webnovel

Menjodohkan?

Ruang makan siang yang ramai menyebabkan Ifa dan Kris terpaksa makan bersama Derry di salah satu pojokan sepi—lagi-lagi, di hutan taman yang rindang itu! Mereka bertiga berbincang dengan akrab. Derry tampak senang sekali bisa berkenalan dengan Kris. Ifa merasa heran sendiri saat ia sadar bahwa ia canggung sekali saat melihat Kris bertingkah seperti remaja normal.

"Itu karena ada sebagian dalam diri kita yang emang menyangkal apa yang tidak ingin kita lihat. Ada juga yang tak ingin melihat perubahan sama sekali. Gua juga dulu begitu saat melihat idola-idola lain di TV, sebelum ikut audisi. Tapi, saat udah jadi idola, semua berubah. Harus jadi cakep, harus jadi sempurna di mata orang. Padahal idola juga manusia. Sebenarnya kehidupan sebagai idola sangat melelahkan. Kita dipaksa supaya menjadi satu bentuk yang disukai, lalu kita harus tetap dalam 'wadah' itu meskipun kadang kita ingin bebas. Fans juga sama-sama manusia. Mereka kecewa saat melihat idola yang mereka sukai 'berubah', 'bertingkah di luar normal'. Karena itu tidak sesuai dengan yang mereka ingin lihat," Kris menguraikan saat Ifa bertanya tentang keanehan ini.

Ifa mengangguk-angguk dalam kekaguman.

Derry bergumam, "Kepopuleran dan harganya…."

"Tepat sekali. Tapi bohong kalau gua bilang gua kaga ingin populer. Memang sih, ada harga yang harus dibayar untuk pemuasan diri ini," Kris menanggapi dengan cerdas.

Saling kagum akan pribadi masing-masing mulai tumbuh. Ifa pada kecerdasan dan keterbukaan Kris, sedangkan Derry pada ketajaman pandangannya. Demikian pula Kris tertarik pada kepolosan, kesederhanaan, dan kejujuran dalam diri Ifa.

Derry jadi ingin menggoda. "Lalu, apa kamu udah punya pacar, Kris?"

"Hmm…, apa jawaban gua akan masuk majalah gosip?" tantang yang ditanya.

Ifa diam saja, mendadak teringat mengenai sebuah handuk dan air mata seorang gadis. Tangannya tanpa sadar mengepal.

"Tentu saja. Kecuali jika kamu jujur," Derry membalas.

Kris diam sesaat, matanya ragu tapi ia menjawab juga, "Gua gak punya pacar. Tunggu dulu..., bener ! Emang banyak yang mengejar gua dan ini harafiah lho.... Tapi, gua belum punya gandengan."

"Bagaimana dengan orang yang nembak elu?" Ifa mendadak bertanya.

"Ada banyak sekali yang demikian. Gua hanya bisa menolak mereka dengan sopan. Untunglah sampai saat ini belum ada yang terlalu ekstrem."

"Salah seorang teman gue ada yang ngasih lu handuk sulaman dengan inisial nama lu. Tapi, dia bilang elu tolak. Lu ingat?" Nada suara Ifa agak meninggi, meskipun ia sudah berusaha ucapannya sekadar bercanda atau setidaknya normal.

Alih-alih ia melihat ekspresi Kris yang tersinggung sesuai dengan yang diharapkannya, ia malah terlihat bingung.

"Handuk bersulam? Emang ada? Belum pernah ada fans yang memberikan handuk bersulam bulan kemarin."

Kris melihat ketegangan di wajah Ifa ia bertanya, "Maaf…, apa gua menyinggung perasaan temen lo?"

Ifa menggeleng dengan ragu dan bingung. Ia tahu Kris berkata jujur. Lalu bagaimana mungkin Indy belum memberikan handuk itu kepadanya? Namun, belum sempat ia merenungkan tentang hal itu lebih lanjut, mendadak Indy telah muncul ke tempat yang sepi itu! Ekspresi wajah gadis itu tampak ceria dan bersemangat, "Ha! Akhirnya lu ketemu juga!"

Anehnya, ia mengucapkan itu sambil memandang Ifa lekat-lekat. Lalu ia cepat menyambung sambil melihat ke arah Kris dan Derry yang bengong.

"Maaf mengganggu obrolan kalian, tapi boleh pinjam Ifa sebentar? Pak Lintar nyariin dia...."

Derry tersenyum-senyum sendiri.

Mengganggu obrolan? Hmm…, lalu gimana dengan kenyataan bahwa Indy bisa muncul begitu saja tanpa suara. Mungkinkah dia sudah ada di dekat sini selama mereka ngobrol?

Kris sendiri tercenung sesaat. Ia menatap Indy, lalu bertanya, "Kalau gua boleh tahu nama lo?"

Wajah Indy bersemu merah. Tangannya yang satu masih menarik Ifa yang setengah berdiri, satu lagi memilin lipatan roknya, "N-nerandee…, panggil aja Indy. Aku manajer tim basket Kastil Hastina!" Lalu dengan itu ia kabur sambil menyeret Ifa yang bengong.

Derry tertinggal berdua dengan Kris yang masih menatap ke arah larinya dua makhluk itu.

Untuk memecah kesunyian, Derry hanya bisa ngomong, "Gimana makanan kantinnya? Enak?"

Setengah jalan ke arah sekolah, baru pikiran Ifa bisa bekerja. Ia sontak berhenti.

"Tunggu dulu! Elu kan bukan manajer tim basket! Kita udah punya manajer!!"

Indy berhenti. Ia berpaling ke belakang. Wajahnya memerah tapi tatapannya bisa membuat bayi kucing kelaparan berhenti menangis mendadak!

