Ikhsan melepas genggaman tangannya pada Chelsea. "kita pulang yuk." Ajak Ikhsan.
Chelsea tersenyum kecut. "kamu luan ke mobil aja, nanti aku nyusul."
Ikhsan menggeleng tanda ia tak setuju meninggalkan Chelsea sendirian di pantai. "bareng-bareng."
Chelsea mengangguk dan berjalan mendahului Ikhsan.
Mereka akhirnya pulang, terjadi keheningan yang lebih mencekam dari biasanya di dalam mobil. Chelsea dengan tatapan kosongnya menatap jalanan depan sedangkan Ikhsan masih mencerna ucapan Chelsea tadi.
Tiba-tiba hujan turun, Chelsea menutup matanya bersamaan dengan air mata yang ikut turun. "tuhan gak pernah adil." Suara Chelsea tenggelam karena petir saling bersautan di atas langit.
Ikhsan menatap Chelsea, sempat mendengar Chelsea bersuara. "saat aku untuk pertama kali menyukai seseorang namun orang itu tak menyukaiku, saat pertama kali aku merasa nyaman dengan seseorang, namun sepertinya… aku tak pernah ditakdirkan bahagia, saat semua orang terlihat bahagia karena keluarga mereka, aku justru menderita karena keluargaku." Ucap Chelsea perlahan membuka matanya menatap Ikhsan dengan penuturan tak terima atas takdir. "kau berbohong tentang menerima takdir, karena sebenarnya kau tak pernah menerima itu." Lanjut Chelsea.
Ikhsan masih diam tak ingin berkata apa-apa.
Sampainya di pengadilan, Ikhsan menghela nafas panjang dan menoleh ke arah Chelsea. "aku memberi saran Chelsea, aku berikan pendapatku, kamu lakukan atau tidak itu terserahmu." Ucap Ikhsan. Chelsea memalingkan wajahnya dan turun dari mobil Ikhsan.
Gadis itu berjalan mendekati kerumunan keluarga Ayahnya yang sedang diwawancarai, sang Eyang merangkul pundak Chelsea memperkenalkan Chelsea kepada seluruh media.
Chelsea diminta berbicara tentang perceraian ayah dan ibunya, Chelsea hanya tersenyum dan berjalan anggun mengikuti Ayahnya beserta sang Eyang yang belum melepaskan rangkulannya.
Di mobil, Chelsea duduk di samping kemudi bersama sang supir keluarga. "kamu tidak dating saat persidangan Mama dan Papa." Ucap Reno saat mengetahu bahwa putrinya tak ada di ruang sidang. "katanya kamu ingin melihat Mamamu." Lanjutnya.
Chelsea berdehem. "aku sudah bertemu, namun sepertinya ia enggan menganggapku anak." Jawaban Chelsea menimbulkan tawa kecil dari sang Eyang dan Papanya.
Sampainya di rumah, Chelsea masuk lebih lama dari Eyang dan Papanya. Gadis itu langsung memasuki kamar yang sedari semalam ia tempati.
Gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur dengan mata tertutup.
Tak lama, ketukan pintu terdengar. Chelsea membuka matanya dengan posisi yang masih sama.
"Chelsea, nanti malam pulanglah ke rumah, ambil baju-bajumu. Kamu akan diantar supir keluarga." Suara Reno menggema.
Chelsea hanya diam mendengarkan. Terdengar ketukan sekalilagi, namun Chelsea masih bertahan di tempatnya.
Ia menatap langit-langit kamarnya dengan wajah yang sulit diartikan. Mengapa hal ini harus terjadi pada dirinya? Padahal banyak manusia di luar sana yang lebih tak berhak bahagia.
Chelsea melirik jam dinding. Pukul 15.00 wib.
Gadis itu bangkit dari kasurnya dan bersiap untuk kerumahnya. Ia keluar kamar dan langsung menghampiri sang supir yang tengah terduduk di pos satpam rumah Eyang.
"eh mbak, mau berangkat sekarang?" Tanya sang supir.
Chelsea mengangguk mengiyakan ucapan sang supir. Pria paruh baya itu langsung bangkit dari duduknya dan mempersilahkan Chelsea masuk ke dalam mobil.
Hening dan tenang, Chelsea cukup kagum dengan semua pegawai di dalam rumah Eyang, patuh dan tidak semena-mena.
