai kapan kamu mau mematung di tengah pintu masuk?" Terdengar suara seorang gadis bernada dingin.

Aku langsung mengambil langkah menuju tempat duduk sembari melihat dirinya. Begitu pula dengan Riki yang mengikutiku dari belakang.

Aku langsung menaruh tas di bawah bangku dan langsung duduk di tempatku. Lalu kembali melihat ke gadis yang ada di sebelahku ini. Berkulit putih berambut hitam panjang lurus sepinggang dengan poni yang menutupi sisi kiri dahinya. Kecantikkannya ini sudah kupastikan bahwa dia ini berasal dari negeri matahari terbit. Yaa ... dia selalu saja membaca buku sesaat sebelum bel masuk. Bahkan selepas menanyakan diriku tadi yang tengah berdiri di pintu saja pandangannya tetap pada bukunya itu.

"Tolong hilangkan kebiasaanmu itu," ucapnya dingin tanpa berpaling pandangan.

"Kebiasaan apa?" tanyaku datar.

"Memandangiku setiap memasuki kelas," ketusnya.

Padahal melihat wajahnya saja sudah mampu mendinginkan kepalaku. Aku juga heran bagaimana bisa dia menyadari bahwa sedang diperhatikan meskipun matanya sendiri masih berfokus pada buku tersebut itu.

"Pagi ini kamu terlihat tidak normal ya," ujarnya mulai menutup buku dan melihat ke arahku.

"Hyuki ... apakah aku ini selalu terlihat normal di matamu?" tanyaku coba memastikan.

"Hmm ... entahlah, ada yang berbeda dari dirimu," ucapnya masih dengan ekspresi datarnya.

Mengingat apa yang terjadi pada diriku pagi ini di kamar. Kurasa yang dikatakan Hyuki ada benarnya. Akan tetapi, bagaimana caranya bisa menyadari hal itu?

"Yaa ... apakah penampilanku berbeda?" tanyaku coba memastikan sesuatu.

"Kurasa bukan itu yang jadi masalahnya," balas Hyuki.

"Lalu?"

"Kenapa pagi ini kamu hanya datang bersama seorang lelaki? Bukannya kamu selalu masuk ke kelas ini bersama kekasihmu?" tanya Hyuki bernada curiga namun tetap saja tak mengubah ekspresi wajah.

"Memangnya aku punya kekasih? Jika iya, siapakah dia?"

"Clarissa."

Sudah kuduga yang dia maksud adalah gadis itu. Jadi rumornya masih ada yaa. Rumor tentang diriku yang berpacaran dengan Clarissa masih belum pudar juga. Aku harap bisa meluruskan hal ini dengan segera.

Apakah rumor itu yaa yang membuat Yurika pada pagi ini menyebutku serakah? Hmm ... kurasa bukan.

"Ah kamu salah paham, aku dan Clarissa tidaklah-"

"Yaa ... kurasa kamu benar, aku yang salah paham. Pagi ini Clarissa datang lebih awal dan dia sendirian saat memasuki kelas," potongnya.

Sendirian? Setauku dia buta arah. Tapi, kenapa dia bisa? Ah mungkin saja kebiasaan buta arah bisa sembuh. Namun, aku kurang tau pasti soal itu sih.

"Hyuki."

"Iya?"

"Apakah kamu yakin Clarissa datang sendirian ke kelas ini?"

"Iya, maunya tadi aku menanyakan ke dia, kenapa tidak barengan dengan rafael. Tapi, kurasa hubunganku dengan dia gak terlalu akur."

"Hooo begitu, baiklah ... terima kasih sudah memberitahuku."

"Iya iya, lagipula gak lucu rasanya kalau gadis selugu dia sampai tersesat lagi," ucapnya sembari mulai membuka kembali bukunya.

Seharusnya aku sadar dari tadi pagi. Biasanya Clarissa akan menungguku di depan gerbang asrama maupun di depan halte bus.

"Mungkinkah aku berangkat kesiangan?" gumamku.

"Ga juga, jam kedatanganmu cukup baik seperti biasanya," sahut Hyuki dengan pandangannya masih pada buku tersebut.

"berarti dia berangkat lebih awal yaa?"

"Kurasa iya, karena aku sendiri datang di jam biasanya."

Ah iya sih aku selalu melihat Hyuki Kina tiba di kelas lebih dahulu dibandingkan diriku ini. Sekilas kucoba untuk melihat ke arah Clarissa yang tempat duduknya ada jauh di pojok belakang sana.

Berkulit putih dan rambutnya yang panjang bergelombang hingga pinggang serta berwarna hitam kecoklatan di tiap ujung helai rambutnya. Kulihat dia tampak cemberut sembari melihat ke arah luar melalui jendela dengan posisi tangan kanannya di atas meja sebagai tumpuan wajahnya.

Kurasa dia mulai murung seperti itu semenjak selesainya acara final election kemarin. Bahkan dia langsung pulang begitu saja tanpa menghampiriku sesaat setelah turun dari panggung. Kurasa hal seperti itu bisa kukesampingkan dulu.

Mari kupikirkan terlebih dahulu, apa yang akan terjadi pada hari ini yaa? Kurasa akan ada beberapa hal yang terjadi mengingat keterlambatanku kemarin pasti akan menyeretku pada masalah yang lebih mendalam.

"Woy Rafael."

Astaga! Ck ... ternyata Arkan.

"Ada apa pak ketua?" tanyaku sembari melemparkan wajah kekesalan terhadapnya.

"Pagi pagi udah melamun ngelihat doi aja," balasnya heran.

"Ah ... sudah jadi kebiasaan sih, jadi jangan heran gitu ya pak, lalu ada urusan apa ya sampe datang ke bangkuku?"

"Ah ini ada yang mau aku kasih tau, nanti pas istirahat ga kemana-mana, kan?" tanyanya sedikit terlihat gugup.

"Hmm ... kalau posisiku dibutuhkan, aku ga akan kemana-mana kok," jawabku datar.

Kring!!! Kring!!! Kring!!!

"Eeehh!?!?!? udah dulu yaaa raf, nanti tolong jaga yang lain agar tidak keluar dari kelas," kaget Arkan lalu bergegas pergi meninggalkan tempat dudukku dan segera menuju ke tempatnya.

Kenapa dia begitu panik dan terlihat gugup begitu ya? Bukankah dia yang sebelumnya paling optimis untuk menjadi pemimpin dari kelas tertinggi.

Hah ... hari ini banyak sekali hal berbeda yang menghampiriku. Mulai dari diri sendiri sampai orang lain. Kurasa ada sesuatu yang janggal. Namun, kuharap pemikiran gilaku tidak menjadi kenyataan.

>===o===<

Cerita ini adalah fiksi.

Semua orang, kelompok, tempat, dan nama yang muncul di Cerita ini.

Tidak ada kaitannya dengan dunia nyata.

Nächster?

Immer noch im selben Abschnitt

>===#===<