"Dan-lu-gak-pernah-bilang-kalo-luu-tuh-temen-dekatnya-Kristanus Gerald Yung!" Desisnya mengeja satu kata demi kata dengan pandangan yang menakutkan.

"Emang bukan!" Lalu ia mengoreksi, "Eh..., sampai sejam yang lalu sih."

Jelas, Indy tak mendengar kata-kata terakhirnya.

"Dan..., kata lu..., elu mau bantu gue..., soal..., Kris?" Indy berkata dengan susah payah, tapi tatapannya masih mampu membuat Ifa bagai tercekik.

Hati Ifa seakan didorong ke dalam jurang masa lalu yang kelam. Memori dan janji bercampur aduk bagaikan es campur, lalu ketika ia ingat perasaannya sendiri, ia merasa rendah sekali.

Ia mendengarkan hanya separuh kata-kata Indy yang mengiba-iba padanya.

"Kata anak-anak, elu gak pernah ingkar janji. Nah, elu temen gue, kan? Bantu gue ya? Plisss...."

Sambil mengutuki dirinya sendiri, Ifa berkata karena tidak tahan, "Oke! Oke! Gue bantu."

Wajah Indy seketika merekah bagaikan sinar mentari pagi. Hati Ifa seakan luluh melihat pujaan hatinya begitu gembira. Indy segera memegang tangan Ifa erat-erat, saking bersemangatnya, "Janji?"

Ifa tersenyum pahit. Di mata Indy ia bisa melihat bayangannya sendiri. Ia buru-buru tersenyum dan menyegel ucapannya sendiri, "Janji."

"Bagus." Indy lalu membisikkan sesuatu ke telinga Ifa. Untuk melakukan itu, ia harus sampai berjinjit dan Ifa membantu dengan membungkuk sedikit. Ifa jadi tahu bahwa Pak Lintar sebenarnya tidak memanggilnya. Itu cuma akal-akalan Indy untuk menyeret Ifa pergi.

Saat Indy terus membisikkan rencananya, Ifa tersenyum pahit. Ia sedang mengubur cintanya sendiri, demi janji dan sekadar bisa bercakap-cakap atau melihat senyum Indy barang sekali lagi saja. Namun, ia tenggelam dan luluh dalam kekaguman dan juga ketakjuban, melihat sisi lain lagi dari gadis kasmaran yang sedang membombardir hatinya dengan petir-petir cinta itu.

"OK..., sip. Gue janji." Ifa berkata dengan berat tapi tulus.

Sesuai kehendak Indy, Ifa memperkenalkan ia pada Kris saat mereka kembali. Indy mulai dapat mengatasi rasa malunya dan mengobrol dengan Kris secara terbuka, dibantu oleh Ifa.

"Biar resmi, ini gue perkenalin sekali lagi. Indy, manajer tim basket Kastil Hastina."

Indy sendiri menjura sambil malu-malu.

"Manajer tim basket?" Kris bertanya dengan kaget, "Sekolah ini ada manajernya? Gile! Kita mah mana ada yang kaya begini! Wah, betapa enaknya!"

Ia tak melihat ekspresi tidak enak di mata Ifa, maupun kekagetan Derry. Indy sendiri tampak mulai semakin percaya diri dengan peran barunya.

"Model sekolah kita memang menganut pendidikan berkompetensi tinggi. Tentu aja semua kegiatan siswa diharapkan punya kemandirian tinggi pula." Indy menjelaskan.

"Oh…. Emm..., waktu pertandingan kemaren kok gua gak liat?"

"Karena aku lagi sakit waktu itu. Yang ada cuma Sinta, manajer satu lagi," jelas Indy dengan sangat fasih. Jelas sekali ia sudah mempersiapkan semua ini.

Ifa kaget sekali.

Kris sama sekali tidak pernah melihat Indy.... Bagaimana mungkin?

Ifa memandang Derry dengan penuh tanda tanya.

Derry malah tersenyam-senyum sendiri.

Derry sejenak kaget melihat perubahan situasi ini. Tapi ia segera mencernanya. Indy berhasil memaksa seorang Ifa untuk berbohong. Luar biasa! Ifa yang jujur seperti itu ternyata bisa berubah sedemikian rupa demi Indy. Tampak jelas Indy belum menyadari beratnya pengorbanan batin Ifa demi keuntungannya itu. Tentu saja Derry paham betul kenapa Indy ingin diperkenalkan sebagai manajer tim basket, sebab akal ini efektif bisa membuatnya punya alasan mendekati Kris.

Namun, Derry juga tahu bahwa akal seperti ini bukannya tanpa risiko. Ia bisa membayangkan betapa tegangnya Indy sekarang. Jika menurut cerita dan sumber-sumber Derry lainnya, ia tahu bahwa akhir-akhir ini kefasihan dan kepercayaan diri Indy seakan luntur jika berhadapan dengan Kris. Gadis ini sedang berjuang setengah mati, demikian juga Ifa. Mempertimbangkan hal ini, Derry dengan taktis hanya mengikuti percakapan antara Indy dan Kris. Tidak berkomentar apa pun.

Sementara, Ifa merasa lega sekali. Derry ternyata membiarkan saja kebohongannya plus rencana Indy. Diam-diam, Ifa juga merasa gembira sekali bisa melihat Indy dapat ngobrol dengan Kris.

Namun, seiring dengan senyuman dan tatapan Kris pada gadis itu, di hati Ifa mulai terbentuk lubang yang menganga diliputi kehampaan dan kegelisahan. Ia pun berusaha melawannya mati-matian.

Bukankah ia sudah memutuskan untuk menyerah? Bukankah ia tadi merasa begitu senang saat Indy meminta pertolongannya sambil berkaca-kaca? Tapi kenapa pedih di hati tiada hilang juga?