webnovel

Aku

Happy reading:)

***

Bahagia terus untukmu yang baru saja berganti usia, permata hati Ayah Ibu yang semakin hari semakin nakal saja. Ibunya sampai-sampai mengadu padaku, tak jarang melampiaskan kegeramannya pada anak selucu diriku.

Kata Ibunya, dia mau punya anak sepertiku--Anak yang baik, tidak sombong, juga rajin menabung--biarkanlah aku over proud kali ini. Ya, selain nakal anak itu juga sangat boros, buang saja anak seperti dia, Tante. Lalu angkat aku jadi anakmu haha.

Arian Kamilano.

Tepat di tanggal 10 Juni dia berusia 17 tahun, seperti kebanyakan orang-- dia terlihat bahagia, tersenyum lebar menyambut tamu undangan yang hadir, tapi percayalah itu hanya sebuah pencitraan.

Dia tidak suka acara-acara seperti ini, aku tahu itu. Menurutnya ini terkesan seperti anak kecil dan sedikit manja. Ah, yang dia mau adalah menonton balapan liar di jalanan, atau sekedar duduk melingkar bermain karambol. Bukan meniup lilin diiringi lagu 'happy brithday'.

"Lano mau kado apa dari Ayah?" tanya Ayahnya selepas Alano menyuapinya dengan sepotong kue.

"Cuma mau KTP doang kok, Yah," jawab Lano. Entah dia sedang berguyon atau memang serius.

Aku disampingnya hanya bisa menahan tawa. Tidak bisa kah ia meminta hal selain itu, tanpa diminta pun itu pasti akan dibuatkan, hal itu merupakan sebuah keharusan untuk warga negara Indonesia yang telah berusia 17 tahun.

Terlepas dari apapun permintaannya semoga dia terus bahagia, doa doa baik semoga selalu tercurah, serta nasib-nasib baik semoga menghampiri. Aamiin.

Waktu semakin larut, tamu undangan berangsur-angsur meninggalkan ruang tamu kediaman Jefry (Ayah Lano). Kini tinggal aku dan Lano yang masih betah berada di sini, hiruk pikuk suasana tadi membuat Lano sedikit kelelahan. Ia merebahkan tubuhnya pada sofa panjang seberang meja.

Aku meraih toples berisi kue mawar di antara toples-toples lainnya, seperti biasa rasanya enak. Saat kau berkunjung  ke rumah Lano, toples pertama yang disajikan di meja adalah yang berisi kue mawar ini. Harus ku akui rasanya memang paling enak, bahkan buatan ibuku tidak bisa seenak ini.

Gigitan demi gigitan kue mawar masuk ke mulutku, kuingat-ingat kembali rangkaian kejadian di acara tadi. Dari sepipu-sepupu Lano, sampai Lano yang meminta diberi kado KTP (kartu tanda penduduk).

"Gue kira Lo tadi mau minta Ferrari," ucapku.

"Percuma bawa Ferrari kalo enggak punya KTP," ujarnya.

"Lagian minta Ferrari doang mah enggak perlu nunggu ultah kali," lanjutnya.

"Dih, sombong." Aku melemparrinya dengan remahan kue mawar.

Arian Kamilano, kerap disapa Lano. Anak tunggal dari bapak Jefry dan Nyonya Destria yang lahir di rumah sakit Muara kasih, tepat pada pukul 23:15 waktu Indonesia bagian Barat. Anak yang ditunggu-tunggu setelah penantian panjang, dan hari ini dia kembali mengulang tanggal kelahirannya. Aku tahu semua itu, karena ibunya pernah bercerita padaku.

Dia sahabatku dari kecil, anak tunggal kesayangan yang tidak lagi ingin dimanja. Dalam pikirannya, ia adalah seorang laki-laki yang sudah beranjak dewasa, yang ingin melakukan apapun sendiri tanpa bantuan ayahnya.

Malam itu karena sudah terlalu larut, aku memutuskan untuk menginap di rumah Lano. Sebelumnya aku menghubungi Ibu lewat telepon rumah Lano untuk meminta izin dan Alhamdulillah diizinkan oleh Ibu.

***

Aku terbangun karna alarm dari ponselku, segaja aku setel pukul lima biar tidak terlambat ke sekolah. kulihat Alano masih terlelap dalam tidurnya, sebaiknya aku tidak perlu berpamitan padanya, kasian jika diganggu.

"Loh, udah mau pulang, Ma?" Pertanyaan Ibu Destria menyambutku di ujung tangga.