Sampainya di rumah, Chelsea turun dan menatap kediaman yang selama ini ia tinggali. Sang supir yang biasanya mengantar Chelsea ke sekolah sedang mencuci mobil dengan celana pendek dan kaus tak berlengan.
Ia tersenyum lembut ke arah Chelsea, gadis itu dengan angkuhnya tak membalas sapaan atau senyuman dari siapapun, ia masuk ke rumah dan melihat sesuatu yang menggelikan.
Ibunya, wanita tegas nan sombong itu sedang berciuman di sofa ruang tengah bersama seorang pria. Chelsea tertawa meremehkan dan mulai menepuk tangannya dengan keras. "bahkan hakim belum memutuskan, namun kau malah berbuat hina di sini." Ucap Chelsea meremhkan.
Evelin berdiri. "apa yang kau lakukan di sini?"
Chelsea berhenti menaiki tangga. "mengambil baju-bajuku sebelum kau membuangnya semua." Jawab Chelsea sekenanya dan langsung masuk ke kamarnya.
Ia benar-benar terkejut saat kamarnya dalam kondisi berantakan. "aku mencari---"
"mencari emas, laptop, dan uang yang aku punya?" potong Chelsea.
Chelsea tertawa kecil. "aku tidak bodoh dengan meninggalkan barang berhargaku di sembarang tempat." Ujar Chelsea. Gadis itu membuka brankar dan mengambil semua miliknya yang ia masuki ke dalam tas.
"uang dari mana sebanyak itu?" Tanya Evelin karena yang wanita itu ingat, mantan suaminya tak pernah memberi uang sebanyak yang ia lihat saat ini.
Chelsea masih sibuk dengan kegiatannya. "keluarga mantan suamimu sangat kaya, mereka selalu memberikan yang tak pernah aku minta." Jawab Chelsea dan beranjak keluar dari kamarnya.
Dengan sengaja gadis itu berhenti tepat di samping Evelin. "tenang saja, anggap kita tak pernah kenal dan bertemu." Ucap Chelsea dan pergi meninggalkan rumah itu.
"kamu terlalu angkuh Chelsea!"
Nafas Chelsea memburu, dadanya naik-turun menandakan emosinya sedang tidak stabil.
Chelsea melihat jam di pergelangan tangannya, pukul 18.00wib.
"antar saya ke rumah teman dulu." Ujar Chelsea. Sang supir mengangguk mengiyakan dan mengikuti petunjuk arah yang Chelsea berikan.
Mobil berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar. Ia keluar dari mobil dan melihat ada beberapa anak kecil yang sedang bermain bersama. Kedatangan Chelsea membuat anak-anak itu berhenti bermain dan memperhatikan Chelsea.
"Ada Ikhsan?" Chelsea memecahkan keheningan membuat anak-anak itu serentak berteriak memanggil nama Ikhsan membuat si empunya keluar dengan wajah sebal.
"hussss kalian jangan berisik!" peringat Ikhsan sembari memperhatikan sekitar dan menemukan figur Chelsea.
Chelsea tersenyum menyapa Ikhsan yang kini menatap Chelsea dengan mata tak berkedip.
Ikhsan mempersilahkan Chelsea masuk. Gadis itu hanya diam sedari tadi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Zeneta keluar dari kamarnya dengan senyum mengembang sembari menggendong seorang anak kecil. Chelsea dan Ikhsan menghampiri Zeneta, mencium punggung tangan Zeneta.
Zeneta mengelus kepala Chelsea. "apa kabar Chelsea?"
Chelsea tersenyum.
Zeneta menurunkan anak kecil itu. Chelsea mengikuti langkah Zeneta yang menuju ke ruangan yang terakhir kali Chelsea kunjungi.
"kamu ada masalah sama Ikhsan Chels? Kok Ikhsan tumben diam mulu." Ucap Zeneta sambil duduk di kursinya.
Ikhsan membulatkan matanya sambil menggeleng keras. "bundaaaa ssstt! Sssstt!!!!!" ucap Ikhsan sambil meletakkan telunjuknya di depan bibir mengisyaratkan agar Bundanya itu diam dan tak menanyakan apapun.
