webnovel

Free World Online

2050, sebuah game berbasis Virtual Reality Massive Multiplayer Online sudah di buat oleh perusahaan game terkemuka di dunia, Free World Company. Saat pembukaan game yang dinantikan itu, kengerian telah terjadi. Menu Log Out yang harusnya tersanding di Sistem Menu, telah menghilang, dan kematian di dunia itu sama dengan kematian di dunia nyata. Jika kau ingin keluar dari game itu, maka satu-satunya jalan adalah dengan membuka seluruh Map Area yang berjumlah sepuluh Area dengan masing-masing Area di kuasai oleh Boss kuat yang bisa mengancam nyawa para Player.

Hadi_Prayoga · Games
Not enough ratings
20 Chs

14: Para Pemerkosa

"Dulunya, guild The Police hanyalah sebuah organisasi yang di bentuk oleh ku dan orang-orang yang aku kenal di dunia nyata. Mereka bertiga masih muda dan tampan." Kakek ini berhenti sejenak, menatap biru nya langit. "Awalnya organisasi ini hanyalah sebuah kelompok kecil yang membantu anak-anak yang tidak berani keluar dari zona aman. Tapi karena di dunia ini kita masih harus makan dan minum untuk bertahan hidup, lama kelamaan koin emas nya akan habis. Di situlah organisasi kecil kami bertindak. Tiga temanku yang masih muda dan kuat itu membunuh monster-monster di zona yang dekat, lalu membagikan makanan dan minuman sehari satu kali di gedung besar yang kami beli."

"Iya. Lalu?" Tanya ku.

Kakek ini menunduk dan menatap tanah. "Setelah sekian lama, mereka bertiga mulai bertingkah seperti seorang pemimpin yang arogan. Mereka mulai memaksa anggota The Police untuk memberikan mereka seratus koin emas per hari, dan bagi yang tidak mampu, mereka tidak di beri makan."

"Ha? Kenapa mereka tidak melawan?"

Kakek ini menggeleng lemah. "Ada satu kejadian mengerikan yang terjadi bulan lalu. Ada dua orang yang mencoba untuk menggulingkan mereka, dan berakhir di penjara."

"Apa mereka kuat? Teman-teman mu?"

Kakek ini mengangguk pelan. "Iya. Karena mereka memiliki koin emas yang banyak, perlengkapan mereka sangat kuat."

"Anu," Aku menelan air liurku, dan mencoba merendahkan nadaku agar terdengar sopan, karena pertanyaanku yang akan keluar ini akan sangat tidak sopan. "Saya belum mengerti maksud dari Kakek yang menceritakan hal ini, tapi... Apa yang Kakek mau dari saya?"

Kakek ini mengangkat wajahnya dan menatapku dengan sebuah senyuman. "Kau adalah Pengelana Hitam yang terkenal karena kekuatanmu di lantai empat, dan aku yakin kau bisa mengalahkan mereka, Zack."

"Ke-Kenapa kau ingin aku melakukan itu pada teman-teman mu?"

Kakek ini kembali menunduk. "Aku tahu ini terdengar menjijikan, tapi..." Kakek ini seperti menahan sesuatu di tenggorokannya. "Mereka, mereka pedofil."

Aku menolak untuk tidak terkejut dan hampir saja aku tersedak oleh air liurku sendiri. "Se-Serius? Apa Kakek punya buktinya?"

"Me-Mereka memaksa anak-anak perempuan yang umurnya empat belas tahun kebawah untuk melakukan 'sesuatu' pada alat kelamin mereka. Karena tidak adanya polisi di tempat ini, mereka jadi bebas melakukan hal itu. Dan para anak-anak pun tidak bisa melakukan apapun. Tim penyerang yang kuat pun jarang atau bahkan tidak pernah datang ke Area satu, jadi kami tidak punya pilihan selain mengikuti apa yang mereka katakan."

"Anak-anak perempuannya, bisakah aku menemui salah satu dari mereka."

"Ayo, main saja ke tempat kami, Zack."

"Baiklah." Aku mengangguk.

Kakek ini berdiri dan memimpin jalannya. Saat berjalan, dia terlihat seperti Kakek-Kakek pada umumnya. Mungkin alasan kenapa dia memainkan game ini, adalah karena dia ingin merasakan muda kembali, tapi Prof. Jack merebut itu dengan cara mengembalikan seluruh avatar pada diri kita sendiri.

