Keluarga Kusuma memiliki lima orang anak. Dua anak perempuannya yang paling tua telah menikah dan membangun keluarga masing-masing—satu di Geneva, Swiss dan satu lagi di Seattle, Amerika. Sedangkan dua anak yang termuda—anak kembar; cowok-cewek—sekarang masih menduduki bangku SMP. Indy adalah anak ketiga dari lima bersaudara Kusuma.
Sambil bernyanyi riang, Indy berjalan ke arah pintu depan. Begitu ia masuk ke dalam rumahnya yang luas, Indy langsung menuju ke dalam kamarnya. Ia merasa seakan siap meledak sewaktu-waktu! Jadi, dia melampiaskan sebagian luapan emosi itu ke bantal dan boneka-boneka di atas ranjangnya! Ia melompat-lompat senang, dan setelah capek sendiri, ia menelepon teman-temannya, lalu ia pun pergi mandi.
Indy memiliki dua kamar yang terhubung satu sama lain lewat sebuah pintu samping. Satu kamar diisi oleh barang-barangnya berupa: boneka, piagam, piala, bantal-bantal lucu, miniatur, koleksi kristal, tumpukan majalah, bingkai demi bingkai foto masa kanak-kanak, rak penuh komik shoujo, dan piringan hitam plus sebuah gramofon. Semua barang dan pernak-pernik tersebut ditata rapi, dan jika Indy sedang bete maka dia duduk atas bantal raksasa di tengah-tengah ruangan, memandangi benda-benda penuh memori di ruangan ini, sambil mendengarkan koleksi lagu klasik yang sangat digemarinya.
Sedangkan di kamarnya yang lapang, terisi pula oleh dua rak kayu penuh ensiklopedi dan buku-buku hukum, tape deck, tiga lemari besar berisi baju-baju, serta sebuah ranjang dengan selimut dan seprai bermotif Donal Bebek—tokoh kesayangannya. Jam kuno yang menghiasi ruangan itu bersebelahan dengan dipan panjang tempat boneka-boneka Disney, Tiny & Looney Toons, Tom & Jerry berjajar rapi. Di atasnya terpajang sebuah foto kenangan kecil Indy saat menggunting pita peresmian Sarana MRT tujuh tahun yang lalu, bersama Derry.
Keluarga Susanto dan Keluarga Kusuma memang berhubungan dengan erat dalam hal bisnis dan persahabatan. Persahabatan ini dimulai sejak keduanya bersama-sama membangun kerajaan bisnis dan kota ini. Persahabatan itu pun menular ke anaknya.
Saat masih kecil hingga duduk di bangku SMP, Derry sering sekali bermain dengan Indy. Hanya saja, setelah masa puber dan pergaulan remaja menyusul, Indy tak lagi begitu akrab dengan Derry.
Sesekali Indy masih suka memikirkan teman sejak kecilnya itu, tetapi ia menyadari mereka berdua telah berubah jauh sekali sejak masuk SMU. Derry berubah menjadi orang yang serius dan menjaga jarak, meskipun ia masih ramah. Sedangkan Indy telah menjadi salah satu anggota Network Sierra—klub remaja khusus cewek terpopuler di Pakar Kencana.
Jam dinding antik di kamar Indy menunjukkan pukul 06:30. Indy pun telah pergi lagi, kali ini mobilnya menggelinding ke arah pusat kota.
* * * *
Sementara itu, di Café Po Chi Lam, Ifa dan Derry sedang menikmati pesanan mereka dengan meriah. Makan malam yang ekstra banyak itu meliputi: aneka macam udang, ikan, ayam, tumis sayuran, sup jagung,dan asparagus, plus pencuci mulut—buah kalengan. Singkatnya, sembilan macam hidangan luar biasa. Ifa makan dengan lahap sekali, sekalian membalaskan dendamnya karena ulah Derry.
Hari itu kebetulan adalah hari cuti Anima. Ia sedang punya kesibukan yang tak bisa ditinggalkannya di luar café. Setelah gadis itu pergi, baru Derry merasa agak lega sedikit. Ia sering juga membawa temannya ke café ini dan biasanya mereka akan ngobrol bareng. Tapi kali ini dia sedang ingin berdua dengan Ifa.
Selama mereka makan, Ifa tampak tegang. Pada awalnya, dia was-was menunggu kapan Derry akan mengomentari trik yang sedang dia mainkan bersama Indy. Tapi, Derry tak kunjung membicarakan itu. Sahabat karibnya itu malah terus berbicara soal berita turnamen basket 'gila-gilaan' itu, lalu mengenai joran serta umpan pancing berkualitas, dan lokasi danau. Lambat laun Ifa menjadi lega.
Namun, saat mereka menikmati buah-buahan, mendadak Derry menghajar dengan topik yang paling ditunggu Ifa.
"Aku tahu semua ini terjadi karena mulut besarku, tapi tadi aku lihat kamu bisa akrab dengan Indy. Jadi, bisakah kamu katakan padaku, sebenarnya waktu kamu nembak, Indy bilang apa?"