Zeneta tertawa, sedangkan Chelsea hanya tersenyum tipis. "keluarga kamu tahu kalau kamu ke sini?" pertanyaan Zeneta membuat Chelsea terdiam. Benar juga, apa yang akan Eyang lakukan jika tahu ia di sini.
Chelsea bangkit dari duduknya. "aku pamit bun." Ucap Chelsea dan pergi begitu saja. Ikhsan mengejar Chelsea, langkah gadis itu terlihat terburu-buru.
Ikhsan mendapatkan tangan Chelsea. "hei! Kamu mau ke mana?"
Chelsea melepaskan genggaman tangan Ikhsan, namun Ikhsan mempertahankan genggaman tangannya. "Hei! Dengerin aku dulu!" bentak Ikhsan akhirnya.
Chelsea diam, kaget dengan suara tinggi yang Ikhsan keluarkan. Anak-anak di rumah itu juga ikut memperhatikaan Chelsea dan Ikhsan.
"kamu datang ke sini, senyum, masuk, salim bunda, setelah itu pergi gitu aja tiba-tiba, maksudnya gimana sih?" suara Ikhsan masih terdengar sinis walau nadanya sudah tidak setinggi tadi. "kamu punya sopan santun gak? Gak bisa kamu pergi dengan baik-baik? Sikap kamu malah buat kami semua panik Chels! Kamu paham gak?"
Chelsea menghempaskan tangan Ikhsan di pergelangan tangannya. "aku yang menjalani hidupku, kenapa kamu yang panik? Kamu gak akan pernah paham kehidupanku!" ujar Chelsea dan pergi setelah pria di depannya itu tak menunjukan pergerakan lagi.
Chelsea berlari ke arah mobil dan langsung pergi begitu saja.
Chelsea harusnya memikirkan akibat dari ia mendatangi Ikhsan.
Sampai di rumah Eyang, Chelsea disambut oleh sebuah kejutan. Ramai, senyap, dan beberapa orang mengelilingi sebuah mayat. Gadis itu menatap sebuah mayat yang ditutupi kain putih itu.
Ia berjalan, mendekati sang mayat dan membuka kain kafan yang menutupi tubuh sang mayat. Wajah Eyang tampak putih pucat dengan ekspresi mengerikan, orang yang duduk di sekitaran mayat menjerit histeris.
Tiba-tiba tubuh Chelsea disenggol. Ia membuyarkan lamunannya, menyadari dirinya masih berdiri di pintu utama menghalangi jalan orang-orang yang ingin keluar masuk. Chelsea mengedarkan pandangannya, mencari ayahnya dan yak!
Tak jauh dari sang mayat, Reno sedang berbincang dengan… Eyang?. Gadis itu melirik mayat itu, lalu kembali melirik sang Ayah yang sedang berbincang dengan seseorang yang mirip dengan kakeknya. Apa yang meninggal bukan Eyang? Atau Eyang punya kembaran?
Chelsea memilih masuk ke kamarnya dan duduk di kasur yang sekarang telah menjadi kasurnya. Apakah ia salah lihat? Atau tidak ada yang meninggal dan yang tadi ia lihat hanya khayalan semata? Chelsea kembali bangkit keluar dari kamarnya untuk melihat apakah ia benar atau tidak.
Suasana masih sama, dan ada mayat yang terletak di ruang tamu. Chelsea kembali ke kamarnya menutup pintunya rapat dengan pikiran berkecamuk, kali ini gadis itu yakin bahwa ada seseorang yang meninggal, namun siapa? Tidak mungkin Eyang, karena baru saja ia melihat Eyang dan Ayahnya berbicara santai, bahkan tidaak nampak raut wajah sedih.
Chelsea menepuk wajahnya berkali-kali dan ia merasakan sakit, ia melihat tubuhnya di cermin dan ia yakin ia masih hidup.
Gadis itu akhirnya memutuskan untuk berbenah dan merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Saat akan menutup mata, ia malah mendengar keributan dari luar kamarnya. Chelsea keluar dan melihat seorang wanita berteriak meneriaki Eyang, entah apa masalahnya, namun wanita itu terlihat menangis dengan wajah memerah.
"kalian keluarga pembunuh! Sudah ku katakan, jika tidak dapat merawatnya biarkan saja aku dan keluargaku yang merawatnya!" suara wanita itu tersendat karena tangis.