Memang sangat menyebalkan, karena di dunia ini seharusnya kita bisa menjadi seseorang yang kita idamkan, tapi Prof. Jack malah merenggut semua itu, sehingga kita semua tidak bisa melakukan apapun selain apa yang sedang kita semua lakukan sekarang. Aku memang marah, tapi aku yang hanyalah seorang Player hanya bisa mengikuti apa yang Prof. Jack katakan. Tetap selamat sampai area terakhir, lalu keluar dari penjara kematian yang indah ini.

"Di sana kan?" Tanyaku, sambil menunjuk pada sebuah bangunan yang besar.

Hmm? Yuki?

Kakek ini menatapku, "Sepertinya kau tahu gadis cantik berambut putih itu ya, Zack?"

"I-Iya. Aku pernah ke sini dengannya saat mengantarkan si Red Eye."

"Oh, benar juga. Maaf, aku lupa."

"Hehe, tidak apa."

"Zack?" Yuki yang menyadari keberadaanku berjalan mendekatiku. "Kenapa kau bisa bersama Kakek Jii."

"Jii?"

Kakek ini mengangguk, "Oh, kamu belum tahu nama Kakek ya?"

"I-Iya."

"Nama Kakek, Jii."

"Oh, nama yang simpel. Aku suka." Kemudian aku menatap Yuki, "Lalu, kenapa kau ada disini?"

Yuki memiringkan kepalanya seperti kebingungan akan sesuatu. "Aku berhutang banyak pada The Police."

"Eh?"

"Soalnya sebelum aku turun ke garda depan, selama satu minggu, aku diam di The Police."

"Oh, kau juga salah satu Player yang takut maju ke depan?"

Yuki mengangguk, "Aku terlalu shock saat tahu kita tidak bisa Log Out, dan karena hal itu, aku tidak melakukan apapun selain diam saja."

"A-Aku kira kau gadis cantik yang berani, Yuki."

"Ca-Cantik?"

Aku memalingkan wajahku, "Maaf, aku tidak bermaksud untuk mendapatkan apapun dari mu."

"I-Iyah, tidak apa."

Kek Jii tiba-tiba tertawa. "Ayo ke ruanganku saja."

"I-Iya." Aku dan Yuki menjawabnya hampir serentak.

Kami masuk ke gedung itu, dan melewati sebuah ruangan makan yang sangat besar. Ada banyak anak-anak di tempat ini yang sedang bercanda dan bermain. Mereka terlihat bahagia walau mereka tidak tahu kapan mereka akan kembali ke dunia nyata untuk bertemu dengan Orang tua mereka.

"Ah!" Seorang bocah laki-laki menunjuk Yuki. "Kak Yuki datang! Hei, Kak Yuki mengunjungi kita lagi."

Yuki tampak tersenyum lembut, lalu turun dengan lututnya dan menerima sambutan dari anak-anak yang ada di sini.

"Dia, terkenal?" Gumamku.

Kakek Jii tertawa kecil. "Dia bagaikan Putri salju di tempat ini."

"Putri salju?"

"Yah, itu hanya kata-kata ku saja. Dia seperti seorang putri yang kedatangannya selalu di tunggu oleh anak-anak yang ada di sini."

"Apa Yuki tahu tentang pedo itu?"

"Kakek baru akan memberitahunya."

"Dia pasti akan marah."

"Itu sudah pasti, karena dia menganggap semua yang ada di The Police adalah keluarga nya."

Aku yang menatap Yuki sedang tersenyum, hanya bisa terdiam sambil menikmati suasana manis itu. Anak-anak itu menyukai Yuki, dan Yuki juga menyukai mereka.

"Dia cocok kan?" Tanya Kek Jii.

"Cocok? Untuk apa?"

"Menjadi isteri."

Aku sedikit terkejut, lalu kemudian tersenyum tipis. "Iya, dia sangat cocok."

"Bagaimana, Zack?"

"Ya?"

"Apa kau mau jadi pendamping hidup Yuki?"

"Eh?" Aku menolaknya dengan kedua tanganku. "Orang seperti ku tidak mungkin dengannya, yah maksudku... Dia tidak mungkin mau denganku."

"Benarkah?"

"Iya, itu benar."

Iya, bahkan aku tidak pernah berbicara dengannya jika itu bukanlah tentang game ini.

Sangat menyedihkan memang hidupku, aku selalu saja menyukai orang yang tidak mungkin bisa aku miliki. Rasanya aku adalah orang paling bodoh.