Ifa berhenti menyendok campuran buah seketika itu juga. Setelah menyadari sebelumnya bahwa ia tidak pernah memberitahukan Derry hasil 'nembak'-nya. Pengakuannya meluncur tanpa ia bisa kontrol.
"Gue gak nembak dia. Gue bilang gosip ini salah...." dan ia menceritakan kejadian itu tanpa menutupi apa pun.
Derry tak tampak kaget, ia bahkan tersenyum, "OK. Tapi, itu membuat kamu bisa ngomong sama dia, kan?"
"Sebenarnya sih enggak. Tapi, berkat itu, gue dan Kris ternyata bisa temenan. Padahal gue kirain bintang sinetron kaya gitu sombong, tapi ternyata enak juga ngobrol sama dia. Indy kira gue udah lama temenan sama Kris. Terus Indy minta gue..., bohong soal manajer itu. Semua ini gara-gara gue kelepasan ngomong waktu itu. Gue bilang mau nolongin dia apa aja...." Wajah Ifa sudah merah sekali saat membicarakan hal ini.
Hening sejenak sebelum Derry bertanya, "Jadi, gimana perasaan kamu sama Indy?"
Ifa melihat cangkir teh cina. "Semakin kuat, Der..., tapi…."
Nada suara Derry mendadak meninggi, "Lalu kenapa kamu lari, Fa!"
"Gue gak lari!! Jelas-jelas gue gak punya kesempatan dari awal!!"
"Mana tahu sebelum kamu coba!"
"Gue cuma pingin lihat dia bahagia! Itu aja!! Jika dia pingin sama Kris, gue hanya bisa menolong...."
"Dari mana kamu tahu dia bisa sukses sama Kris? Jelas-jelas kamu tidak akan mungkin bisa tahu pasti soal ini! Aku mau tahu kenapa kamu lari, Fa? Kenapa kamu nggak nembak?"
Ifa bungkam di titik ini.
Derry mendesak, "Jika itu alasan yang masuk akal, katakan aja, dan aku pasti gak akan ikut campur lagi! Aku di sini bener-bener pingin bantuin kamu!"
"Lu mau denger alasan gue ? Gue cuma mau dia bahagia! Dengan atau tanpa gue!"
Derry mengangkat tangannya dengan pasrah, "Baiklah jika itu pilihanmu. Tapi, gimana kalau seandainya Kris menolak perasaan Indy?"
"…Gue gak tau…."
"Gimana kalo Kris ternyata suka sama Indy?"
Tidak diragukan lagi ekspresi hati Ifa berguncang telak oleh pertanyaan itu.
"Gimana kalo Kris ternyata bilang suka padahal mainin dia?"
Wajah Ifa putih oleh amarah.
Derry belum pernah melihat ekspresi itu di wajah temannya. Bulu kuduknya sampai berdiri.
"Akan gue hajar Kris jika itu terjadi!! Gak ada yang boleh bikin dia nangis. Gak akan gue biarkan selama gue masih hidup...."
Kalimat terakhirnya tidak ia selesaikan. Tapi Derry telah cukup mendengar pernyataan perasaan Ifa yang paling dalam.
"Jadi, kamu bakal tetap di posisi 'sahabat-yang-baik-dan-setia-menolong' begitu? Aku masih tetep mikir kamu harus kasih tau dia, Fa."
Ifa menggeleng pasrah, "Dia..., terlalu jauh berbeda dari gue, Der! Gue aja bingung kenapa gue bisa suka sama cewek seperti dia, tapi…, beginilah adanya. Kenapa ya?"
"Apanya yang kamu gak suka sama dia? I mean…, well, she's the most beautiful girl, right?"
"Seumur hidup gue…. Gue selalu ngebayangin perempuan ideal gue adalah yang kalem, sabar, lembut, dan gak terlalu cantik…, yang penting baik hatinya."
"Cukup! Apaan itu?! Kedengarannya mirip banget dengan Ibumu."
"Emang, apa salahnya!"
"Sorry."
"Gak apa-apa. Tapi..., lihat apa yang terjadi dengan gue! Kenapa...?" Ifa menghela napas pedih.
Derry terkesan dengan nada suara Ifa yang mengalun perih tapi juga takjub, yang mempertanyakan penyebab penyakit, kutukan, hadiah termanis, sekaligus keajaiban terindah yang setiap manusia akan alami…, jatuh cinta.
"Buat kamu, Fa." Derry menyorongkan lipatan kertas yang cukup tebal, "Baca aja itu baik-baik. Dan, sorry kalau aku menyinggung perasaan kamu, tapi kalo kamu butuh bantuanku, just call."
Ifa menundukkan kepala, tangannya menerima kertas itu. "Thanks, Der. Gue cuma mau dia bahagia."
Derry mengagumi betapa besar cinta sahabatnya, juga ketakutannya, jawabnya, "Iya. Iya. Aku tau kok"
* * * *