Ifa tengah hanyut dalam gejolak berbagai macam pikiran yang putus-putus dan tidak teratur seperti benang kusut. Jelas minatnya tidak sedang terpusat pada simbol-simbol atau apa pun yang merupakan perkembangan dari satu tambah satu sama dengan dua. Hari ini aneh sekali. Semua orang melirik ke arahnya, lalu mereka berbisik-bisik dan ketawa cekikikan. Wajah Ifa merah padam saat pikirannya berteriak pada dirinya!
[Jangan-jangan mereka tahu?!! Tapi dari mana?]
Ia ingat. Hari ini, baru masuk kelas saja ia sudah disapa dengan cengar-cengir oleh Rudi, teman setim basketnya. Rudi menepuk-nepuk bahu Ifa dan berkata, "Semoga sukses, Kawan. Kami semua mendukungmu…. Hahahaha!" Tawa itu disambung dengan koor cekikikan cewek-cewek penghuni sayap kiri kelas.
Refleksnya tanpa sadar membuat ia menatap ke arah bangku sayap kanan, tempat gadis yang membuat hatinya kebat-kebit selama tiga minggu terakhir, tapi bangku itu masih kosong….
"Cieeeee!!! Ngeliatin siapa tuh? Belum datang atuh…." Suaranya mulai terdengar menyebalkan, tapi pahitnya apa yang dikatakan Rudi benar sekali.
[Apakah kebenaran selalu begini menyebalkannya?] Pikir Ifa.
Cekikikan itu mulai menyumbat kerongkongan Ifa dengan rasa sesak dan malu luar biasa, saat fajar kesadaran menyingsing di benaknya!
[Mereka tahu!!!
Bagaimana mereka tahu?!!]
Bahkan anak paling kutu buku pun seperti Nafta—yang matanya hampir selalu berjarak 10 cm dari buku—sedang tersenyum simpatik dan menatapnya.
"Akhirnya bocah satu ini tahu juga beda cewek dan cowok itu apa!" Rudi sang sanguinis menyatakan dengan khidmat dan keras! Ia bahkan tampak lebih gembira dibandingkan ultahnya yang lalu! Ya jelas saja gembira. Saat itu, Rudi ditimpuki dua keranjang bola basket dan diarak keliling sekolah dalam lumuran tepung terigu, aneka telur busuk, dan adonan aneh lainnya—tentu saja bukan hal yang menggembirakan, ya!
Akhirnya Ifa mampu bersuara juga, "A-apaan ini?"
Ita mendengus, "Ah masa lu gak tau?"
Ada yang berbisik, lagi-lagi dengan bahasa aneh kaum cewek itu…. "Rapusiradu Situh!"
Cekikikan membahana lagi. Rudi menggantungkan tangan dan sikunya di bahu Ifa yang kebingungan, lalu berkata, "Kamu sudah nembak dia belum? In…."
Kata-katanya menggantung, nyaris tercekik, saat ia melihat seorang cewek—yang sedang asyik membaca majalah basket terbaru—masuk ke kelas.
Cover depan majalah itu menampilkan sesosok wajah yang telah tiga kali dalam setahun menjadi sampulnya, wajah tampan dan manis ala boyband, Kristanus Gerald Yung—selebriti, penyanyi, bintang sinetron remaja, plus point guard andalan SMU Rabu Monogatari.
Narandee Kusuma—biasa dipanggil Indy—tampak serius membaca berita eksklusif pada majalah itu. Gadis dengan tinggi 163 cm ini tidak saja intelek, wajahnya pun manis, apalagi senyumannya yang memikat itu, mampu membuat ratusan orang jatuh cinta padanya. Intelektualitasnya terlihat dari bagaimana ia berbicara.
Indy fasih berdebat bak pengacara. Profesi yang menjadi cita-citanya—pengacara nomor satu di Indonesia. Meski terbiasa menghancurkan harapan hati banyak cowok, tapi tetap saja Indy memiliki kepopuleran selangit di kalangan murid SMU Kastil Hastina.
Langsung semua murid bubar dan kembali ke urusan masing-masing saat Indy menyadari ia sudah ada di dalam kelas. Ia memasukkan majalah itu dengan rapi sekali ke dalam mejanya dan baru bergabung dengan teman-temannya yang sedang melihat sangar ke arah Ifa—padahal sebelumnya mereka senyum-senyum! Lalu beberapa menit kemudian, mereka sudah mengobrol riang dalam bahasa super aneh—dan super cepat—itu! Yang selalu bersisipi kata ra, si, dan du.
Ifa jelas tak tahu harus apa, selain berkata pada Rudi yang sekarang menampilkan wajah prihatin yang mengesankan, "Gue gak…."
Rudi mengangkat telapak tangannya ke muka, membuat Ifa berhenti bicara. "Kami semua turut gembira kamu bisa menikmati masa puber yang penuh bunga, tapi sayangnya, tantangan berikutnya lebih berat…, sangat berat malah…."
Ifa mendengus marah, kesal, dan malu, lalu meninggalkan kelas. Baru berani kembali lima menit sebelum bel berbunyi, tepat di saat Derry baru tiba.
Ketika Pak Jahar masih asyik menjelaskan angka-angka riil yang semakin memusingkan kepala, kembali Ifa terhenyak dalam lamunannya.
[Dari mana mereka tahu?!! Tapi tunggu....]
Kesadarannya yang selama ini ia diamkan mengingatkannya kembali akan betapa anehnya dia tiga minggu terakhir....
Setidaknya dua guru—itu pun yang dia ingat—membentaknya selama pelajaran karena ia melamun. Sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya! Belum lagi latihan basket yang semakin ngawur sampai-sampai pelatih mulai menjambaki rambutnya sendiri karena kesal. Ifa juga melihat bagaimana tatapan bengong yang terlukis pada wajah Rudi dan rekan-rekan setimnya.
Saat ini, Ifa tak mampu menguasai pikiran dan perasaannya yang bagai diamuk badai. Perasaan yang melontarkannya terus menuju antara lembah rindu dan kekhawatiran…, antara lautan suka dan ketakutan….
Ia sedang jatuh cinta. Pertama kali dalam hidupnya. Jatuh cinta pada cewek yang jelas bukan dari golongannya yang wong cilik ini. Ifa tergila-gila pada orang yang baru mengalahkannya dalam segala hal.
Singkatnya, tanpa perlu bertukar kata sedikit pun dengan sang pujaan hati, ia tahu bahwa cintanya sudah jelas bertepuk sebelah tangan.
Tanpa memedulikan adanya kesempatan atau tidak, Ifa tetap saja tak akan membiarkan dirinya menjadi korban gosip begitu saja! Dan ia sudah punya dugaan kuat siapa yang menyebarkan hal ini....
*
Ketika seluruh murid mencoba memerhatikan layar dengan seksama, tatapan Derry malah sering beralih ke Ifa. Sementara Ifa sendiri sedang menatap kosong ke papan tulis, dan tanpa sadar matanya selalu curi pandang ke arah makhluk tercantik di kelas 2A itu. Derry pun memerhatikan pandangan sahabatnya itu, mencermati dengan seksama ekspresi wajah Ifa dan punggung Indy yang menegang. Terlihat jelas, di kelas Pak Jahar itu ada tiga orang yang sedang tidak memusatkan pikiran pada Matematika.
Derry mencorat-coret notes kecil yang ia buka di balik buku teksnya.
Tulisnya:
Pertandingan basket
KGY
Ifa
Ia menilik lagi ketiga baris itu, kemudian merenung.
[Sudah berapa lama ya aku mengenal Ifa?]