"Lagi pula," Aku melanjutkan. "Dia sudah pasti punya pacar."

"Oh, dengan wajah secantik itu, kau pasti berpikir kalau dia sudah ada pacar ya?"

"Iya."

"Kenapa tidak tanya pada nya tentang itu?"

Aku menoleh ke arah Kek Jii dan menatapnya dengan wajah terkejut. "Yah, aku tidak mungkin melakukan itu kan, Kek?"

"Hehe."

"Baiklah," Yuki mengelus-elus dua anak-anak yang ada di depannya. "Kak Yuki harus pergi dulu."

"Eeehh???"

"Ahaha, ja-jangan sedih. Nanti juga aku ke sini lagi kan?"

Pedofilia? Tapi aku tidak melihat adanya anak-anak perempuan yang- hmm? Aku baru menyadari satu hal, dari semua anak-anak yang berkumpul di sekitar Yuki, semuanya laki-laki dan anak-anak perempuannya hanyalah anak-anak di bawah sepuluh tahunan.

"Kek Jii."

"Iya?"

"Umur berapa target mereka?"

"Di bawah empat belas, tapi di atas sebelas tahun."

"Begitu ya."

"Sepertinya kamu menyadari sesuatu ya, Zack?"

"Iya."

Anak-anak perempuan di bawah empat belas tahun dan di atas sebelas tahun tidak ada, semua itu kemungkinan karena mereka sedang 'melayani' atau melarikan diri dari The Police.

Yuki berdiri dan menoleh pada Kek Jii. "Kita pergi sekarang?"

"Iya, tentu saja."

Kami menaiki tangga di depan kami, lalu menaiki tangga ke arah kanan, dan berjalan lurus melewati lorong yang lumayan panjang, dan di ujung lorong ini ada sebuah pintu, itu adalah kamar Kek Jii.

Kek Jii membuka pintunya, lalu mempersilahkan kami untuk masuk.

Aku tidak tahu apapun, jadi dengan santainya aku memasuki kamar itu.

"Kyaaaaaaa!!!" Seorang anak perempuan yang ada di kamar Kek Jii tiba-tiba menjerit saat melihatku masuk.

"A-Ada apa?!" Tanyaku yang mulai panik.

Kek Jii menghalangiku dengan tangan kirinya, sedangkan Yuki menatapku seolah aku adalah penjahat.

Yuki berlari mendekati anak perempuan itu dan memeluknya. "Kau tidak apa-apa?"

"Hiks... Hiks... Kak Yuki..."

"Ada apa? Apa orang itu mengganggu mu?"

Anak perempuan itu tidak menjawab dan hanya menangis saja.

Yuki menatapku dengan wajah kesal. "Apa yang kau lakukan padanya?"

"Yah, ini adalah kali pertama aku bertemu dengannya."

"Tidak!" Kek Jii mulai membuka mulutnya. "Dia adalah satu-satunya korban yang di perkosa oleh tiga lelaki bejat itu."

"Eh?" Yuki menatap Kek Jii dengan wajah keheranan. "Perkosa?"

Kek Jii mengangguk.

"Tunggu!" Kataku. "Ini aneh. Memang R-18 ada di dunia ini, tapi hal itu berlaku jika umur mu sudah cukup kan?"

"Tidak." Kek Jii menggeleng, "Setelah Jack mengurung kita di dunia yang keji ini, aturan itu sudah menghilang. Dunia ini sudah seperti dunia nyata."

"Apa?"

"Kek Jii." Yuki berdiri dengan tangan kanannya memegangi tangan anak perempuan itu. "Siapa yang melakukannya?" Saat Yuki menanyakan itu, tatapan matanya berubah mengerikan, bahkan aku yakin kalau tadi ada gambaran es tajam di belakangnya.

"Kakek tidak akan memberitahu kamu kalau kamu tidak tenang, Yuki!"

"Tck!"

Woi-Woi! Nona Yuki, bukankah itu tidak sopan? Bukankah kau sangat menghormati Kakek tua bernama Jii ini?

"Jadi, mau berjanji untuk tetap tenang?" Tanya Kek Jii pada Yuki.

"I-Iya."

"Dek Chio." Kata Kek Jii.

Gadis kecil bernama Chio itu menatap Kek Jii dengan matanya yang masih di penuhi oleh air mata. "Apa?"

"Zack, kakak yang satu ini," Kek Jii menunjuk padaku. "Dia bukan laki-laki, lho."