"Iya, Bu. Mau siap-siap di rumah aja," jawabku.

Menuruni tangga pagi-pagi ternyata cukup melelahkan. Entah aku yang jarang olahraga atau anak tangga rumah ini yang terlalu banyak, nafasku terengah-engah.

Aku menyalimi tangan Bu Destria. Tangannya basah karena sehabis mencuci sayuran. Bu Destria sudah kuanggap sebagai Ibu sendiri. Selain mama, Bu Destria lah yang tanpa sungkan menegurku jika bersalah, yang rela meluangkan waktunya untuk menasihatiku.

Matahari belum menunjukan dirinya, keadaan pekarangan rumah Lano masih gelap gulita, udara dingin menerpa kulit. Kurapatkan jaketku, lalu mengeluarkan motor hitam kesayangan dan melaju membelah jalanan komplek elite itu.

Sedikit cerita tentangku dan Lano.

Kami sudah seperti dua elemen berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan--- seperti C6-H12-06 yang dicampur dengan H2O menjadi larutan homogen. Ke mana-mana selalu bersama, ibaratnya kami sudah seperti sepasang sandal yang selalu bersama. Haha tidak-tidak, kurasa ungkapan itu hanya cocok untuk dua sejoli yang sedang dimabuk asmara.

'Sahabat adalah satu jiwa dalam dua raga.' kutipan quote yang pernah aku baca di jejaring sosial media. Memang benar, tetapi tidak berlaku untuk kami berdua. Bagaimana bisa satu jiwa kalau aku tim 'bubur diaduk' sedangkan dia tidak, aku suka bakso kuah bening-- Lano kekeuh mau saos kecap, jika tidur aku lebih nyaman kalau lampu padam sedangkan dia suka lampu menyala. Dari hal sekecil itu saja kita berbeda, apa harus jadi aremania dahulu baru bisa satu jiwa?

Terlalu asik bercerita, hingga tak sadar bahwa aku telah sampai di rumah. Minimalis dengan cat warna gold dan hitam, terkesan mewah ketika fajar dari ufuk menimpanya. Ini tempat ternyaman yang di dalamnya ada bahagia yang tidak akan pernah aku dapat di lain tempat. Baiti jannati, sekiranya benar ungkapan islam itu mengatakan bahwa rumahku adalah syurgaku.

"Assalamualaikum," ucapku saat memasuki rumah.

"Waalaikumsalam," jawab Mamah.

Oh, ya di rumah ini aku anak ke dua dari tiga bersaudara. Si sulung berjenis kelamin laki-laki, umurnya terpaut empat tahun dariku, lulusan tehnik informatika. Dia membuka jasa service alat-alat elektronik, Semua bisa dia perbaiki, tetapi sayang hatinya masih saja rusak hanya karena seorang perempuan.

Anak ke dua adalah diriku. Apa harus ku ceritakan diriku? Oke, walaupun tidak diminta, setidaknya kita kenalan dulu. Okto Gema Putra, itu namaku. Anak yang usianya beranjak 17 tahun Oktober nanti, panggil saja aku Gema atau sayang. Seperti kebanyakan pengakuan di luar sana, menjadi anak tengah selalu serba salah dan berdasarkan pengalaman, Aku akui itu benar. Punya kakak si mantan antek-antek Belanda, juga adik asuhan Nipon, membuatku merasakan terjajah di rumah sendiri. Abang si tukang nyuruh, adek yang suka ngambil makanan tanpa izin, lengkap sudah penderitaan.

Yang terakhir, Anggia Asmaputri. Satu-satunya kaum hawa setelah ibu di rumah ini, anak yang paling disayang sebab anak perempuan satu-satunya. Umurnya baru 7 tahun, tapi hobinya menaikkan tensi darahku. Anggia sebenarnya lucu, sebelum tahu sifat asli nya yang suka mencuri jajanku.

Kami terlahir dari keluarga sederhana, dengan Bapak sebagai seorang pegawai negeri sipil, dan Mamah membuka usaha cathering depan rumah. Alhamdulillah, hidup kami serba berkecukupan.

"Cepat siap-siap, nanti telat." Ucapan Ibu membuyarkan lamunanku.

Ibu menyampirkan handuk di bahuku, lalu tanpa menunggu perintah ke dua kalinya aku langsung menuju kamar mandi.

***

Hai-hai selamat datang dalam ceritaku, harap-harap kalian suka, jangan sungkan buat kritik ataupun saran. Tinggalkan jejak untuk kejutan berikutnya><

salam hangat.

Muttiiiacreators' thoughts