Setelah selesai sekolah, Alona langsung pulang, tetapi bukan ke rumah, melainkan ke Cafe Awkins untuk bekerja part time.
Alona adalah yatim piatu. Sejak kecil ia tinggal di sebuah panti asuhan. Bunda Nia adalah pemilik panti asuhan yang ditinggali Alona, ia yang mengurus dan menjaga Alona. Bunda Nia pernah mengatakan bahwa ia menemukan Alona di depan pintu panti dalam keranjang bayi dengan kalung berinisial 'L'. Alona menyimpulkan kalau orang tuanya membuang dia. Tetapi bukan berarti Alona tidak pernah mencarinya.
Saat umur 9 tahun, Alona pergi menyelinap keluar panti untuk mencari orang tuanya. Tentu Bunda Nia panik karena ia kira Alona menghilang. Saat Bunda Nia mencari Alona di taman dekat panti, ia menemukan Alona yang sedang menangis. Alona menangis bukan karena ia tersesat, tetapi karena tidak bisa menemukan kedua orang tuanya.
Semenjak itu Bunda Nia tidak pernah mengizinkan Alona keluar sendiri. Karena Bunda Nia mengkhawatirkan Alona.
Saat Alona ingin memasuki SMP, Alona mendapatkan beasiswa dari Hander William School. Bisa dibilang Alona adalah satu-satunya siswa yang masuk melalui jalur beasiswa.
Saat umur Alona sudah 15 tahun, Alona meminta izin untuk kerja pada Bunda Nia. Tetapi Bunda Nia tidak mengizinkannya, karena menurut Bunda Nia, usia Alona masih terlalu muda. Saat lulus SMP, Alona masih tetap meminta izin untuk kerja. Karena sayangnya Bunda Nia yang besar, akhirnya ia merekomendasikan Alona dengan temannya.
Pemilik Cafe tempat kerja Alona adalah sahabat dekat Bunda Nia. Alona biasa memanggilnya Tante Nana. Awalnya Nana tidak ingin menerima Alona untuk kerja, tetapi karena sahabatnya, ia jadi menarik keputusan untuk menolak Alona. Karena masih sekolah, Alona hanya kerja part time di Cafe Awkins.
"Kak Eylia," panggil Alona.
Eylia Oliver adalah anak satu-satunya Nana. Eylia dan mamanya hanya hidup berdua karena papanya meninggalkan mereka berdua.
"Eh, Alona," sapa Eylia, "kamu udah makan?"
"Udah kok, Kak," jawab Alona.
"Kakak beliin kue coklat buat kamu, nanti dimakan, ya?" Karena Alona suka dengan kue coklat, jadi Eylia sering membawakannya untuk Alona.
"Iya, Kak, terima kasih." Eylia tersenyum.
"Aku duluan, bye." Eylia sering ke Cafe Awkins hanya untuk memberikan kue yang dia beli untuk Alona. Setelah sampai ke Alona, Eylia akan langsung pulang.
"Kak Wendy, kita makan bareng-bareng, ya?" Wendy adalah penjaga kasir di Cafe Awkins.
"Iya, iya." Wendy mencubit pipi Alona gemas. Alona hanya kesakitan saja.
"Aku ganti baju dulu ya, Kak." Alona langsung pergi ke belakang.
Setelah mengganti bajunya menjadi baju seragam part time-nya, Alona langsung melakukan pekerjaannya.
Gaji yang diterima Alona memang tidak banyak, tetapi bisa untuk mencukupinya. Alona tidak tinggal di panti lagi. Karena dari panti ke HWS memakan banyak waktu. Jadi sekarang Alona tinggal di rumah Tante Nana. Eylia yang menyuruh mamanya agar membiarkan Alona untuk tinggal dengan mereka dan Tante Nana tidak keberatan.
Alona mempunyai harapan untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Dari semua harapannya, hanya satu ini yang sangat diistimewakannya. Walaupun orang tuanya membuang Alona, tetapi Alona tetap ingin bertemu dengan mereka, melihat dari jauh pun ia sudah senang.
Pekerjaan Alona berlangsung lama sampai hari terlihat gelap. Alona membersihkan dan merapikan piring yang sudah ia cuci, lalu Alona pulang.
Setiap pulang, Alona selalu mampir ke mini market untuk membeli cemilan dan kebutuhan lainnnya.
Alona memasuki salah satu mini market yang dekat dengan jalannya. Ia pergi untuk mengambil apa yang ingin dia beli.
"Minggir," ucap seseorang dengan nada yang dingin.
Alona yang sedang memilih cemilan pun terkejut.
"Minggir!" Alona pun mundur agar orang itu bisa jalan.
Setelah orang itu lewat, Alona kembali memilih cemilan dan membeli yang lain, lalu ke kasir untuk membayarnya.
Alona mengambil belanjaannya lalu keluar. Ia pulang dengan jalan kaki. Sesampainya di rumah, Alona menyalami Tante Nana dan Eylia. Alona menaruh belanjaannya di dapur lalu jalan ke kamarnya. Alona pergi untuk membersihkan dirinya.
***
Acara perkenalan masih berlanjut. Alona dan yang lain sudah duduk di tempat mereka masing-masing.
"Halo kalian, para new-new. Tau gue siapa?" Suara hening bagaikan kuburan. Tidak ada yang menjawab pertanyaannya.