"Eh?" Aku menatap heran pada Kek Jii.

"I-Iya." Yuki menanggapi. "Pria itu adalah perempuan."

"Ha?" Aku menatap Yuki dengan wajah aneh. "Pria itu adalah perempuan? Apa kau sedang bercanda?"

"Ah, tidak! Ma-Maksudku dia perempuan, lho."

"Benarkah?" Tanya Dek Chio padaku.

"I-Iya."

"Ta-Tapi suara Kakak."

"Ah, itu..."

Tatapan Kek Jii dan Yuki padaku seperti berkata, "Cepat cari alasannya, karena kami tidak tahu lagi harus berkata apa!"

Sialan!

"Yah, soal itu," Aku berhenti sejenak, menelan air liurku bersama dengan rasa gugupku, lalu melanjutkan, "Sebenarnya ini bawa'an dari lahir."

Dek Chio memiringkan kepalanya seperti bertanya padaku.

"Yah, i-intinya aku tetap perempuan." Lanjutku.

Ada jeda yang lumayan panjang dari Dek Chio, tapi kemudian dia mengangguk semangat ke arahku dan tersenyum lembut. "Tapi Kak Zack tetap perempuan kan?"

"I-Iya, begitulah."

Gaaaahhhh!!! Harga diri ku sebagai seorang laki-laki seketika langsung hilang, dan sebutanku sebagai Pengelana Hitam yang selama ini aku anggap keren, langsung menciut.

Aku melirik pada Kek Jii, "Kek Jii. Bukankah sekarang waktunya untuk menjelaskan?"

"Ah, iya."

Yuki duduk di kasur Kek Jii, sedangkan Dek Chio duduk di pangkuannya. Kek Jii dan aku duduk di sofa yang ada di kamar ini.

Aku rasa selera Kek Jii dengan kamar lumayan bagus, maksudku untuk umur nya.

Kek Jii menyatukan kedua tangannya dan menaruhnya di pahanya. "Awalnya mereka bertiga hanya membuat anak-anak perempuan bermain dengan 'alat' mereka, tapi semakin kesini mereka semakin menjadi-jadi. Dan kasus pertama nya adalah Dek Chio. Mereka menggilirnya semalaman penuh."

"Kek Jii," Yuki terlihat kesal. "Apa tidak masalah jika aku membunuh mereka bertiga?"

"Kamu sendirian tidak akan kuat, Yuki."

"Ha?!" Yuki seperti tersinggung saat mendengar kata bantahan Kek Jii. "Aku sudah maju sebagai tim penyerang dari Area satu sampai Area empat! Tidak mungkin aku bisa kalah dari pedofil seperti mereka!"

"Kamu pikir kenapa Kakek memanggil Zack?"

"Eh?"

"Kamu pikir kamu kuat, tapi apakah benar begitu?"

"Jadi Kakek pikir aku butuh bantuan makhluk yang ada di sana?"

Eh? Apa yang dia maksud adalah aku? Yah, kalau suasana nya sedang tidak memanas seperti sekarang, aku seratus persen sudah membalas omongan Yuki.

"Iya."

Yuki menggeleng, "Biar aku buktikan!"

Kemudian Yuki bangun setelah memindahkan Chio dari pangkuannya, dan berjalan keluar dari kamar ini.

"Kakek Jii," Dek Chio berjalan ke pelukan Kek Jii. "Ada apa dengan Kak Yuki?"

Kek Jii tersenyum, "Tidak ada. Dia hanya sedang bertengkar dengan sahabatnya."

Aku melirik Kek Jii, "Apa yang harus aku lakukan?"

"Kamu harus menyelamatkan Yuki, Zack."

"Baiklah."

Aku berdiri dari kursiku, lalu berjalan menuju pintu masuk.

"Gah!" Sesuatu menusuk leherku.

Aku berbalik, dan melihat Kek Jii yang tersenyum mengerikan ke arahku.

"Apa yang..." Tapi, kesadaranku hilang.

"Hehehe. Tidurlah Zack! Biarkan kami yang melakukan tugasnya."

---

"Sampai kapan kau mau tidur, Pengelana Hitam?"

Sebuah tamparan sepertinya mendarat di wajahku setelah suara perempuan itu.

Aku membuka mataku dan melihat seorang perempuan cantik dengan rambut hitam panjang yang berdiri di depanku.

"Aku pernah melihatmu sebelumnya." Kataku.

"Oh, benarkah?"

"Iya. Aku melihatmu di penginapan waktu itu."

Tiba-tiba wajah perempuan ini terlihat kesal, dan dia mengeluarkan sebuah belati.

"Whoa!" Saat aku hendak berdiri, aku tidak bisa melakukan itu. Aku duduk di sebuah kursi, tanganku diikat di belakang kursi ini, dan kaki ku diikat di kaki kursinya. "Apa-apa'an ini?!"

Perempuan ini menggoreskan belatinya ke pipiku.

"Ngnhh! Apa yang-"

"Diamlah!" Dia berhenti sejenak, kemudian dia terlihat seperti hendak menangis saja. "Karena salahmu, mereka melakukannya juga di dunia ini!"

"Ha? Apa yang kau-"

"Aku bilang diam!"

"Tck!" Aku menarik napasku dalam-dalam, dan mulai berkata dengan keras, "KAU YANG DIAM DASAR PEREMPUAN SIALAN!!!"

"Eh?"

"Dengarkan aku! Apa salahku?"

"Anu, kenapa kau yang malah marah?"

Aku mengalihkan pandanganku, "Beritahu saja apa salahku."

Perempuan ini mengangguk pelan, lalu tanpa basa-basi lagi dia menusukan belatinya pada paha kananku.

"Gah! Si-Sial! Sakit!"

"Namaku Mary. Alasan kenapa aku membencimu adalah karena kau melindungi gadis bernama Liz itu." Mary berhenti, lalu mengambil sebuah kursi dan duduk di depanku. "Jika saja saat itu kau tidak menyelamatkan Liz, aku tidak akan jadi sasaran mereka!"

"..." Aku terdiam.

"Apa kau tahu rasanya di perkosa?"

Aku menggeleng dalam diam.

"Aku tahu rasanya! Aku tahu rasa takutnya! Aku tahu rasa sakitnya! Aku tahu rasa jijiknya! Yang bahkan membuatku ingin melakukan apapun asalkan mereka tidak melakukan hal itu lagi pada ku."

"Maaf mencela." Kataku. "Siapa 'mereka' yang kau maksud?"

"Roma! Oman! Manny! Dan Jii!"

"Jii? Kek Jii si pemimpin The Police?"

"Iya." Mary berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada marah. "Karena salahmu menyelamatkan Liz dari si Red Eye, bahkan di dunia ini mereka memperkosaku!"

"Bahkan? Artinya-"

"Iya! Mereka juga melakukan itu padaku di dunia nyata."

"Kek Jii?"

"Iya!" Kemudian Mary tersenyum, "Tapi karena kau sudah tertangkap dan mereka punya mainan baru yang lebih cantik dan sexy dari pada aku, aku bebas."

"Tunggu! Mainan baru? Apakah-"

Mary tersenyum penuh dengan rasa puas, "Benar! Pacar mu, Yuki!"

Aku memang sedikit terkejut, tapi aku langsung menenangkan diriku. "Kau salah! Yuki bukan pacar ku."

"Eh? Serius?"

Aku tertawa terbahak-bahak. "Memangnya kau pikir gadis secantik Yuki mau dengan pria pas-pas'an seperti ku?"

"Aku rasa kau tidak-"

"Benar! Mana mungkin dia mau!"

"Oh, iya. Terserah."

"Tapi," Kataku. "Yuki adalah temanku."

"Terus?"

"Kau adalah korbannya."

"Iya?"

"Kau tidak salah, Mary!"

"A-Apa mau mu?"

"Kau bukanlah orang jahat!"

"Kubilang apa-"

"Yang jahat adalah mereka berempat!"

"Apa yang-"

Aku menatap wajah Mary tajam-tajam. "Biarkan aku melepaskan semua rasa takut mu pada mereka, Mary!"

"Eh?"

"Lepaskan aku! Dan aku akan berjanji padamu kalau mereka pasti mati!"

"Kau ini bicara apa?"

"Aku tidak tahan lagi! Aku benci pada pemerkosa! Maksudku, oh ayolah! Aku bahkan belum pernah merasakan seks selama sembilan belas tahun aku hidup! Tidak! Aku bahkan belum pernah merasakan hangatnya genggaman tangan dari seorang perempuan! Aku belum pernah pacaran! Intinya, SEMUA PRIA YANG SUDAH PUNYA PACAR DAN PERNAH MERASAKAN SEKS ADALAH MUSUHKU, SIALAN!!!"