"Elah, Rom. Pengin banget dikenal orang," ucap Alda selaku ketua OSIS dengan sangat tajam sampai menusuk. "Oh, iya, kenalin, nama Kakak, Alda Sevannya, ketos, panggil Kak Alda, aja"
"Kak Alda jomblo?" tanya Gio, salah satu anak X IPA 3. Alda yang mendengarnya hanya geleng-geleng kepala. "Status udah sold out. Cari yang lain, aja." Gio kecewa mendengar pernyataannya, sedangkan yang lain hanya menatap Gio dengan malas.
"Lanjut, Rom," ucap Alda. "Kenalin, gue Endro Romio, OSIS, panggil Kak Romi, aja." Entah kenapa anak-anak X IPA 3 menatap curiga dengan Romi.
"Karena guru yang akan mengajar masih belum datang, gimana kalau kita main dulu?" Mereka yang mendengar usulan Romi pun sedang berpikir. "Kak, harus ada hadiahnya, dong," saut cewe bernama Dea.
Seketika Romi langsung menatap Alda. "Apa? Lu, kan, yang ngusulin, jadi lu juga yang tanggung hadiahnya," ucap Alda santai. Romi yang melihatnya hanya bisa mendengus kesal. "Iya, iya, entar ada hadiahnya. Siapa yang menang, dia bakal dapet tiket nonton dari gue." Semua langsung menatap Romi, kecuali Alona dan Revha yang tidak tertarik.
"Oke, apa permainannya?" tanya Ian. Romi langsung tersenyum licik. "Karena kalian baru masuk, jadi permainannya ... yang bisa jawab soal dapet hadiah." Mereka yang tadinya berdiri langsung duduk dengan rasa ingin melempar meja ke arah OSIS itu. Siapa lagi kalau bukan Romi.
"Hehe, kecewa, ya?" Mereka hanya diam tanpa menjawab, tetapi tetap dengan ekspresi kesal dan kecewa. "Gue, kan, mau tau lu pada bisa atau kagak," ucap Romi sambil nyengir.
"Pertanyaannya simple, kok, tapi pake otak juga. Pertanyaannya, kenapa kita nggak bisa nebak Jeffry?" Ekspresi ingin memakan Romi pun terlihat di wajah mereka masing-masing.
"Nggak ada yang lain apa, Kak?!" tanya Gio kesal.
"Pertanyaannya emang simple, tapi gue ga mau jawabannya juga simple, gue mau jawabannya ga sesimple pertanyaan, kek, MTK." Mereka langsung berpikir keras agar jawabannya nyambung dengan yang ditanya dan tidak simple.
Alona sedang komat-kamit sendiri. Revha yang melihatnya langsung heran. "Kejedot tembok kali, yak?" pikir Revha dalam otaknya. Rasa penasaran merasuki diri Revha. Akhirnya Revha mendekatkan telinganya agar bisa mendengar.
Revha mendengar sedikit-sedikit gumaman Alona. Revha langsung menjauhi telinganya dari Alona. "Karena Jeffry punya rumus." Alona langsung membelalakkan matanya saat mendengar Revha mengeluarkan jawaban.
"Nah, gini, nih, yang gue suka. Coba kasih alasannya?" Romi langsung menghampiri Revha agar jelas mendengarnya, padahal dia hanya ingin melihat wajah Revha dari dekat.
"Kalo Jeffry punya rumus, ya, ngapain ditebak, kan, udah ada rumusnya. Jadi tinggal cari hasilnya. Tapi carinya bukan hanya dengan mulut, aja, tapi di dalam kepala juga dipakai." Alona langsung menatap Revha. "Tambahan, ini bukan ide saya, tapi ide sebelah saya." Alona hanya bisa diam dan gemetaran.
"Bisa juga, ya. Nama kalian berdua siapa?" Romi menatap keduanya bergantian. "Saya Revha, sebelah saya Alona."
"Mau jalan sa-" Alda langsung menarik kerah Romi untuk balik ke depan.
"Kakak suka dengan jawaban kamu yang dipadukan dengan pelajaran. Tadi siapa namanya?"
"Alona, Kak," saut Revha.
"Revha, kenapa menyautkan jawaban yang bukan dari ide sendiri?" tanya Alda menyelidik.
"Karena Alona hanya bergumam sendiri tanpa melontarkan jawabannya ke depan." Saat Revha mendengar Alona bergumam seperti itu, Revha langsung berpikir Alona adalah orang yang cerdas dan kreatif untuk mengaitkan pertanyaan mudah seperti itu dengan pelajaran. Tetapi, Revha kesal melihat Alona hanya bergumam sendiri. Padahal jawabannya sudah sesuai dengan aturan mainnya.
"Dari cerita Revha, berarti lu nggak mau nerima tiketnya, dong?" timpal Romi dari depan.
Alona hanya menggeleng.
"Kakak, modus cuma mau ngajak ngedate, ya?" Wenda yang tadinya tertarik langsung menatap curiga kakak kelasnya itu. "Nggak, kok." Romi seperti mengeles saja, padahal memang itu alasannya. Makanya dia berharap yang menjawab adalah cewe.
"Boong, anda!" Gio yang sudah kesal dengan Romi langsung menyambar. Mereka yang mendengar Gio, langsung menyoraki Romi.
"Dekel tahun ini, horor-horor semua." Alda yang sudah malas mendengar Romi, hanya memutar bola matanya malas. "Udah, udah. Kalian kalo mau hukum si Romi, entar pas istirahat, minta traktir aja," saran Alda.
"NAH BENER, NIH." Semua langsung setuju dengan saran Alda tanpa berpikir lagi. "Gue nggak mau ngawas di kelas ini lagi, deh," ucap Romi dengan mukanya yang dibuat sesedih mungkin.