"Kau sudah gila ya?"

"Sudahlah!" Aku memberontak. "Lepaskan aku dan biarkan aku membunuh mereka, Mary!"

Mary hanya tediam.

Aku juga terdiam.

Kemudian, Mary tersenyum canggung. "Kau sendirian tidak mungkin mengalahkan mereka, Zack."

Aku mengangguk, "Iya, itu benar. Maka dari itu aku akan menghubungi The Green Eyes."

"Gu-Guild terbesar itu?"

"Iya!"

"Ka-Kau tidak mungkin menghubungi mereka, mereka-"

"Rio adalah temanku."

"Ri-Rio? Pemimpin yang baru itu?"

"Iya! Dan Yuki juga temannya! Bayangkan jika mereka tahu apa yang terjadi pada Yuki dan apa yang telah mereka lakukan padaku?"

"Tapi-"

Aku tersenyum, "Aku tidak pernah menyalahkanmu, Mary."

Mary, dia meneteskan air matanya. Dia menangis dalam dekapan kedua pahanya. Dia yang menangis menunduk di depanku membuatku semakin marah pada mereka berempat. Alasan kenapa aku percaya pada Mary, adalah karena air matanya bukanlah sebuah kebohongan. Nada bicaranya bukanlah nada dari orang jahat, tapi orang yang ketakutan. Dan lebih dari semua itu... Gadis secantik Mary adalah orang jahat? Aku tidak bisa menerima hal itu, sialan!

"Nah, Mary." Kataku. "Di dunia nyata, berapa kali mereka memperkosa mu?"

"Hiks... Lima... Hiks..."

"Di dunia ini?"

"Satu..."

"Begitu ya."

Mary perlahan mengangkat wajahnya, lalu dia melepaskan semua ikatanku.

"Terima kasih, Mary."

Aku langsung menghubungi Rio dan menceritakan semua ini.

Rio! Di Area satu! Aku sangat membutuhkan pertolonganmu! Yuki mungkin akan segera di perkosa oleh empat orang biadab, dan mereka telah membuatku pingsan. Lalu, mereka sudah pernah memperkosa seorang perempuan di dunia nyata sebanyak lima kali! Tersangka! Bukan! Terdakwa adalah empat pendiri Guild The Police!

Mary yang tahu tempat di mana Yuki berada, langsung menuntunku ke tempat itu.

Tempatnya berada di ujung Area Satu. Sebuah tempat yang jarang di kunjungi oleh player karena tidak ada spot penting di sini. Di depanku ada sebuah rumah kecil yang kemungkinan mereka bangun sendiri, karena arsitekturnya yang payah, mereka bukanlah sarjana arsitek.

Aku menghembuskan napasku, lalu menendang pintu di depanku dengan segenap kekuatanku.

Di depanku, Kek Jii sedang merekam dengan kameranya, lalu ketiga orang lainnya yang bernama Roma, Oman, dan Manny sedang asik membuka pakaian Yuki.

Tangan dan kaki Yuki diikat pada tiang di empat sisi yang berbeda. Aku bisa melihat Yuki sedang menangis. Mulutnya di tutupi oleh sebuah kain berwarna putih.

Ah, tubuh Yuki memang indah.

Jangan! Fokus pada mereka berempat!

Ah, payudaranya indah sekali!

Jangan! Fokus!

Whoa! Pahanya!"

Sialan! Fokus!

Wow! Perut mulusnya!

Kubilang, fokus! Zack! Fokus!

Nggyaaaaa! Seksi banget, wow!

Zack! Sialan!

"Ada apa dengannya?"

"Entahlah!"

"Dari tadi terlihat aneh!"

"Zack?"

"Yo!" Aku mengangkat tangan kananku. "Yuki, sifat dingin mu sepertinya menghilang ya?"

Yuki terlihat tenang.

"Zack, kenapa kau bisa lepas?" Tanya Kek Jii padaku.

Aku tersenyum sombong, "Jangan remehkan top player sepertiku Kakek Mesum sialan!"

"Apa?"

"Sudah, ayo hajar saja!"

"Gampang!"

"Dia sendirian ini!"

Aku mengangkat wajahku layaknya orang sombong, lalu menatap mereka dengan tatapan sinis, setelah itu aku mengangkat tangan kananku sebatas perutku dan membunyikan jari telunjukku layaknya Kaneki Ken yang hendak bertarung. "Aku tidak sendirian, lho!"